Minggu, 01 November 2020

ISLAM DAN PANCASILA


Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Ia merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itulah, darinya lahir produk-produk hukum negara. Setiap warga negara Indonesia wajib menerima dan menghayati nilai-nilai Pancasila. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa selalu saja ada pihak-pihak yang berusaha untuk melenyapkan Pancasila dan berusaha menggantikan posisinya. Setidaknya ada 2 pihak yang memiliki niat tersebut, yaitu Partai Komunis Indonesia, yang hendak menggantikan Pancasila dengan ideologi komunisme, dan umat islam, yang mau menggantikan Pancasila dengan agama islam sebagai dasar negara.

Sekalipun demikian, banyak tokoh islam menyatakan bahwa agamanya paling pancasilais, atau nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan islam. Benarkah demikian?

Pancasila mempunyai 5 norma dasar, yang dikenal dengan istilah 5 sila. Sangat menarik para bapa bangsa menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Dari sila inilah, sila-sila lain mengambil spiritnya. Sila pertama ini pertama-tama menempatkan warga Indonesia untuk percaya dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Akan tetapi, sikap percaya dan takwa kepada Tuhan ini harus ditampakkan kepada sesama manusia dalam sikap saling hormat, bekerja sama antar warga negara, yang berbeda agama, membina kerukunan hidup, toleransi, menghormati kebebasan menjalankan ibadah dan tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain. Apalah artinya bersikap positif kepada Tuhan sementara kepada sesama bersikap negatif?

Dengan demikian, kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa menuntut warga Indonesia untuk memuliakan Allah dengan mengangkat harkat martabat manusia. Dari sinilah warga Indonesia dapat mewujudkan norma-norma lain dari Pancasila. Orang yang percaya kepada Tuhan akan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya, mengakui persamaan hak dan kewajiban asasi, mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira, tidak semena-mena terhadap orang lain (butir-butir sila kedua Pancasila). Dengan percaya kepada Tuhan, orang Indonesia harus mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok, mengembangkan persatuan dan kerukunan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika (butir-butir sila ketiga Pancasila). Selain itu, yang percaya kepada Tuhan juga tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan demi kepentingan bersama dan berusaha untuk menerima dengan itikad baik dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan (butir-butir sila keempat Pancasila). Terakhir, orang yang percaya kepada Tuhan harus mengembangkan perbuatan luhur seperti sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, menghormati hak orang lain (butir-butir sila kelima Pancasila).

Bagaimana dengan islam? Pertama-tama iman kepada Tuhan yang Maha Esa perlu digugat. Memang selalu terdengar konsep tauhid sehingga umat islam menyatakan bahwa agamanya percaya pada Tuhan yang Maha Esa. Umumnya orang memahami “esa” itu “satu”. Nah sungguhkah Tuhannya islam itu satu? Telaah linguistik atas ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah islam itu ada dua. Ambil contoh surah al-Baqarah: 33 – 34. Dalam 2 ayat yang saling berkaitan ini, Allah yang berfirman menggunakan 2 kata ganti, yaitu Dia (ay. 33) dan Kami (ay. 34). Dalam tata bahasa mana pun, kata “kami” adalah kata ganti orang ketiga jamak, lebih dari satu. Dalam kata “kami” bisa termasuk saya dan engkau, bisa juga saya, engkau dan dia, atau hanya saya dan dia. Jadi, dalam kutipan 2 ayat itu, kata Kami (ay. 34) mau menerangkan Allah yang berfirman dengan Allah lain yang disebutkan-Nya dalam ay. 33 dengan memakai kata ganti Dia. Sangatlah jelas bahwa kata “Kami” yang digunakan di sini benar-benar menggambarkan kejamakan, bukan memperhalus kata.

Dengan demikian, terdapat dilematik pemahaman keesaan Allah dalam islam. Di satu sisi islam menganut konsep “tiada Tuhan selain Allah”, yang biasa dikenal dengan istilah tauhid. Konsep ini ditegaskan juga dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dan konsep inilah yang dominan dihayati umat islam. Namun di sisi lain, jika Al-Qur’an, yang menjadi sumber dan pusat iman islam, dicermati secara kritis, Allah islam itu bukan satu melainkan dua. Jika memang benar dua, maka dapat dipastikan islam bertentangan dengan sila pertama Pancasila.

Penerapan kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa pun mengalami problematik dalam islam. Bukan rahasia lagi bahwa islam adalah agama yang mengkafir-kafirkan orang yang tidak sependapat dengannya. Dasar pengkafiran itu ada dalam Al-Qur’an, dan Al-Qur’an juga mengajarkan untuk tidak bekerja sama, dan menghormati orang kafir. Bahkan Al-Qur’an meminta umat islam untuk memusuhi, memerangi hingga membunuh orang kafir. Sudah jamak diketahui kalau islam selalu diidentikkan dengan intoleransi. Aksi-aksi intoleransi yang terjadi selama ini bukan cuma dilakukan oleh umat islam, tetapi mereka melakukannya atas dasar ajaran agama. Dengan kata lain, aksi intoleransi bukan sekedar pelakunya beragama islam, tetapi dasar aksinya adalah ajaran islam. Terkait hal ini ada adagium, “Untukmu agamamu; untukku agamaku. Tapi kamu harus ikut aturan agamaku.”

Kerap terjadi juga perbuatan atau penghayatan umat islam yang tidak sejalan dengan sila kedua. Dengan mengkafirkan umat agama lain, secara tidak langsung islam tidak memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya. Masalah TOA atau juga kebijakan dalam bulan ramadhan menunjukkan tidak adanya sikap tenggang rasa dan tepa selira serta sikap semena-mena kepada orang lain. Yusuf Kalla menilai TOA sudah menjadi “polusi suara”. Umat agama lain sungguh merasa terganggu kenyamanan dan ketenangannya, namun terpaksa (atau dipaksa?) bungkam. Ada dua kebijakan dalam bulan ramadhan yang efeknya seperti kasus TOA. Keduanya adalah puasa dan tradisi membangunkan sahur. Dalam dua kegiatan ini terlihat sikap semena-mena umat islam kepada umat agama lain. Hal ini seakan menguatkan kembali adagium “Untukmu agamamu; untukku agamaku. Tapi kamu harus ikut aturan agamaku.”

Ajaran islam yang mengkafirkan umat agama lain juga bertentangan dengan sila ketiga. Bagaimana mungkin bisa membina kesatuan dan persatuan jika dalam dirinya sudah terbina sikap menganggap rendah agama lain, bahkan terpanggil untuk membinasakannya? Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dan golongan, yang tercakup dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Pancasila mengayomi semuanya tanpa memandang bulu. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan harus diperlakukan sama. Dengan merendahkan pemeluk agama lain, sudah membuktikan adanya ketidak-samaan itu, dan tidak adanya semangat untuk membina kerukunan antar pemeluk agama.

Sila keempat mengajak setiap warga negara Indonesia untuk mengambangkan semangat musyawarah mufakat. Dasar dari semangat ini adalah sikap mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Tentulah semangat ini sulit diterapkan dalam islam yang sudah terlebih dahulu memandang hina dan rendah umat agama lain. Al-Qur’an melarang umat islam untuk bekerja sama, saling menolong dan mentaati orang kafir. Secara tidak langsung, mau dikatakan di sini bahwa umat islam tidak mungkin bisa bermusyawarah dengan umat agama lain, yang adalah kafir.

Islam mengajarkan bahwa pemeluk agama lain, yang tidak menerima Al-Qur’an sebagai kitab suci dan Muhammad sebagai nabi, adalah orang kafir. Dengan memandang umat agama lain sebagai kafir apalagi berusaha membinasakan orang kafir, tampak jelas islam tidak menghormati hak orang lain untuk berbeda kepercayaan dan keyakinan. Bagaimana bisa bersikap adil jika sesama yang berbeda agama ini harus dimusuhi dan bahkan dibinasakan? Di sini terlihat kalau ajaran islam tidak sejalan dengan sila kelima Pancasila.

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa agama islam bertentangan dengan Pancasila. Atau dengan kata lain, agama islam tidak pancasilais sebagaimana yang sering digembar-gemborkan. Akarnya terletak pada ajaran islam yang melihat pemeluk agama lain sebagai kafir. Al-Qur’an sudah mengajarkan bahwa orang kafir adalah musuh yang nyata bagi umat islam. Karena itu, umat islam diminta untuk balas memusuhi orang kafir, bahkan berusaha untuk memerangi dan membinasakan orang kafir.

Mungkin ada orang yang menunjukkan beberapa tokoh islam yang menampilkan sikap pancasilais seperti hidup rukun, penuh pengertian, mengutamakan kepentingan bangsa, hidup solider dengan umat agama lain, dll. Memang benar, ada banyak tokoh islam yang menampilkan jiwa Pancasila dalam kehidupannya. Mereka adalah orang hebat. Akan tetapi, kehebatan mereka ini tidak lantas menghapus ajaran islam. Sikap pancasilais umat islam sering menjadi cemoohan di kalangan islam sendiri. Misalnya ketika ada umat islam mengucapkan selamat natal kepada sesamanya atau menunjukkan solidernya dengan umat agama lain.

Melihat fenomena umat islam yang pancasilais ini, hendaknya tidak membuat orang menyamakan begitu saja agama dengan sosok pribadi manusia. Haruslah dikatakan bahwa yang pancasilais itu orangnya, bukan agamanya. Agama sendiri, dari penjelasan di atas, sudah terlihat jelas tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat islam bisa menjadi pancasilais dengan tidak melaksanakan ajaran agamanya.

Dabo Singkep, 8 September 2020

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar