Dalam
Gereja Katolik ada tujuh sakramen, yaitu sakramen Baptis, Krisma, Komuni,
Tobat, Pernikahan, Imamat dan Pengurapan Orang Sakit. Tiga yang pertama dikenal
dengan Sakramen Inisiasi, karena dengan menerima ketiga sakramen itu, seseorang
telah penuh bergabung dalam Gereja Katolik. Sakramen Tobat dan Pengurapan Orang
Sakit dikenal dengan istilah Sakramen Penyembuhan. Titik tekan utamanya bukan
pada kesembuhan fisik, melainkan pada kesembuhan rohani.
Ada banyak
istilah untuk Sakramen Tobat ini. Tekanan pada sakramen itu bukan hanya pada
tobatnya saja, tetapi juga belas kasih Allah dalam wujud pengampunan. Jadi,
sakramen ini menekankan tobat dan pengampunan. Karena itu, untuk mengalami belas
kasih atau kerahiman Allah dalam bentuk pengampunan, seseorang terlebih dahulu
harus bertobat.
Mengapa Sakramen Tobat Kurang Laris
Tak bisa
dipungkiri, dari tujuh sakramen yang ada Sakramen Tobat merupakan sakramen yang
sama sekali kurang diminati oleh umat. Banyak umat seakan menghindari dari
sakramen ini. Di satu tempat, pengurus Gereja terpaksa berbohong dengan
mengatakan bahwa nanti akan ada misa. Mendengar kata misa (ekaristi), maka umat
datang berbondong-bondong. Namun jika umat mendengar kata “pengakuan dosa” bisa
dipastikan hanya segelintir umat yang hadir.
Menjadi
pertanyaannya adalah kenapa umat selalu menghindari dari Sakramen Tobat? Setidaknya
ada tiga jawaban yang terekam. Pertama, takut.
Umat takut untuk mengaku dosa. Ada yang mengira bahwa setelah mengaku dosa,
imam akan menceritakan kepada orang lain apa yang telah diakuinya. Ada juga
yang berpikir bahwa ketika para imam berkumpul, mereka akan menceritakan
pengakuan-pengakuan umat di ruang pengakuan. Benarkah para imam akan membocorkan
rahasia pengakuan?
Hukum
Gereja dengan tegas melarang para imam dan juga siapapun yang terkait dengan
Sakramen Tobat (juru alih-bahasa, misalnya) menceritakan ke publik apa yang
terjadi di ruang pengakuan (Kan 983 & 984). “Rahasia sakramental tidak
dapat diganggu gugat; karena itu adalah durhaka jika bapa pengakuan dengan
kata-kata atau dengan salah satu cara lain serta atas dasar apa pun sedikit
banyak mengkhianati peniten.” (Kan 983 §1).
Jadi,
ketakutan akan dibocorkan rahasia pengakuan adalah ketakutan yang berlebihan. Para
imam sudah terikat dengan sumpah. Lagi pula, kuasa mengampuni ini tidak
diberikan ke sembarangan imam. Hukum Gereja sudah mengatur hal tersebut. “Kewenangan
menerima pengakuan jangan diberikan kecuali kepada para imam yang terbukti
cakap dari ujian, atau yang kecakapannya telah ternyata dari cara lain.” (Kan
970).
Ada satu
ironisme terkait dengan ketakutan ini. Umat menghindari Sakramen Tobat karena
takut mengaku dosa; akan tetapi umat tidak takut berbuat dosa. Seharusnya umat
takut berbuat dosa, dan berani mengaku dosa.
Kedua, malu.
Umat
menghindar dari Sakramen Tobat karena malu mengaku dosa. Perasaan malu ini
dikaitkan dengan sosok imam yang dihadapinya. Karena imamnya sudah dikenal,
maka muncul perasaan malu; berbeda jika imamnya tidak dikenal. Paus Fransiskus
pernah mengatakan bahwa perasaan malu saat hendak mengaku dosa adalah hal yang
wajar. Ini dialami oleh siapa saja, termasuk oleh bapa pengakuan sendiri. Beberapa
imam bercerita bahwa dirinya tidak berani menatap umat saat pengakuan dosa
terjadi; matanya terpejam.
Karena
itu, jangan menjadikan rasa malu sebagai penghambat kaki untuk melangkah ke
ruang pengakuan, dan penghambat mulut untuk mengungkapkan dosa dan kesalahan. Umat
harus menyadari bahwa yang dihadapinya di ruang pengakuan Romo Anu atau Romo
Una, melainkan Yesus yang penuh belas kasih. Dan memang, Yesus hadir dalam diri
para imam yang memberikan absolusi.
Sama
seperti rasa takut, di sini pun terdapat sebuah ironisme. Umat menghindari
Sakramen Tobat karena merasa malu mengaku dosa; akan tetapi umat tidak malu
berbuat dosa. Seharusnya umat malu untuk berbuat dosa, dan tidak malu mengaku
dosa.
Ketiga, malas.
Selain
rasa takut dan malu, ada satu alasan lain yang membuat umat menghindari
Sakramen Tobat. Alasan itu adalah rasa malas. Perasaan malas ini dikaitkan
dengan kebiasaan berbuat dosa lagi setelah mengaku dosa. Ada umat berkata, “Apa
gunanya mengaku dosa jika setelah mengaku dosa kita berdosa lagi?” Karena
sering jatuh kembali dalam dosa membuat umat malas untuk menerima Sakramen
Tobat.
Jatuh
ke dalam dosa itu adalah manusiawi. Hal ini terkait dengan peristiwa dosa
manusia pertama (Kej 3: 1 – 6). Akibat dari dosa Adam dan Hawa manusia
kehilangan rahmat kekudusan dan empat berkat, yaitu keabadian, kebahagiaan,
pengetahuan akan Tuhan dan harmoni. Kehilangan ini membuat manusia mempunyai
kecenderungan berbuat dosa (KGK 2515). Ia jatuh, jatuh dan jatuh lagi ke dalam
dosa. Namun perlu disadari bahwa pintu kerahiman Allah senantiasa terbuka bagi
umatnya yang datang memohon pengampunan, sekalipun sering jatuh ke dalam dosa.
Kebiasaan
sering jatuh ke dalam dosa seharusnya tidak membuat umat malas mengaku disa,
tetapi justru mengajak umat semakin giat bertobat. Putra Sirakh, dalam
kitabnya, menasehati kita, “Jangan menunda-nunda berbalik kepada Tuhan, jangan
kau tangguhkan dari hari ke hari kemurkaan Tuhan, dan pada saat hukuman engkau
dihancurkan.” (Sirakh 5: 7). Karena itu, St. Yohanes Maria Vianney menasehati, “Setelah
jatuh, segeralah bangkit kembali. Jangan biarkan dosa di dalam hatimu bahkan
untuk sejenak.”
Rasa
malas membuat umat sering menunda untuk mengalami kerahiman Allah lewat
Sakramen Tobat. Yohanes Vianney pernah berkata, “Kita selalu menunda pertobatan
kita lagi dan lagi samai ajal tiba. Tapi, siapa bilang bahwa kita masih akan
memiliki waktu dan kekuatan untuk itu?” Kita tak tahu kapan ajal menjemput
kita. Karena itu, bertobatlah sekarang juga.
Seperti
dua perasaan penghalang Sakramen Tobat, pada rasa malas juga terdapat ironisme.
Umat menghindari Sakramen Tobat karena merasa malas mengaku dosa; akan tetapi
umat rajin berbuat dosa. Seharusnya umat rajin untuk berbuat dosa, dan tidak malas
mengaku dosa.
Mengapa Umat Seharusnya Membutuhkan
Sakramen Tobat
Di atas
sudah dikatakan bahwa Sakramen Tobat termasuk kategori sakramen penyembuhan. Dosa
menyebabkan orang sakit dan menderita. Karena itu, pastilah orang butuh
kesembuhan. Setiap orang pasti butuh kesehatan. Karena itu, idealnya umat
membutuhkan Sakramen Tobat. Kenapa demikian?
Dasar
utamanya adalah karena manusia berdosa. Tobat ada karena ada dosa. Setiap manusia
pasti berdosa. Yohanes dalam suratnya yang pertama menulis, “Jika kita berkata
bahwa kita tidak berdosa, kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada
di dalam kita.” (1Yoh 1: 8). Karena kita berdosa, maka kita membutuhkan
pengampunan.
Semua
orang setuju bahwa orang butuh pengampunan atas dosa-dosanya. Namun tidak semua
orang setuju pengampunan dalam Sakramen Tobat. Mereka mengatakan bahwa hanya Allah
saja yang memiliki kuasa mengampuni. Dan karena Yesus adalah Allah, maka
kuasa-Nya mengampuni diakui. Jadi, jika membuthkan pengampunan umat diajak
untuk mengaku dosa langsung kepada Allah.
Banyak
orang mempertanyakan pengampunan yang diberikan oleh para imam di ruang
pengakuan. Kenapa umat harus mengaku dosa kepada imam?
Dalam
hidup, manusia selalu membutuhkan kepastian. Lewat Sakramen Tobat, umat
mendapatkan kepastian bahwa dosa-dosanya sudah diampuni oleh Allah. Kepastian itu
diperoleh ketika imam memberikan absolusi. Sebenarnya yang memberikan absolusi
itu adalah Kristus sendiri.
Kuasa
mengampuni yang dimiliki para imam, secara tidak langsung, berasal dari Yesus
Kristus. Yesus, yang adalah Allah, memiliki kuasa untuk mengampuni dosa manusia
(Luk 5: 24, Mat 9: 6, Mrk 2: 10). Yesus Kristus telah menurunkan kuasa ini
kepada para rasul. Dan Gereja Katolik melihat bahwa kewenangan para rasul
diteruskan dalam diri para uskup. Konsili Vatikan mengajarkan bahwa “atas
penetapan ilahi para uskup menggantikan para rasul sebagai gembala Gereja.” (LG
20).
Dalam
perjalanan waktu, tugas dan kewenangan uskup dibagikan juga kepada para imam. Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja mengajarkan bahwa para imam adalah wakil uskup. Di
masing-masing jemaat setempat dalam arti tertentu mereka menghadirkan uskup. Para
imam dipanggil melayani umat Allah sebagai pembantu arif bagi badan para uskup,
sebagai penolong dan organ mereka (LG 28). Kuasa mengampuni yang ada dalam diri
para imam berasal dari uskup. Karena itu, Konsili mengajarkan bahwa dalam
melaksanakan kuasa para imam tergantung dari uskup (LG 28).
Koba,
29 Maret 2017
by:
adrian
Baca juga tulisan
lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar