Selasa, 21 Maret 2017

ADA IMAN DALAM LEMBARAN RUPIAH

Tulisan ini jauh dari niat untuk menjelek-jelekkan agama tertentu. Ini hanyalah ungkapan keprihatinan pada suatu peristiwa. Dari keprihatinan ini lahirlah sebuah refleksi. Refleksi adalah ibarat bercermin. Siapa saja bisa bercermin pada kaca yang sama, karena yang dilihat adalah diri sendiri.
Berawal dari Cerita
Minggu, 19 Maret 2017, pukul 17.45 WIB. Baru beberapa detik meninggalkan rumah umat menuju mobil, yang diparkir di pinggir jalan depan rumah, saya kembali dipanggil. Kebetulan ada seorang ibu, tetangga depan rumah, datang. Setelah tiba di hadapan mereka, mulailah mereka bercerita. Ada kemarahan, kejengkelan dan juga kecemasan dalam cerita mereka.
Inti dari cerita mereka adalah: tentang satu keluarga yang belum lama ini masuk islam. Isterinya orang Maumere dan suaminya dari Kupang. Dua-duanya awalnya katolik. Mereka menikah sekitar bulan Oktober lalu, diberkati oleh pastor paroki. Namun kini mereka sekeluarga (dua anak) sudah masuk islam. Karena menjadi mualaf, mereka selalu mendapat uang (entah dari mana dan dari siapa). Kepada salah satu ibu, yang bercerita itu, dikatakan oleh isteri mualaf itu, bahwa enak jadi islam karena dapat duit gratis.
Mendengar cerita tersebut, saya langsung teringat akan rumor tentang dana mualaf dari Pemda Kabupaten Bangka Tengah. Dana mualaf adalah dana yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir yang memutuskan menjadi islam. Konon katanya, setelah selesai masa kampanye pilkada lalu, di akhir Januari Erzaldi, Bupati Bangka Tengah, yang adalah juga kandidat Gubernur Babel waktu itu, akhirnya mengesahkan dana mualaf itu. Artinya, dana mualaf itu memang ada. Cerita dua ibu di atas seakan membenarkan keberadaan dana mualaf itu.
Setelah tiba di pastoran, saya langsung menuju kamar makan. Waktu menunjukkan saatnya untuk makan malam. Saya makan malam hanya ditemani oleh bapak, yang sehari-harinya mengurus taman dan gereja. Sambil makan saya mendengarkan cerita bapak itu, dan ceritanya sama seperti cerita dua ibu di atas. Obyek ceritanya sama. Ada kemarahan, kejengkelan dan juga kecemasan dalam ceritanya.
Saya dapat merasakan kesedihan dan keprihatinan mereka atas peristiwa itu. Kepada mereka saya juga mengungkapkan keprihatinan dan duka saya. Bagi saya umat katolik Paroki Koba sedang mendapat ujian. Saya mengajak mereka untuk tetap setia dalam iman yang dikuatkan melalui doa. Sambil berdoa, serahkanlah semua ini kepada Allah. Umat tidak perlu marah kepada siapapun, termasuk keluarga mualaf itu. Juga tak perlu merasa malu. Saya sampaikan bahwa yang harus malu adalah umat islam, karena ternyata iman bisa dibeli dengan rupiah.
Iman dalam Lembaran Rupiah
Iman selalu dikaitkan dengan agama. Iman adalah kebenaran, karena ia adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibr 11: 1). Orang mengimani suatu agama karena menemukan kebenaran dalam agama itu.
Sebagai contoh, kita sebutkan beberapa tokoh. Mereka menemukan sebuah kebenaran pada satu agama sehingga akhirnya memeluknya. Guru besar sejarah islam dari Universitas Al Azhar Mesir yang awalnya muslim tapi akhirnya menjadi kristen. Gulshan Esther, seorang muslimah Pakistan, yang akhirnya masuk kristen setelah menemukan kebenaran dalam Yesus Kristus. Di Indonesia kita kenal Saifuddin Ibrahim, seorang ahli Alquran di NII Al-Zaytun Panji Gumilang, Indramayu.
Tiga tokoh di atas menjadi kristen bukan lantaran lembaran uang (ekonomi) melainkan karena mereka menemukan kebenaran dalam Yesus Kristus. Justru secara ekonomi mereka mengalami kerugian dan penderitaan. Malah bisa dikatakan bahwa pada awal menjadi kristen hidup mereka menderita: kekurangan duit, kehilangan pekerjaan, dihina, malah mau dibunuh. Hal ini sesuai dengan sabda Yesus (Mat 5: 11 – 12, Luk 21: 12, Mrk 8: 34). Namun, sekalipun menderita, mereka tetap berimankan pada Yesus Kristus. Ada kebenaran dalam Alkitab dan kekristenan.
Dari kisah keluarga mualaf di atas, terlihat jelas betapa murahnya harga sebuah iman. Mereka menjadi islam karena ingin dapatkan uang (dan fasilitas ekonomi). Ternyata iman bisa dibeli dengan uang. Keluarga itu tidak sadar bahwa dengan menjadi islam mereka sudah “diikat” dengan aturan untuk tidak boleh keluar dari islam (kembali ke iman semula). Sebab ada ketentuan bahwa mereka yang murtad boleh dibunuh. Darah mereka halal; malah yang membunuh mendapatkan pahala (HS Al-Bukhari).
Seperti yang saya katakan di atas, bahwa yang malu atas peristiwa ini seharusnya adalah umat islam. Perasaan ini muncul jika memang peristiwa ini tidak sesuai dengan ajaran islam. Namun, jika peristiwa ini sudah sesuai dengan ajaran islam, pastilah umat islam tak perlu merasa malu. Malah adalah suatu kebanggaan dapat menjual iman dengan uang; atau dengan kata lain, dapat mengajak umat agama lain untuk menjual imannya dan membeli iman islam dengan duit.
Satu kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah bahwa islam adalah agama murahan. Makna murahan di sini tidak hanya sebatas ekonomi saja, melainkan soal mudah dan gampangnya. Ada banyak hal yang menunjukkan premis tersebut.
Banyak pria akhirnya memutuskan masuk islam karena dengannya dia bisa mempunyai isteri banyak atau juga bisa bercerai. Jadi, orang menjadi mualaf supaya dapat menikahi beberapa wanita (Alquran menyebut angka 4, namun kalau mau mengikuti teladan nabi Muhammad, bisa lebih dari empat). Selain itu, orang memeluk islam supaya bisa bercerai dan menikah lagi dengan yang lain jika sudah bosan dengan isteri/suaminya.
Ada cara mudah untuk masuk sorga. Dulu ada seorang ulama mengkritisi soal jihad karena murahnya harga sorga. Memang dengan mati sahid dalam jihad, membuat orang cepat masuk sorga. Namun untuk ke sananya butuh keberanian dan tantangan dan perjuangan; itu tidaklah mudah. Ada cara yang jauh lebih mudah, yaitu dengan mengislamkan orang kafir. HS Al-Thabrani menyebutkan sabda nabi Muhammad bahwa orang yang berhasil mengislamkan orang kafir pasti masuk sorga. Bukan tidak mungkin, semangat ini ada di balik peristiwa keluarga mualaf di atas.
Sering dijumpai slogan berikut ini: “Jika bisa lebih mudah, kenapa dipersulit.” Slogan ini biasa dikaitkan dengan cara masuk islam. Makanya lahir slogan lain: “Islam itu mudah.” Slogan ini didasari pada HS Al-Bukhari. Aplikasi slogan “Islam itu mudah” ini didasarkan bahwa memang masuk islam itu sangat mudah. Cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, orang sudah resmi menjadi islam. Begitu mudahnya.
Akhir Kata....
Sering saya jumpai banner iklan-iklan mini di pinggir-pinggir jalan. Ukurannya tak lebih dari 30 cm x 15 cm. Hanya selembar kertas yang ditempel pada kertas karton tebal atau tripleks lalu dipaku pada batang-batang pohon di pinggiran jalan. Bunyi iklannya: “Butuh dana cepat dengan jaminan BPKB? Hubungi: 08138764****”. Salah satu contohnya yang di atas.
Membaca iklan ini, pikiran saya langsung ke peristiwa keluarga mualaf dan juga rumor dana mualaf. Dari sini lahirlah iklan: “Butuh dana cepat dengan jaminan masuk sorga? Jadilah islam.”
Koba, 20 Maret 2017
by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

1 komentar:

  1. "Agama murahan" Suatu frase kecil yg menohok. Entah disadari atau gak.

    BalasHapus