Basuki
Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok, adalah tokoh fenomenal dan
karakteristik. Sebagai seorang Kristen, Ahok sudah mendobrak dominasi dan
hegemoni islam di negeri ini. Tahun 2003 Ahok mencalonkan diri sebagai Bupati
Belitung Timur, dan dia menang. Padahal wilayah Belitung Timur atau Belitung
pada umumnya adalah wilayah islam. Daerah ini adalah daerah melayu, dimana
melayu selalu dikonotasikan dengan islam.
Tahun
2007 Ahok maju dalam Pilkada Gubernur Bangka Belitung. Sama seperti daerah
Belitung, Bangka juga merupakan daerah melayu. Sudah bisa dipastikan mayoritas
pemilih adalah umat islam. Namun Ahok berani melawan hegemoni islam tersebut.
Sayang, dalam pilkada ini Ahok gagal. Ada banyak pro kontra soal kekalahannya
itu. Saya tak mau masuk dalam perdebatan itu.
Gagal
di Bangka Belitung, Ahok mencoba peruntungan di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012
berpasangan dengan Joko Widodo. Saat itu Ahok sebagai calon Wakil Gubernur. Di
Jakarta pun, jumlah pemilih islam sangat banyak. Dan karena Ahok, Jokowi pun
keciprat isu sebagai orang Kristen dan keturunan China. Sangat jelas, lawan
terbesar bagi pasangan Jokowi dan Ahok ini adalah islam. Namun keduanya
berhasil memenangkan pertempuran itu.
Ketika
maju dalam pertempuran pilkada, baik di Belitung Timur, Bangka Belitung maupun
Jakarta, Ahok mendapat serangan dari umat islam. Dalam setiap pertempuran itu,
umat islam selalu memakai senjata utamanya, yaitu Al Quran. Amunisi senjata ini
adalah soal larangan bagi umat islam memilih orang kafir menjadi pemimpin (QS
Ali Imran: 28, QS An Nisaa: 144, Al Maidah: 51 dan 57). Kekafiran itu karena
Ahok adalah orang Kristen. Surah Al Maidah ayat 72 dan 73 dengan jelas
mengatakan bahwa orang Kristen, karena imannya akan Yesus sebagai Allah dan
iman akan Tritunggal Mahakudus, adalah kafir.
Sepertinya
hanya islam yang mempunyai senjata seperti ini dalam dunia demokrasi, dimana
masyarakatnya majemuk. Kemajemukan memang diakui, namun diwajibkan untuk tunduk
kepada mayoritas, bukan kepada kepentingan umum.
Sekalipun
mendapat serangan, Ahok tidak tinggal diam. Ahok melawan. Dia berjuang
mematahkan dominasi dan hegemoni islam di negeri ini. Dasar tindakan Ahok
adalah bahwa negeri ini adalah negara hukum, bukan negara agama. Di mata hukum,
setiap warga, apapun suku dan agamanya, kecuali sudah dilarang oleh hukum,
mempunyai hak untuk menjadi pemimpin, baik di tingkat kabupaten, provinsi,
bahkan presiden. Ada banyak produk hukum yang menjamin hal tersebut.
Akan
tetapi, Ahok sadar bahwa perjuangan melawan hegemoni dan dominasi islam, sekalipun
didukung seperangkat undang-undang, tidaklah mudah. Patut diakui bahwa ada
banyak umat islam, sekalipun sudah bergelar sarjana dan sadar akan kemajemukan
bangsa Indonesia, lebih memilih kepentingan agama kelompoknya saja, yaitu
islam. Mereka bukannya mendahulukan kepentingan bangsa, tetapi islam. Karena
itu, mereka lebih memilih senjata Al Quran untuk melawan calon-calon pemimpin
kafir.
Sadar
akan kesulitan ini, Ahok tidak hanya mengandalkan senjata undang-undang,
melainkan juga senjata Kristus, yaitu kasih dan bonum commune. Melawan
serangan-serangan dari umat islam tersebut, Ahok membalasnya dengan kasih: “kasihilah
musuhmu dan berbuat baiklah kepada orang yang mencaci kamu…, berdoalah bagi
orang yang mencaci kamu.” (Lukas 6: 27 – 28). Jadi, ketika dikatai kafir, Ahok
diam saja. Tak pernah terdengar Ahok melawan dengan membalas cacian orang-orang
itu. Ahok tetap diam. Dan dalam diamnya Ahok mendoakan mereka dan terus berbuat
baik bagi siapa saja, termasuk mereka yang mencacinya.
Ahok
pernah berkata, “Gue gak peduli dikatain kafir. Yang penting rakyat gue ga
ditindas sama orang yang ngaku-ngaku beragama.” Ini menjadi sikap hidup Ahok.
Ketika dicaci maki, Ahok tidak peduli. Tapi ketika ada orang ditindas oleh
orang yang mengaku beragama, Ahok akan melawan. Sikap ini mirip seperti Yesus
ketika Dia membersihkan Bait Allah (Yohanes 2: 13 – 22).
Ahok
sadar akan resiko yang diambilnya, bahkan resiko terburuk sekalipun. Dia siap
untuk mati demi tegaknya kebenaran, keadilan dan kesejahteraan hidup manusia
(semua ini dalam bahasa kristiani dikenal dengan istilah Kerajaan Allah). Karena
itu, Ahok pernah berkata bahwa jika ia mati demi Kerajaan Allah, dia minta
dikuburkan di Belitung Timur dan di nisannya dituliskan “Bagiku hidup adalah
Kristus, dan mati adalah keuntungan.” (Filipi 1: 21). Sungguh, Ahok tampil
sebagai seorang Kristen sejati.
Namun
patut disayangan apa yang terjadi di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016
lalu. Dalam kunjungan dinasnya, Ahok keselip lidah dalam pidatonya, yang
akhirnya menimbulkan gelora membara. Dalam pidatonya, Ahok berkata, “Jadi,
jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak
pilih saya. Dibohongin pakai surat al Maaidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak
bapak ibu.” Dalam pernyataannya itu, oleh Majelis Ulama Indonesia, Ahok
difatwakan telah melakukan penistaan agama dan ulama. Ahok menyatakan bahwa
tidak ada niat untuk menistakan agama islam dan ulama. Ahok sudah menjelaskan
maksud dari pernyataannya itu, dan penjelasan Ahok tak jauh beda dengan
penjelasan beberapa tokoh islam moderat. Bahkan Nusron Wahid menegaskan bahwa
tak satu pun kalimat Ahok menistakan Al Quran. Menurut Nusron Ahok justru
memberikan edukasi kepada rakyat agar memilih dengan cerdas (lihat Berita Satu)
Bagaimana
melihat peristiwa di Kepulauan Seribu ini? Pada peristiwa ini, saya melihat
Ahok berusaha tampil dengan mengandalkan kekuatan manusiawinya. Mungkin Ahok
sudah merasakan aroma kemenangan, sehingga ia sejenak menanggalkan senjata
Kristus-nya. Ahok tampil sebagai manusia umumnya, yang membalas serangan orang
lain. Kenapa saya kata demikian?
Ahok
sudah tahu bahwa salah satu amunisi umat islam untuk menyerang dia adalah surah
Al Maidah 51. Ahok tahu bahwa masih ada banyak umat islam menjadikan surah
tersebut sebagai amunisi untuk menyerang calon pemimpin kafir, meski tak
sedikit juga umat islam sudah tak memakai surah tersebut untuk melawan calon
pemimpin kafir. Pada kesempatan itu, Ahok seakan menggunakan amunisi tersebut
untuk menyerang balik lawan-lawannya.
Sepertinya
Ahok langsung menyadari kesalahannya. Karena itu, pada 10 Oktober, bertepatan
dengan Hari Pahlawan, Ahok menunjukkan sikap ksatria dengan meminta maaf kepada
semua umat islam atau pun orang yang merasa tersinggung (tentulah maksudnya,
orang yang selalu menjadikan surah Al Maidah ayat 51 sebagai amunisi untuk
menyerang calon pemimpin kafir). Dalam permintaan maaf itu, Ahok sekali lagi
menegaskan tidak ada maksudnya melecehkan agama islam ataupun Al Quran.
Sadar
lawannya sudah lemah, umat islam semakin gencar menyerang Ahok. Mereka seakan
tak puas dengan permintaan maaf Ahok, atau mungkin tidak punya tradisi
memaafkan. Aksi demo, yang diwarnai dengan hojatan mewarnai serangan terhadap
Ahok. Semua aksi itu dilakukan hanya untuk kepentingan umat islam semata, bukan
demi kepentingan bersama, yaitu kesatuan dan keragaman bangsa Indonesia.
Menghadapi
serangan ini, Ahok kembali menjadi orang Kristen. Dia tidak melawan atau
membalas. Dia memilih diam. Dan dalam diam dia mendoakan mereka yang menghojat
dan menyerang dirinya. Ahok tidak sendirian. Umat Kristen Indonesia juga ada
bersama dia, karena jika dilihat dengan jujur, serangan yang terjadi bukan
hanya kena pada diri Ahok, melainkan umat Kristen. Hojatan kafir, bukan hanya
tertuju pada pribadi Ahok in se, melainan
kena juga pada semua orang Kristen. Karena itu, banyak umat kristiani mendoakan
para penghojat tersebut.
Selain
mendoakan para penghojat, umat kristiani Indonesia, baik yang katolik maupun
protestan, juga mendoakan Ahok supaya dia kuat menghadapi serangan ini. Banyak
umat kristiani berharap agar Ahok bisa tampil sebagai orang Kristen untuk bisa
membuka mata picik orang-orang yang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri.
Patut disadari bahwa bangsa Indonesia, dengan kemajemukannya, tidak akan bisa
maju jika dikendalikan orang picik yang hanya melihat persoalan dari sudut
pandangnya sendiri. Untuk itulah, Ahok perlu membuka mata picik mereka.
Koba,
21 November 2016
by: adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar