Jumat, 15 Mei 2020

QS. 109: 6 DAN FAKTANYA DALAM BULAN RAMADHAN

Umat islam, terlebih para kyai dan ulama selalu membanggakan bahwa agama islam adalah agama yang toleran. Sekalipun ada kelompok islam yang selalu menampilkan wajah radikal, dan dalam wajah radikal tersebut terlihat karakter intoleransi, tetap saja para kyai dan ulama ini bersikukuh bahwa islam adalah agama yang toleran. Agama islam selalu mengedepankan toleransi. Untuk membumbui argumen tersebut, mereka selalu menyuarakan bahasa retorika tentang islam sebagai rahmatan lil alamin.
Dasar argumen bahwa agama islam adalah agama toleran adalah wahyu Allah SWT sendiri. Umat islam yakin bahwa wahyu Allah SWT ada dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain, Al-Qur’an merupakan perkataan Allah SWT, yang langsung dibukukan. Dasar keyakinan ini ada pada firman Allah sendiri (QS. as-Zumar: 1 – 2). Untuk mendukung karakter islam yang toleran, mereka biasanya merujuk pada surah al-Kafirun ayat 6, yang berbunyi, “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” Dalam wahyu ini terbersit semangat saling menghormati dan menghargai sebagai fundasi toleransi.

Dengan semangat saling menghormati dan menghargai yang ada dalam QS. al-Kafirun: 6, maka tidak akan ada gesekan di tengah masyarakat yang majemuk. Umat islam akan menghormati dan menghargai umat agama lain, karena mereka mereka sudah “final” dengan agamanya. Dapatlah dikatakan bahwa QS. al-Kafirun: 6 membuat umat islam tidak akan menggangu umat agama lain (demikian pula sebaliknya) sehingga umat agama lain, terlebih yang bestatus minoritas, dapat merasa hidup nyaman.
Akan tetapi, dalam praktek keseharian gema spirit surah al-Kafirun ini terlihat. Terlebih pada bulan suci ramadhan, dimana umat islam menjalani ibadah puasa. Gaung semangat surah al-Kafirun seakan lenyap ditelan tradisi atau juga ajaran islam lainnya. Semangat untuk saling menghormati dan menghargai tidak ada. Yang ada hanyalah semangat agar umat agama lain menghormati dan menghargai umat islam. Dalam bulan suci ramadhan ini roh surah al-Kafirun hilang sehingga umat agama lain merasa tak nyaman. Berikut ini kita ambil beberapa contoh.
***
Sudah jamak terjadi, di bulan suci ramadhan banyak warung-warung tutup, atau kalau buka maka harus ditutup dengan kain. Selain itu juga, umat agama lain diminta untuk tidak makan atau minum di depan umum. Bagi yang biasa merokok, maka ia harus merokok secara sembunyi-sembunyi. Tidak boleh di depan seorang muslim. Tujuannya cuma satu, yakni untuk menghargai dan menghormati umat islam yang sedang berpuasa. Mereka saat itu, dimulai sahur hingga berbuka (saat mahgrib) tidak makan dan tidak minum, juga tidak merokok.

Ada kesan bahwa umat agama lain harus “berpuasa” untuk menghargai dan menghormati umat islam. Sementara umat islam tidak mau menghargai dan menghormati umat agama lain yang tidak berpuasa. Padahal “untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” Seharusnya, umat islam berpuasa tanpa “memaksa” umat agama lain untuk ikut “berpuasa”. Artinya, ya silahkan warung tetap buka seperi biasa, silahkan umat agama lain makan minum dan merokok di depan umum, dan umat islam silahkan menjalani puasanya. Ketika makan, minum dan merokok, umat agama lain tidak boleh menggoda, apalagi memaksa umat islam untuk mencicipi.
***
Di bulan suci ramadhan ini banyak tempat-tempat hiburan, seperti karoke, pub, panti pijit dan spa, dan lainnya ditutup. Seandainya pun di buka, pasti akan dibatasi waktunya. Alasannya cuma satu, yakni untuk menghargai dan menghormati umat islam yang sedang berpuasa. Akan tetapi, secara implisit ada alasan tersembunyi, yaitu untuk menjaga kesucian bulan ramadhan.

Apa yang terjadi di sini seolah-olah umat agama lain juga harus “berpuasa” dari hiburan untuk menghargai dan menghormati umat islam yang sedang berpuasa, dan juga menghargai dan menghormati bulan suci ramadhan. Sementara umat islam tidak mau menghargai dan menghormati umat agama lain yang tidak berpuasa. Umat islam tidak mau tahu kalau tenyata umat agama lain tidak berpuasa dan tetap membutuhkan hiburan.
Di sini terlihat islam tidak mempunyai toleransi. Asas “untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku” yang disuarakan Allah SWT sepertinya tidak membekas. Seharusnya, umat islam berpuasa tanpa “memaksa” umat agama lain untuk ikut “berpuasa”. Artinya, silahkan tempat-tempat hiburan dibuka, karena umat agama lain masih membutuhkannya. Umat islam harus menghargai dan menghormati umat agama lain yang menikmatinya, dan umat agama lain jangan kecewa jika temannya yang islam tidak bisa datang menikmati hiburan bersamanya.

***
Sudah banyak terjadi di kehidupan ini, di setiap bulan suci ramadhan di banyak tempat ada kebiasaan orang, pada subuh jam 03.00, berkeliling sambil berteriak-teriak, “Sahur! Sahur!”. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa dalam bulan suci ramadhan, pada subuh jam 03.00, selalu ada sekelompok umat islam membangunkan sesama umat islam untuk bangun dan mulai sahur. Mereka tidak hanya sekedar berteriak (dan biasanya dengan menggunakan pengeras suara), melainkan juga sambil membunyikan beberapa alat musik. Secara sederhana, dengan bahasa awam, mereka bikin keributan atau kebisingan supaya orang islam bangun untuk sahur. Yang jelas apa yang dilakukan itu cukup untuk membangunkan orang tidur. Di sini sudah terlihat jelas alasan dan tujuan aktivitas tersebut, yaitu mengingatkan umat islam untuk sahur.

Sayangnya mereka lupa kalau ternyata di beberapa tempat yang mereka lalui sambil berteriak-teriak dan membunyikan bunyi-bunyian itu tidak semuanya beragama islam dan berpuasa. Namun apa yang mereka lakukan itu justru membangunkan juga umat agama lain yang sebenarnya tidak sedang menjalani puasa. Dengan kata lain, tindakan tersebut seakan memaksa umat agama lain harus ikutan sahur, sekalipun nanti mereka tidak berpuasa. Teriakan “sahur!” yang diikuti dengan bunyi-bunyian suara dari alat musik sangat jelas menggangu kenyamanan tidur umat agama lain.
Jika umat islam benar-benar menghayati karakter toleransi sebagaimana tertuang dalam QS al-Kafirun: 6, seharusnya dengan kesadaran sendiri tiap-tiap umat islam bangun dan sahur sendiri tanpa harus membangunkan umat agama lain. Umat islam semestinya membiarkan umat agama lain tetap menikmati istirahatnya, sama seperti umat agama lain yang telah membiarkan umat islam sahur, dan tidak akan menggangunya. Jangan mengajak, apalagi memaksa umat agama lain, yang tidak berpuasa, untuk sahur seperti umat islam.

***
DEMIKIANLAH 3 contoh atau bukti intoleransi umat islam di bulan suci ramadhan. Intoleransi ini menunjukkan bahwa umat islam tidak menghayati semangat saling menghormati dan menghargai sebagaimana sudah diamanatkan dalam QS al-Kafirun: 6. Umat islam masih memperlihatkan karakter arogannya, yakni dengan memaksakan kehendaknya dan tak mau peduli dengan orang lain. Mereka memaksakan agar warung-warung tutup atau ditutup dengan kain, demikian pula dengan tempat-tempat hiburan; mereka memaksa agar umat agama lain tidak boleh makan, minum dan merokok di tempat umum sebagaimana biasanya dilakukan; mereka memaksa umat agama lain untuk bangun saat sahur.

Menjadi pertanyaan kita adalah: apakah tindakan menutup warung-warung makan dan tempat-tempat hiburan sudah sesuai ajaran islam? Apakah meminta orang yang bukan islam untuk tidak makan, minum dan merokok di tempat biasa sudah sesuai ajaran islam? Apakah aktivitas membangunkan orang untuk sahur dengan membuat keributan dan kebisingan sudah sesuai ajaran islam?
Dapatlah dipastikan bahwa semua itu sudah sesuai ajaran islam. Karena jika tidak, maka pasti akan ada teguran dari otoritas islam, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selama ini sepertinya MUI mendukung semua kegiatan tersebut, sekalipun kegiatan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan semangat saling menghormati dan menghargai yang ada dalam QS 109: 6.

Oleh karena itu, kepada agama islam diberlakukan asas ini: “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku. Tapi kamu harus ikut aturan agamaku.”
Dabo Singkep, 8 Mei 2020
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar