Publik
sudah tahu, sejak Oktober lalu izin usaha Hotel Alexis tidak lagi diproses.
Hal itu merupakan bahasa halus Hotel Alexis ditutup. Gubernur DKI Jakarta,
Anies Baswedan, dalam beberapa kali kesempatan menegaskan dengan bahasa lain,
bahwa demi tegaknya aturan Alexis ditutup. Baswedan mengakui sudah mengantongi
banyak bukti dan masukan dari warga.
Sementara,
dalam jumpa persnya, pihak Alexis mengaku kebingungan dengan keputusan gubernur
tersebut. Mereka mengaku bahwa selama ini tidak ada yang salah. Bagi mereka
aturan hukum sudah diikuti. Pernyataan mereka ini, secara tidak langsung,
sejalan dengan pernyataan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Lantas, dimana
letak kesalahan sehingga izin usaha Alexis tidak diproses, atau dengan kata
lain ditutup.
Karena
itu, pihak Alexis menghendaki pertemuan (berdialog) dengan pihak Pemprov DKI untuk
mengetahui dimana letak salah mereka. Alexis berharap diberi kesempatan untuk
memperbaiki kesalahan. Akan tetapi, hingga kini tidak ada tanda-tanda dari
pihak pemprov untuk mengundang pihak Alexis. Niat Alexis untuk bertemu dengan
pemprov (atau Anies Baswedan) adalah wajar dalam dunia usaha. Jika ada yang
salah, pasti diawali dahulu dengan teguran dan peringatan, sebelum akhirnya dijatuhi
hukuman, berupa pencabutan izin usaha. Dalam kasus Alexis, pihak Alexis tidak
pernah menerima teguran dan peringatan.
Tidak
adanya tanda-tanda niat gubernur untuk bertemu dengan pihak Alexis seakan
menegaskan arogansi Anies Baswedan. Semua itu hanya untuk membuktikan janji
kampanye Anies Baswedan; dan ini untuk menyenangkan segelintir umat islam. Publik
melihat Alexis merupakan korban politik Anies Baswedan. Belum lagi solusi yang
ditawarkan Wakil Gubernur dengan program OK OC, dimana para karyawan akan
disalurkan ke hotel-hotel berbasis syariah, membuat orang berpikir bahwa mungkin
ini salah satu cara mematikan bisnis sekuler non-muslim dan menggantikannya
dengan bisnis syariah.
Pertanyaan
sederhana adalah, akankah pihak Alexis menggugat keputusan Gubernur DKI ke
pengadilan, baik perdata maupun pidana? Dasar gugatan sangat kuat. Anies
Baswedan hanya berkoar punya bukti, tapi ketika diminta membeberkan bukti
tersebut, tak satu bukti pun keluar dari mulutnya. Anies hanya mengatakan soal
prostitusi. Di samping itu, bukti-bukti yang disebut Anies belum tentu memiliki
kekuatan hukum. Jika Anies Baswedan mengatakan bahwa pihak hotel harus taat
hukum, maka bukti-bukti Anies juga harus sesuai hukum.
Saya
pribadi menilai sangat kecil kemungkinan pihak Alexis untuk masuk ke ranah
pengadilan, menggugat keputusan Gubernur DKI. Amat sangat riskan dan beresiko.
Bukan soal kalahnya, melainkan akan menimbulkan konflik horisontal. Alasannya,
di belakang Anies Baswedan ada kelompok umat islam radikal, seperti FPI atau
ormas islam sejenisnya. MUI juga mendukung keputusan tersebut, karena terkait
soal moralitas. Bukan tidak mustahil kelompok islam intoleran tersebut akan
membela keputusan Anies Baswedan, dan siap berdemo.
Jadi,
atas pertanyaan apakah pihak Alexis berani membawa kasusnya dengan Gubernur DKI
ke pengadilan, sangat mungkin jawabannya adalah tidak. Pihak Alexis tidak akan
menggugat Anies Baswedan ke pengadilan atas keputusannya “menutup” Hotel
Alexis. Keputusan tidak membawa ke ranah pengadilan merupakan keputusan
bijaksana, karena lebih mementingkan ketenangan ibukota. Di samping itu, masih
ada peluang bagi pihak Alexis bisa “mengubah wajah” tampilan dengan managemen
baru.
Bandara
Soeta, 3 November 2017
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar