Senin, 30 November 2020

TOLOK UKUR KEASLIAN SEBUAH TULISAN


Jika kita mencermati argumen-argumen umat islam di media sosial, umumnya kita dapat menemukan satu ciri khasnya, yaitu argumen tanpa nalar. Kebanyakan argumen yang dibangun sungguh di luar akal sehat sehingga bagi yang masih mempunyai akal budi hal tersebut terasa tak masuk akal. Misalnya, argumentasi soal keaslian tulisan. Dalam sebuah tulisan ada seorang menyatakan bahwa Al-Qur’an terjaga keasliannya, sedangkan Alkitab tidak. Dasar keasliannya adalah reaksi umat; jika ada amuk massa, maka tulisan itu asli, tapi jika tidak maka tulisan tersebut palsu.

Tentulah argumentasi tersebut sangat dangkal dan lemah. Akan tetapi, sepertinya sudah menjadi ciri khas islam bahwa kebenaran ditentukan juga dengan kekerasan (amuk massa). Hal ini ditegaskan pula dalam salah satu hadis terpercaya, dimana dikatakan bahwa Allah SWT mendukung agama melalui orang yang berhati culas kejam. Karena itulah, islam selalu diidentikkan dengan radikalisme dan terorisme.

Sebuah Kebenaran

Patut diakui bahwa jika Al-Qur’an diubah-ubah atau dipalsukan pastilah akan menimbulkan reaksi besar, bukan saja di Indonesia melainkan seluruh dunia. Umat islam akan marah, protes dan melakukan tindakan anarki lainnya. Berbeda dengan Injil atau Kitab Suci orang kristen. Akan tetapi, apakah kemarahan, protes dan tindakan anarki merupakan tolok ukur keaslian tulisan?

Harus disadari juga bahwa reaksi marah, kekerasan bahkan sikap anarkis umat islam ini bukan hanya muncul bila terjadi sesuatu pada Al-Qur’an yang tidak benar, melainkan juga pada atribut agama. Misalnya, jika ada “pelecehan” atau informasi yang tidak disukai berkaitan dengan Nabi Muhammad, maka umat islam seluruh dunia akan demo, protes, marah bahkan bertindak brutal. Tentu kita masih ingat akan kasus pembakaran buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” oleh Toko Buku Gramedia pada 14 Juni 2012. Gramedia takut menghadapi ancaman umat islam. Atau ketika ada video dengan nabi Muhammad, umat islam sedunia marah.

Jadi, sifat suka marah yang dapat berujung pada tindakan anarkis sepertinya menjadi karakter umat islam, bukan merupakan tolok ukur keaslian sebuah naskah. Mungkin sifat ini mendapat pendasarannya dalam Al-Qur’an sendiri. Demi membela (atribut) agama, apapun boleh dilakukan. Karena itu wajar bila bulan September lalu Pemerintahan Rusia memerintahkan untuk memusnahkan Al-Qur’an, karena dinilai menciptakan ekstremisme.

Amat sangat menyedihkan jika keaslian sebuah naskah ditentukan oleh selera. Dan yang terjadi selama ini adalah demikian. Semua tulisan atau karya apapun yang bersinggungan dengan keislaman, harus sesuai dengan selera umat islam. Jika tidak maka akan muncul kemarahan.

Dalam buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” di sana hanya ditulis bahwa untuk menghidupi kelompoknya Muhammad merampok. Umat islam tidak suka dengan kata merampok. Hal itu seakan mengurangi citra luhur sang nabi. Padahal, fakta sejarah memang Muhammad memimpin kaumnya untuk merampok demi kehidupan mereka.

Injil Dipalsukan?

Dengan pola pikir di atas, maka wajar bila orang islam berkesimpulan bahwa Injil sudah dipalsukan. Karena sama sekali tidak ada kemarahan apalagi tindakan anarki dari orang kristen bila terjadi sesuatu pada Injil. Jangankan pada Injil, pada atribut keagamaan lainnya, jarang sekali terdengar. Kalaupun terjadi, itu pasti di tingkat lokal saja. Misalnya, ketika terjadi pelecehan Yesus oleh Neymar, hanya umat Brasil yang protes. Itupun tidak seluruhnya. Protes itu disuarakan oleh Konferensi Waligereja Brasil. Tidak ada kerusuhan, tidak ada demo atau penutupan majalah yang memuat gambar pelecehan tersebut.

Lalu, apakah itu berarti Injil dipalsukan? Apakah Injil sekarang berbeda dengan Injil waktu jaman Yesus?

Harus diingat bahwa pada waktu Yesus hidup belum ada Injil seperti yang ada sekarang ini. Pada waktu itu hidup, perkataan dan perbuatan Yesus itulah Injilnya. Setelah Yesus naik ke surga, kisah hidup Yesus ini berkembang dari mulut ke mulut dalam tradisi lisan. Dan setelah puluhan tahun ada usaha beberapa orang untuk menuliskan kembali kisah hidup Yesus (perbuatan dan perkataan-Nya).

Jadi, tidak benar bila dikatakan bahwa Injil sudah dipalsukan hanya dilihat dari tidak adanya reaksi protes pada umat kristen. Kenapa umat kristen diam saja? Mungkin orang kristen sudah bisa membedakan mana yang asli dan tidak. Atau mungkin karena tidak ada pendasaran dalam Injil untuk marah atau melakukan tindak kekerasan demi membela kebenaran. Bukankah Injil memerintahkan umat kristen untuk berlaku kasih, bahkan kepada mereka yang menghina, mencela, memfitnah atau memusuhi.

Tolok Ukur Keaslian

Pertanyaan kita sekarang, apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keaslian tulisan (Al-Qur’an dan Injil)?

Untuk menguji keaslian sesuatu, kita membutuhkan pembanding yang juga sama dengan sesuatu itu. Pembanding inilah yang menjadi tolok ukurnya, bukan soal selera. Misalnya, untuk menguji keaslian emas, kita harus punya pembandingnya. Emas yang kita uji itu kita bandingkan dengan emas murni sebagai pembandingnya; jika sama maka emas yang diuji itu asli. Jadi bukan karena saya suka, maka emas itu asli.

Atau sebuah keaslian berita dapat diketahui bila kita punya pembanding. Misalnya, tentang peristiwa Perang Padri (1803 – 1838). Kita tidak bisa mengandalkan informasi Perang Padri ini dari buku yang ditulis tahun 1900-an, tanpa sumber-sumber pendukung yang mendekati tahun kejadian. Kita tidak bisa mengandalkan selera untuk menyatakan bahwa informasi dalam buku itulah yang benar. Kita harus membutuhkan pembanding untuk mengetahui fakta yang terjadi pada Perang Padri. Pembanding itu dapat kita temukan pada buku atau manuskrip-manuskrip yang ditulis sekitar tahun kejadian. Buku atau manuskrip yang ditulis sekitar tahun kejadian inilah yang harus diakui kebenaran peristiwanya.

Contoh lain tentang eksorsis. Ada film yang mengisahkan tentang eksorsis dengan judul “The Rite”. Dikatakan bahwa film ini didasarkan dari kisah nyata yang ditulis dalam buku dengan judul “Ritual Pengusiran Setan: Pencarian keyakinan seorang eksorsis di zaman modern” karya Matt Baglio. Jika kita hanya berdasarkan selera, maka kita akan mengatakan bahwa informasi dalam film itulah yang benar, meski ada perbedaan jauh antara film dan buku. Buku mendekati kebenaran karena ia langsung dari sumber utama, sedangkan film yang dibuat jauh setelah buku diterbitkan, sangat jauh dari sumber utama.

Demikianlah dengan Injil. Sebenarnya ada banyak kitab yang disebut ‘injil’. Umumnya diketahui ada sekitar 20 injil. Dari ke-20 kitab injil itu, Gereja hanya mengakui 4, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Alasannya, pertama penulisnya tidak jauh dari sumbernya. Misalnya, Injil Matius dan Yohanes diyakini ditulis oleh Rasul Matius dan Yohanes; sedangkan Injil Markus dan Lukas ditulis oleh murid rasul Yesus (Markus, murid rasul Petrus; dan Lukas, murid rasul Paulus). Jika membandingkan keempat tulisan Injil itu terdapat kesamaan pesan. 

Hal ini berbeda dengan injil-injil lainnya. Sekalipun memakai nama rasul (misalnya, injil Petrus, injil Thomas, injil Filipus, injil Yudas dan injil Keduabelas rasul), sangat diragukan keasliannya. Ini dapat dilihat dari tahun penulisan serta bahasa dan gaya penulisan. Selain itu, keberadaan keempat Injil itu sudah diakui oleh Bapa-bapa Gereja yang hidup di abad-abad awal, seperti Papias, St. Hieronimus, St. Irenaeus, Origenes dan Eusabeus. Mereka hidup antara tahun 150 – 250. Kesaksian mereka memberi peneguhan atas keaslian keempat Injil, yang berbeda dengan injil lainnya. Ini bisa terjadi karena Gereja tidak memusnahkan karya-karya lainnya yang bertentangan dengan keempat Injil. Dengan ini orang bisa menguji keasliannya dengan cara membandingkan dan dengan cara lainnya.

Berbeda dengan Al-Qur’an. Kita sama sekali tidak punya naskah pembanding, karena naskah-naskah yang dinilai tidak menyenangkan dimusnahkan. Karena itu, yang ada dalam Al-Qur’an hanyalah yang baik-baik saja menurut ukuran umat islam. Karena semuanya menjawab selera. Dan orang pun “dipaksa” untuk menulis yang baik-baik saja (sesuai selera umat) tentang keislaman. Tulisan yang tidak sesuai dengan selera umat, tentulah akan segera dimusnahkan (contoh buki lima kota atau ayat-ayat setan). Orang tidak diperkenankan untuk beda pendapat, sekalipun untuk berbeda itu ada dasarnya. Misalnya penulis buku lima kota punya data yang bukan sembarangan.

Hal ini berdampak pada penerbit dan toko buku. Penerbit dan toko buku tidak berani menerbitkan atau memajang buku bernuansa islam yang tidak sesuai selera umat islam. Resikonya sangat besar.

Jadi, keaslian sebuah naskah tidak ditentukan oleh selera atau ada tidaknya aksi demo yang bisa berujung pada tindak anarkis. Keaslian sebuah naskah ditentukan oleh naskah lain sebagai pembanding. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah tahun penulisan. Seorang sejarahwan, ketika hendak menulis sebuah naskah sejarah, ia akan mencari sumber buku yang tahun penulisannya mendekati peristiwa sejarah yang akan ditulisnya.Inilah yang berlaku dalam tradisi kristen. 
Berbeda dengan tradisi islam yang menilai kebenaran dan keotentikan sebuah naskah dari selera. Wujud tampilannya adalah demo, protes dan amuk. Semakin besar demo dan protesnya; dan semakin hebat amukannya, semakin otentik dan benarlah sebuah naskah.

diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar