Rabu, 13 Juni 2018

BEDA AGAMA DALAM HIDUP RUMAH TANGGA

Agnes Sri Astuti dan Koes Pranowo berkenalan pada tahun 1972. Mereka bertemu di rumah orangtua Agnes di Slawi, Jawa Tengah. Ayah Agnes dan Ibunda Koes berteman. Waktu itu Agnes naik kelas 2 SMA di Semarang, sedangkan Koes mahasiswa tingkat tiga di Jakarta. Mereka menjalin hubungan melalui surat. Hingga akhirnya mereka memutuskan mengarungi biduk rumah tangga bersama. Namun perbedaan agama membuat mereka harus menempuh jalan berliku.
Awalnya orangtua Agnes tidak mengizinkan sang putri menikah dengan Koes. Seiring waktu, orangtua Agnes mengizinkan pernikahan itu. “Dari keluarga saya, ya antara boleh dan tidak boleh. Keluarga saya katolik semua. Jadi, saya nurut nggak nurut. Saya pernah pacaran dengan pria katolik, tiga bulan putus. Saya merasa nggak sreg. Lalu ibu bertanya mau saya apa? Saya jawab, mau saya dengan Mas Koes. Kemudian orangtua mengizinkan dengan syarat harus menikah secara katolik,” kenang Agnes. Menikah secara katolik tidak menuntut pihak non katolik harus masuk katolik, tetapi tetap dengan imannya. Berbeda kalau menikah secara islam, yang katolik harus masuk islam.
Hal sama dialami Koes. Sang ayah, kakak, dan adik menentang rencana pernikahannya. Ibu Koes sudah meninggal pada 1975. Keluarga Koes sangat terkejut ketika tahu Koes akan menikah dengan Agnes yang bukan muslim. Keputusan Koes bagai petir di siang bolong. Selama ini, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini dikenal penurut.
Karena keluarga inti Koes tak bersedia melamar Agnes, Koes pun membentang harapan kepada tante dan pamannya yang di Yogyakarta. Meskipun ia tahu, seorang kakaknya mengatakan, keluarga melarang tante dan pamannya ikut campur. Koes tetap meminta bantuan tante dan pamannya. Ia pergi ke Yogyakarta dengan alasan sudah terlanjur membeli tiket kereta api.
Dalam perjalanan menuju Yogyakarta, Koes berdoa dalam hati: “Saya serahkan semua kepada-Mu, Tuhan. Saya tidak mau persaudaraan paman dan tante dengan keluarga saya bermasalah gara-gara ini. Saya tidak ingin berbahagia dengan menyusahkan orang lain. Namun, saya juga tidak mau mengecewakan Mbak Agnes. Apapun yang terjadi, saya serahkan kepada Tuhan.” Akhirnya jalan ditawarkan, sahabat paman dan tantenya yang melamarkan Koes.
Bahasa Cinta
Pada 11 November 1979, Agnes dan Koes menikah. Mereka dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Meskipun perbedaan iman ada di antara mereka, Agnes dan Koes berusaha saling mengisi dan melengkapi. Kasih dan cinta menjadi salah satu kekuatan mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga hingga 38 tahun. Mereka pun berharap bisa berkorban dan melayani antar mereka dan sesama sampai maut memisahkannya.
Dalam berumah tangga, Koes bertekad membahagiakan dan melayani Agnes. “Kalau mau pergi-pergi, Mas Koes membereskan pakaian  ke koper. Itu sudah menjadi kebiasaan. Saya tidak bisa,” ujar Agnes sambil tersenyum. Koes pun menambahkan, “Saya ingin terus melayani Mbak Agnes.”
Agnes menderita kanker payudara 12 tahun lalu. Koes setia menemani sang istri. Bahkan pasca-operasi, dan selama kemoterapi, Koes selalu menghabiskan malam di rumah sakit untuk mendampingi Agnes. Dari rumah sakit, Koes lalu berangat ke tempat kerjanya.
“Bahasa cinta untuk Mbak Agnes adalah kehadiran saya. Menurut saya, Mbak Agnes senang jika saya temani. Maka saya ikut koor, misa, dan ziarah. Hal itu sudah saya lakukan demi membahagiakannya. Masa Tuhan tidak tahu kalau saya membahagiakan orang yang saya cintai,” ungkap Koes sambil tersenyum. “Saya senang pergi ada suami. Saya senang jika Mas Koes menemani,” imbuh Agnes. Bahkan, Koes kerap mengingatkan Agnes untuk misa setiap Jumat Pertama.
Koes ingin memberikan diri untuk pasangan hidupnya. Demikian juga Agnes. Ia pun berusaha untuk ada bagi Sang Suami. Ketika bulan puasa tiba, Agnes menemani sang suami sahur dan buka puasa. “Sebelum sakit kanker, saya ikut puasa juga,” kata umat Lingkungan Bonifasius Paroki Cilandak.
Agnes juga berusaha memberikan peneguhan kepada suaminya dalam menghadapi situasi sulit ketika menjalani pekerjaan. “Bahasa cinta saya untuk Mas Koes adalah peneguhan,” ujar perempuan kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 7 November 1956.
Koes adalah dosen Pasca-sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Perbanas Jakarta. Selain itu, Koes juga menjadi eksekutif di beberapa perusahaan. “Dalam menjalani aktivitas sehari-hari, terkadang saya mengalami kesulitan dalam memenuhi target pekerjaan dan lain-lain. Dalam situasi seperti itu, Mbak Agnes membesarkan hati saya,” kata laki-laki kelahiran jakarta, 7 Juli 1950 ini.
Doa pun menjadi salah satu kekuatan Agnes dan Koes dalam menghadapi peristiwa yang mewarnai peziarahan hidup mereka. Dalam menghadapi sakit dan mengarungi bahtera rumah tangga, Agnes mengaku bahwa doa menjadi salah satu cara menimba kekuatan. “Saya yakin doa itu sangat besar kuasanya.”
Terlibat Kegiatan ME
Selain berkorban bagi pasangan, pasutri Agnes dan Koes pun ambil bagian dalam pelayanan. Sejak 1996, pasutri Agnes dan Koes terlibat dalam kegiatan Marriagge Encounter (ME) Paroki Cilandak. “Di ME itu, kami memperbaiki apa yang sudah baik sehingga apa yang sudah baik menjadi semakin baik,” kata perempuan yang terlibat dalam Legio Mariae ini.
Agnes dan Koes tergabung dalam kelompok Doalog ME 6 Paroki Cilandak. Dalam kelompok ini, mereka saling sharing dan memberi peneguhan satu sama lain. Saat ini ada enam pasangan yang tergabung dalam kelompoknya. Biasanya mereka berkumpul dan sharing setiap satu setengah atau dua bulan sekali. Mereka juga mengadakan perayaan Idul Fitri, Imlek, ziarah, retret, dll.
Selain itu, sejak 1997, Agnes juga terlibat dalam Seksi Kerasulan Keluarga (SKK) Paroki Cilandak. Agnes pun membantu konseling, khususnya bagi pasangan yang menikah beda agama. Agnes dan Koes kerap diminta sharing  di salah satu sesi Kursus Persiapan Perkawinan (KPP).
“Kami kerap mengatakan kepada pasangan muda, jangan ikut-ikut kami. Ini jangan dicontoh. Bagi kami berdua, satu iman itu lebih baik,” tanda Agnes. “Kami bukan merasa kami yang mampu menjalani pernikahan beda agama, namun kalau seiman itu lebih baik,” kata Koes menambahkan.
Dicelah kesibukan kerja dan pelayanan, Koes dan Agnes berupaya memiliki waktu bersama. “setiap pagi, kami menyediakan waktu untuk sarapan bersama. Itu menjadi salah satu yang sangat menyenangkan. Kadang malam juga kami ngobrol sebelum tidur,” ungkap Koes.

Agnes dan Koes terus bergandeng tangan mengayuh biduk rumah tangga mereka.
sumber: Hidup Katolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar