Rabu, 02 Oktober 2019

BAGAIMANA ORANG NON MUSLIM MELIHAT KASUS USTADZ ABDUL SOMAD

Ustadz Abdul Somad (UAS) termasuk salah satu dari sekian banyak ustadz atau penceramah agama islam yang paling popular. Wawasan pengetahuannya akan islam dan aqidahnya sangat mumpuni. Aqidah islam inilah yang selalu disampaikan dalam setiap ceramah keagamaannya. Jam terbang yang dimilikinya sangat tinggi. Hampir setiap bulan UAS tampil di beberapa tempat di Indonesia, bahkan biasa tampil di salah satu stasiun televisi. Semua hal itu membuktikan kalau memang UAS sangat popular.
Dalam salah satu ceramah keagamaannya di Masjid Annur di Pekanbaru 3 tahun lalu, UAS membahas soal patung salib orang katolik. Dengan mengatakan, “di salib itu ada jin kafir” dan “di dalam patung itu ada jin kafir” UAS telah dinilai menghina agama Kristen, entah itu katolik maupun protestan. Ada segelintir elemen Gereja Kristen menuntut UAS ke polisi, sekalipun pimpinan kedua Gereja sudah menghimbau agar masalah UAS tidak dibawa ke ranah hukum. Terlihat kalau himbauan pimpinan Gereja, baik Konferensi Waligereja Indinesia (KWI) maupun Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) lebih mengedepankan ajaran kristiani, yaitu mengampuni, mendoakan dan mengasihi. Namun apa yang dilakukan segelintir elemen Gereja Kristen dengan menuntut UAS ke polisi hendak membuktikan hukum.
Akan tetapi, sepertinya kasus UAS ini tidak akan seperti kasus yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama (BTP). Sudah pasti tidak akan ada “fatwa” penistaan agama dari KWI dan PGI. Juga tidak akan ada demo besar-besaran. Selain itu, Mejelis Ulama Indonesia (MUI) ada di belakang UAS. Bukan tidak mustahil bahwa popularitas UAS menyelamatkannya dari jerat hukum. Dapat dipastikan UAS akan tetap melenggang, dan popularitasnya semakin melejit.
Kasus UAS, meski kajian islamnya tentang patung salib disampaikan secara tertutup, sudah bersifat publik. Pusat perhatian publik tidak hanya berhenti pada dua pernyataan UAS tentang salib dan patung, melainkan berlanjut pada sikap MUI dan umat islam umumnya yang membela UAS serta pernyataan bahwa kajian UAS 3 tahun lalu itu sudah sesuai dengan aqidah islam. Karena itu, apa dan bagaimana pandangan umat lain yang bukan beragama islam?
Berikut ini beberapa pandangan umat non muslim setelah melihat perjalanan kasus UAS.
1.  Ketika muncul aksi terorisme, yang mengatas-namakan islam, banyak tokoh islam mengklaim bahwa aksi itu bukan cermin agama islam. Semua tokoh islam lantas mengatakan bahwa islam itu agama rahmatan lil alamin, agama kasih dan damai. Sungguh terkesan indah. Namun ketika berhadapan dengan UAS yang menghina agama lain, umat islam justru membela. Hal ini tentulah akan membingungkan umat non islam. Bukan tidak mustahil mereka akan mengatakan bahwa slogan rahmatan lil alamin hanyalah retorika kosong saja. Ini mirip kutipan puisi MALAM LEBARAN karya Sitor Situmorang, “Bulan di atas kuburan”. Bulan memang terlihat indah (apalagi purnama), namun keindahan itu kontras dengan kuburan, yang diidentikan dengan bangkai dan tulang belulang.
2.  Pada umumnya semua orang, bahkan termasuk orang islam sendiri, sudah tahu dan setuju bahwa agama itu mengajarkan kebaikan. Namun melihat kasus UAS, pernyataan itu sepertinya tidak berlaku untuk agama islam, karena terbukti aqidah islam membolehkan untuk menghina agama lain. Belum lagi bila melihat aqidah-aqidah islam lainnya yang senada, dimana ternyata ada hasutan kepada kebencian dan permusuhan. Hal ini membuat orang non muslim menilai bahwa keindahan islam hanyalah tampilan luar saja, sementara di dalamnya penuh dengan kebusukan. Ini mirip seperti kecaman Yesus kepada para ahli Taurat dan kaum farisi, yang “seperti kuburan, yang sebelah luar tampak bersih, tapi sebelah dalam penuh dengan kekotoran.” (bdk. Matius 23: 27 – 28)
3.  Dengan melihat pembelaan MUI dan umat islam lainnya terhadap UAS, umat non islam melihat bahwa ternyata agama islam membolehkan menghina agama lain, asalkan dilakukan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi. Karena itu, tidak mustahil kasus UAS ini hanyalah kasus kecil yang muncul di publik. Ada banyak kasus serupa yang tak kelihatan karena memang tidak dimunculkan atau dilakukan secara tersembunyi. Orang non muslim melihat sepertinya ada kesan pada orang islam berlaku asas ini: “Untukmu agamamu, untukku agamaku. Tapi aku boleh menghina agamamu.”
4.  Kasus UAS dengan pembelaan-pembelaan yang dilakukan MUI dan umat islam lainnya membuktikan kepada umat non muslim bahwa islam bukanlah agama toleran. Toleransi yang selalu didengung-dengungkan orang islam adalah apabila umat agama lain menghormati islam, sementara islam tak wajib menghormati agama lain. Dengan kata lain, islam boleh tak menghormati. Hal ini mirip dengan asas di atas: “Untukmu agamamu, untukku agamaku. Tapi aku boleh menghina agamamu.”
5.  Terkait poin no. 4 di atas, umat non islam akhirnya sadar bahwa tidak mungkin membangun dialog dengan umat islam. Pada umumnya orang tahu kalau dialog itu terjadi pada dua pihak yang mempunyai kedudukan yang setara. Kasus UAS, yang dibela oleh MUI dan umat islam lainnya, menunjukkan adanya ketidak-setaraan antara islam dan agama lain. Agama lain tidak boleh menghina islam (dan memang tidak ada ajaran dalam agamanya untuk melakukan hal itu), tetapi agama islam boleh menghina agama lain.
6.  Sebagian orang non muslim, ketika mendengar berita kasus UAS, langsung teringat akan Dokumen tentang Persaudaraan Insani demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, atau biasa dikenal dengan Dokumen Abu Dhabi. Dokumen itu ditanda-tangani oleh Ahmed el-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar, dan Paus Fransiskus. Berhubung Paus Fransiskus mewakili umat katolik sedunia, orang lantas berpikir bahwa Ahmed el-Tayeb mewakili umat islam. Ada 2 pernyataan menarik dari dokumen itu, yaitu agama tidak boleh menghasut orang kepada sikap kebencian, dan menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai. Mencermati Dokumen Abu Dhabi tersebut, umat non muslim akan kebingungan bila mengaitkan dengan kasus UAS yang dibela oleh MUI. Kasus UAS jelas bertentangan dengan sikap yang disuarakan oleh Imam Besar Al-Azhar, yang telah menanda-tangani Dokumen Abu Dhabi.
7.  Orang yang bukan islam melihat adanya ketidak-konsistenan para tokoh agama islam dalam menerapkan aqidah islam. Jika patung salib dipersoalkan, kenapa patung lainnya tidak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di kantor MUI ada patung burung Garuda Pancasila. Hampir di setiap kota-kota besar, bahkan yang jumlah penduduk islamnya terbesar, bertebaran patung-patung yang menghiasi wajah kota. Apakah hanya pada patung salib saja ada jin kafir, sedangkan patung lain tidak ada? Padahal yang dilarang dalam hadis adalah patung.
8.  Selain ketidak-konsistenan para tokoh agama islam, kasus UAS ini juga memperlihatkan bahwa ada begitu banyak umat islam tidak menjalankan aqidah islamnya. Dapat dibuktikan ada banyak umat islam mempunyai patung dan menyimpannya di dalam rumah sebagai hiasan. Padahal keberadaan patung itu dilarang dalam ajaran islam, berdasarkan HS Muslim 24: 5250. Hadis sama sekali tidak menyebut soal model, jenis atau pun bentuk patung yang menyebabkan malaikat tidak dapat masuk ke dalam rumah. Yang dikatakan hadis hanyalah patung.
9.   Orang sudah tahu bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu aspek dari hukum adalah keadilan, dan salah satu asas hukum adalah semua orang sama di muka hukum. Jika kasus UAS ini tidak sampai ke meja pengadilan, tentulah umat non muslim akan menilai bahwa hukum tidak adil di negara hukum. Dapatlah dikatakan bahwa hukum Indonesia lemah atau tunduk terhadap tekanan mayoritas.

DEMIKIANLAH kiranya beberapa pandangan umat non muslim dalam melihat kasus UAS. Mungkin masih ada pandangan lain lagi, yang tak sempat kami ungkapkan di sini. Apakah dari pandangan ini orang lantas menilai agama islam itu buruk? Kami sama sekali tidak mengatakan hal itu. Silahkan saja pembaca menilainya sendiri.
Lingga, 18 September 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar