Rabu, 12 September 2018

SIKAP TERHADAP TUBUH DAN DARAH KRISTUS

Sering umat mengeluh terkait “aturan” liturgi yang berbeda-beda antar imam yang satu dengan yang lainnya. “Romo ini bilang begini, Romo lain bilang begitu,” demikian keluh umat. Menghadapi hal ini, tak jarang umat bingung: mana yang harus diikuti. Umat jadi serba salah, ibarat dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah. Kebingungan ini disebabkan karena umat menerima saja apa yang disampaikan oleh imam sebagai suatu kebenaran. Maka, ketika mendengar pernyataan imam lain, yang berbeda dari sebelumnya, umat seakan berada pada dua kebenaran.
Kebingungan ini sebenarnya bisa dihindari jikalau umat mau berpegang pada kebenaran umum, bukan kebenaran imamnya (meski sering terjadi, ketika menyampaikan itu, imamnya selalu mengatas-namakan kebenaran umum). Kebenaran umum itu ada pada pedoman yang dikeluarkan oleh otoritas Gerejawi. Terkait dengan liturgi, khususnya soal Ekaristi, ada Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR). Semua orang, imam atau awam, tunduk pada pedoman ini. Semua imam, pastor paroki atau pembantu, harus taat pada pedoman ini. Sangat menarik bahwa dalam pedoman ini ada himbauan agar “imam hendaknya mengutamakan kepentingan rohani umat. Janganlah memaksakan kesukaannya sendiri.” (no. 355).
Salah satu kebingungan yang dihadapi umat adalah soal sikap tubuh ketika, setelah kata-kata konsekrasi atas hosti, imam mengangkat hosti (Tubuh Kristus); demikian pula terhadap piala (Darah Kristus). Ada umat menundukkan kepala sambil kedua tangan terkatup diangkat ke atas lebih tinggi dari kepala. Ini merupakan sikap menyembah. Akan tetapi, ada imam menyalahkan sikap tersebut. Imam ini mengatakan bahwa ketika Tubuh Kristus dalam hosti diangkat, demikian juga piala (Darah Kristus), umat harus melihat atau memandang-Nya. Nah, atas dua sikap ini, mana yang benar?
PUMR memang tidak secara eksplisit dan tegas menyatakan sikap mana yang harus dilakukan. Namun PUMR mengajak imam untuk “lebih mengutamakan kepentingan rohani umat Allah daripada keinginannya sendiri.” (no. 352). Kalau begitu, jika PUMR sendiri tidak memberikan petunjuk baku, darimana perintah umat harus memandang atau melihat hosti suci dan piala ketika diangkat imam setelah kata-kata konsekrasi? Apakah perintah itu bertentangan dengan PUMR?
Dapat dipastikan bahwa perintah agar umat melihat atau memandang hosti suci dan piala ketika diangkat imam setelah kata-kata konsekrasi ada dalam Tata Perayaan Ekaristi Buku Umat. Pada bagian keterangan, di bawah kata-kata konsekrasi atas roti (anggur), dikatakan “Ketika Imam memperlihatkan Hosti Suci (Piala) dengan mengangkat-Nya, Umat memandang-Nya.” Sangat jelas perintahnya, yaitu memandang Hosti Suci dan Piala.
Keterangan yang ada dalam buku Tata Perayaan Ekaristi Buku Umat ini tidaklah bertentangan dengan PUMR. Buku ini dikerjakan dan diterbitkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan KWI mempunyai kewenangan menentukan tata gerak dan sikap tubuh umat beriman sebagaimana yang diamanatkan PUMR (no. 390). Dengan kata lain, PUMR membuka peluang bagi Konferensi Uskup untuk mengadakan penyerasian yang ditunjukkan dalam PUMR. Salah satu penyerasian itu adalah tata gerak dan sikap tubuh umat beriman.
Akan tetapi, dasar argumen ini tidak serta merta dapat menggugurkan kebiasaan umat menyembah Tubuh dan Darah Kristus dengan sikap menunduk dengan kedua tangan terkatup di atas kepala. Bagi kami, dasar argumen tersebut kurang kuat, karena
a)   Kenapa perintah umat harus memandang hanya terdapat dalam Buku Umat saja, sedangkan dalam Buku Imam tidak. Mungkin ada yang mengatakan, “Kan itu buku umat.” Dalam TPE Buku Imam ada juga perintah kepada umat yang ditulis seperti duduk, berdiri, berlutut, dll.
b)   Jika diperhatikan rumusan kalimat perintah untuk memandang itu, ada kemiripan dengan rumusan yang ada dalam PUMR no. 222c, 227c, 230c dan 233c: “Waktu hosti dan piala diperlihatkan, mereka memandangnya.” Rumusan ini dikhususkan untuk para imam saat misa konselebrasi. Karena itu, ada kesan KWI menerapkan aturan untuk imam kepada umat, tanpa memperhatikan “kepentingan rohani umat Allah” (PUMR no. 352).
c)   Terkait persoalan kita, terdapat pertentangan dalam TPE Buku Umat sendiri. Dalam bagian Doa Syukur Agung dikatakan “Ketika Imam memperlihatkan Hosti Suci dengan mengangkat-Nya, Umat memandang-Nya.” (demikian pula dengan piala)tapi dalam bagian Petunjuk Praktis, khususnya pada bagian keterangan menyembah dikatakan “dilakukan ketika Imam mengangkat Tubuh dan Darah Kristus setelah mengucapkan kata-kata konsekrasi...” Artinya, ketika Hosti Suci dan Piala diangkat, umat menyembah; dan sikap menunduk dengan kedua tangan terkatup di atas kepala merupakan sikap menyembah.
Petunjuk Praktis dalam TPE Buku Umat tentang menyembah sejalan dengan keterangan yang ada dalam PUMR no. 3, yaitu bahwa sikap umat terhadap Tubuh dan Darah Kristus adalah sikap hormat dan sembah. Sikap menunduk dengan kedua tangan terkatup di atas kepala merupakan sikap hormat dan sembah. Dengan kata lain, TPE (baik Buku Imam maupun Buku Umat) dan PUMR no. 3 secara implisit tidak melarang sikap umat yang menghormati dan menyembah Tubuh Kristus ketika imam mengangkat hosti setelah kata-kata konsekrasi; demikian pula terhadap piala.

Ada kesan bahwa kalau mata tidak melihat atau memandang, berarti tidak mengakui hosti itu adalah Tubuh Kristus, dan anggur dalam piala adalah Darah Kristus. Melihat hosti yang adalah Tubuh Kristus dan piala (Darah Kristus) tidak harus dengan mata jasmani. Orang lupa bahwa setiap orang memiliki juga mata iman atau mata rohani. Sekalipun mata jasmani tidak terarah pada hosti dan piala, namun mata rohani melihatnya. Dan karena perubahan itu merupakan peristiwa iman, maka mata iman-lah yang lebih berperan. Mata iman tidak selalu terletak pada mata jasmani. Dan mata iman ini mengakui bahwa hosti itu adalah Tubuh Kristus, dan dalam piala itu ada Darah Kristus. Dan karena mengakuinya, maka mereka menghaturkan hormat dan sembah.
Jadi, sikap terhadap Tubuh dan Darah Kristus, ketika diangkat imam setelah kata-kata konsekrasi adalah sikap hormat dan sembah. Sikap ini tampak dalam sikap menunduk khidmat atau menunduk dengan kedua tangan terkatup diangkat sedikit lebih tinggi dari kepala. Namun bisa juga dengan cara memandang-Nya. Seperti, ketika penghormatan kepada Bendera, mereka yang tidak mengangkat tangan di pelipis kepala, cukup dengan memandang ketika bendera digerek ke atas tiang bendera.
Toboali, 24 Maret 2018
by: adrian

2 komentar:

  1. Argumen yang mantap. Bagaimana dengan sikap umat di negara-negara lain yang mempunyai budaya yg berbeda, seperti umat di Vatikan misalnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas tanggapannya. Prinsip utamanya adalah sikap menyembah dan hormat. Tentulah sikap ini berbeda-beda berdasarkan tradisi budaya.

      Hapus