Beberapa
minggu terakhir berita seputar penderitaan para pengungsi Rohingya memenuhi
halaman media massa, baik cetak maupun elektronik. Ada banyak tokoh mengecam
tindakan biadab oknum Myanmar. Sepertinya semua mata menyalahkan pemerintahan
Myanmar. Sementara Aung San Suu Kyi mengklaim bahwa pemerintah telah bertindak
secara proporsional. Nilai-nilai kemanusiaan tetap dijunjung tinggi. Akan tetapi,
sepertinya orang sudah tidak percaya pada keterangan dari pemerintah Myanmar.
Aung
San Suu Kyi pernah mengungkapkan bahwa banyak orang mengecam dan menyalahkan
Myanmar hanya didasarkan informasi palsu. Hal ini sepertinya bukan ucapan tanpa
dasar. Terbukti tokoh sekelas Tifatul Sembiring, yang pernah menjadi Menteri
Komunikasi dan Informasi dan juga Presiden Partai PKS, ikut-ikutan menyebarkan
berita hoax. Artinya, penderitaan
warga Rohingya, yang ditampilkan oleh media massa jangan diterima
mentah-mentah.
Bagaimana
derita warga Rohingya di mata warga Indonesia yang beragama islam dan katolik? Tak
bisa disangkal, bila menyaksikan media-media massa, penderitaan warga Rohingya
sepertinya hanya menimbulkan empati umat islam. Semua aksi-aksi demo selalu
dipenuhi oleh umat islam. Apakah umat lain tidak peduli? Tentu saja tidak. Umat
agama lain mempunyai caranya tersendiri. Perbedaan ungkapan ini didasarkan
perbedaan cara pandang.
Melihat
cara umat islam mengungkapkan kepeduliannya terhadap penderitaan warga
Rohingya, saya jadi teringat akan kutipan pernyataan Sayyid Mahmoud al-Qimni,
seorang pakar islam berkebangsaan Mesir, soal bagaimana umat islam menyikapi
penderitaan sesama islam. Al-Qimni berkata, “Jika identitas Mesir berdasarkan
pada Arabia dan persekutuan islamiah, maka orang muslim Mesir lebih merasa
bersaudara dengan muslim Bosnia dibandingkan dengan orang Mesir Kristen Koptik.
Dengan begitu, mencurahkan darah orang Mesir Koptik dianggap halal, dan orang
Mesir Kristen ini dibunuh karena apa yang terjadi terhadap Muslim di Bosnia dan
Hursik.”
Dari
pernyataan Al-Qimni ini terlihat jelas bahwa umat islam hanya mau peduli dengan
sesama umat islam. Dengan kata lain, dasar kepeduliaannya adalah agamanya,
bukan kemanusiaannya. Hal ini dapat dilihat pada konteks Indonesia. Umat islam
Indonesia lebih peduli dengan derita warga muslim Rohingya daripada derita
warga Indonesia yang bukan islam. Karena itu, aksi peduli dilakukan dengan mengatas-namakan
derita muslim Rohingya. Dapat dipastikan, jika warga Rohingya bukan islam, pasti tidak akan ada demo umat islam, dan tidak akan ada aksi peduli.
Kenapa
umat islam hanya mau peduli dengan sesama islam saja? Jawabannya ada pada Al
Quran. Surah Al-Qashash ayat 86 dan surah Al-Mumtahanah ayat 13 menyatakan
bahwa Allah tidak menghendaki umat islam saling menolong dengan orang kafir. Bahkan
dalam beberapa surah, seperti Al-Maidah, Ali ‘Imran dan At-Taubah, Allah
melarang umat islam menjadikan orang kafir sebagai teman. Karena itu, wajar
bila terhadap sesama warga Indonesia non muslim, umat islam tidak peduli karena
mereka itu kafir, sementara ia akan peduli pada umat islam di negara lain.
Kenapa
aksi peduli warga Rohingya ini begitu heboh? Hal ini bisa dimaklumi karena umat
islam suka show agar dilihat,
didengar dan dirasakan oleh orang lain, tak peduli apakah orang lain itu suka
atau tidak. Contohnya saja, saat mau sholat, suara TOA begitu membahana, mau
dzikir bersama juga harus show, sampai-sampai
harus tutup jalan, saat puasa juga pakai show,
minta pengertian orang lain bahwa dirinya sedang puasa.
Melihat
fenomena aksi peduli warga Rohingya di Indonesia akhir-akhir ini akan timbul
kesan bahwa umat agama lain seakan tidak peduli. Padahal tidaklah demikian. Umat
agama lain punya caranya sendiri, yang jauh berbeda dengan umat islam. Misalnya,
umat katolik.
Dasar
kepeduliaan umat katolik itu ada pada ajaran Gereja yang termuat dalam Gaudium et Spes. “Kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin
dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan para murid Kristus juga.” Demikian kalimat pembuka dokumen Konsili
Vatikan tersebut. Ada banyak ayat kitab suci bisa dijadikan rujukannya, di
antaranya adalah nasehat Yesus “Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat
kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.“ (Lukas 6: 31); atau nasehat
Paulus, “Hendaklah kasihmu tidak pura-pura. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah apa
yang baik.” (Roma 12: 9).
Kenapa
umat katolik tidak mau memamerkan kepeduliannya? Yesus sudah menasehati para
murid-Nya, “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang
supaya dilihat mereka .... Jadi, apabila engkau memberi sedekah, janganlah
engkau mencanangkan hal itu ..., supaya dipuji orang.” (Matius 6: 1 – 2).
Demikianlah
beda cara pandang dalam menyikapi penderitaan warga Rohingya. Pada prinsipnya,
umat beragama terpanggil untuk melakukan kebaikan dan mencegah kejahatan. Atas dasar
inilah, kita semua hendaknya bergandeng tangan untuk meringankan beban derita
warga Rohingya.
Koba,
11 September 2017
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar