Kamis, 16 Januari 2020

SURAT GEMBALA USKUP KEUSKUPAN PANGKALPINANG DALAM KERANGKA TAHUN COMMUNIO 2020


Saudari-saudara yang terkasih dalam Yesus Kristus,
Semoga Tuhan memberimu damai sejahtera. Semoga Pulau-pulau bersukacita.
Setelah pada tahun lalu berupaya membangun hidup yang berpusat pada Kristus, selama tahun 2020 ini kita akan memberikan perhatian pada upaya membangun communio, persekutuan, persaudaraan. Berpusat pada Kristus dan membangun communio adalah dua hal yang berkaitan sangat erat. Kalau hidup seseorang makin berpusat pada Kristus, ia akan menjadi pribadi yang bersaudara, mengupayakan persekutuan dan bukan perpecahan. Upaya membangun communio juga berkaitan langsung dengan Allah Tritunggal yang kita imani. Allah Tritunggal hidup dalam persekutuan kasih, maka Gereja juga harus hidup dalam persekutuan kasih. “Demikianlah Gereja nampak sebagai umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus.” (LG 4). Di dalam Gereja, umat awam, para religius (biarawan/wati) dan klerus (diakon, imam, uskup dan Paus) saling mengakui dan menerima sebagai saudara-saudari. “Dengan menganut teladan Tuhan, para Gembala Gereja saling mengabdi dan melayani umat beriman lainnya. Sedangkan kaum beriman dengan suka hati bekerja sama dengan para Gembala dan guru mereka.” (LG 32).
Guna mengisi tahun ’communio’ ini saya mendorong agar kita semua (masing-masing pribadi, keluarga, kbg-kbg, kelompok kategorial, paroki, komisi, sekolah, rumah sakit, asrama, komunitas pastoran, dll) merancang secara kreatif aneka kegiatan guna meningkatkan mutu ‘communio’/persekutuan di antara kita. Paling tidak ada tiga aspek yang perlu diperhatikan:

a.     Aspek pemahaman: Perlu dirancang kegiatan-kegiatan yang meningkatkan pemahaman dan pengertian kita tentang ‘communio’ itu sendiri. Misalnya, melalui pertemuan kbg, seminar, diskusi, dll.
b.     Aspek ‘mensyukuri dan merayakan’: Sepantasnya kita juga bersyukur atas persekutuan dan persaudaraan yang sudah ada di antara kita. Syukur itu dapat diungkapkan dan dirayakan dalam pertemuan-pertemuan, doa-doa, ekaristi dan sharing Injil dengan tema communio, ziarah, rekreasi, dll.
c.     Aspek ‘mewujudkan’: Kita perlu mempertahankan dan meningkatkan kualitas ‘persekutuan’ kita melalui sikap dan tindakan-tindakan yang konkret: kerjasama, saling melayani, memperhatikan yang lemah (sakit, tua, miskin, dll), mengupayakan rekonsiliasi/perdamaian, dll.
Membangun communio tentu saja meliputi banyak aspek. Tetapi saya ingin mengajak kita sekalian untuk memberi perhatian khusus pada dua ciri ini: communio yang berbelas kasih, murah hati (khususnya pada yang lemah dan menderita) dan communio yang rahim (saling mengampuni dan mengupayakan rekonsiliasi bila diperlukan). Dua ciri ini penting karena berkaitan langsung dengan sifat inti dari Allah Tritunggal yang kita imani. Paus Fransiskus mengingatkan kita tentang hal ini dalam homili malam natal 2019 yang lalu. “Natal mengingatkan kita bahwa Allah senantiasa mengasihi kita semua, bahkan yang paling buruk dari kita. Pada saya, Anda, masing-masing dari kita Ia berkata hari ini: ‘Aku mengasihi kamu dan Aku akan selalu mengasihi kamu, karena kamu berharga di mataku.’ Allah mengasihi kamu bukan karena kalian berpikir dan bertindak dengan benar. Ia mengasihimu secara tulus dan sederhana. Kasih-Nya tanpa syarat … Mungkin kamu memiliki pendapat yang keliru, melakukan banyak kesalahan. Tuhan tetap mengasihimu. Betapa sering kita berpikir bahwa Allah itu baik jika kita baik dan Allah menghukum kita bila kita bersalah. Namun Allah tidak seperti itu. Kendati semua dosa kita, Ia senantiasa mengasihi kita. Kasih-Nya tidak berubah … Itulah rahmat yang dianugerahkan natal pada kita.”
Apa yang disampaikan ini adalah sesuatu yang penting sekali. Bapa Suci mengingatkan kita akan sifat inti dari Allah Tritunggal yang kita imani bersama. Allah itu adalah kasih yang murah hati dan maha rahim. Kalau kita ingin menjadi Gereja yang ‘dijiwai Allah Tritunggal’, maka kita pun perlu mengupayakan agar Gereja kita memiliki wajah yang penuh kasih: Murah hati, berbelas kasih dan penuh kerahiman. Karena itu, saya sungguh mendorong kita semua untuk mencari dan menemukan cara-cara kreatif agar wajah Gereja Keuskupan Pangkalpinang menjadi makin murah hati dan penuh rahim. Semoga melalui upaya kita bersama, siapapun yang berkunjung ke wilayah keuskupan kita langsung dapat mengalami dan merasakan bahwa kita adalah Gereja yang berbelas kasih, murah hati dan penuh kerahiman.
Communio yang murah hati secara konkret berarti bahwa para anggotanya memiliki kepekaan dan perhatian satu sama lain, rela berbagi dan memberi (dana, waktu maupun talenta), khususnya bagi mereka yang lemah dan menderita. Di dalam kelompok kita (keluarga, kbg, paroki, dll) selalu saja ada yang lemah dan menderita yang perlu diperhatikan secara istimewa. Janganlah kita lupa bahwa Yesus memuji orang Samaria yang bermurah hati bagi saudaranya yang menderita (Luk 10: 25 – 37).
Communio yang rahim secara konkret berarti bahwa para anggotanya bersedia saling mengampuni satu sama lain. Marilah mengisi tahun communio ini dengan mengupayakan perdamaian, rekonsiliasi dengan saudara/i atau kelompok yang masih berselisih. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada di dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (Mat 5: 23 – 24).
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Sambil mengucapkan selamat memasuki tahun ‘communio’, saya ingin mengakhiri surat gembala ini dengan mengutip ajaran dari Paus Fransiskus tentang wajah ‘communio’ gerejawi yang beliau harapkan. Dalam audiensi umum 28 Agustus 2019, Paus Fransiskus mengajak kita untuk belajar dari jemaat perdana yang menyebut Gereja sebagai “rumahsakit lapangan” yang menerima orang-orang yang paling tidak berdaya. Hal serupa sudah pernah disampaikan beliau dalam seruan apostolik Evangelii Gaudium: “Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri.” (EG 49). Janganlah kita menjadi Gereja yang “tertutup dalam struktur-struktur yang memberikan kita rasa aman palsu, dalam peraturan-peratruran yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam, dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman, sementara di luar pintu kita orang-orang sedang kelaparan dan Yesus tak lelah-lelahnya bersabda kepada kita: Kamu harus memberi mereka makan (Mrk 6: 37).” (EG 49).
Semoga Gereja Keuskupan Pangkalpinang (pribadi-pribadi, keluarga, kbg-kbg, kelompok-kelompok kategorial, paroki, unit-unit pastoral) makin bertumbuh menjadi Gereja yang murah hati, berbelas kasih dan penuh kerahiman. Tuhan memberkati kita semua.
Pangkalpinang, 12 Januari 2020

                 ttd

Mgr. Adrianus Sunarko, OFM
Uskup Keuskupan Pangkalpinang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar