Pilkada
DKI 2017 mempunyai daya magnetnya sendiri. Hampir semua mata penjuru Indonesia
tertuju ke Jakarta. Karena itu, wajar bila seorang teman berkomentar bahwa
pemilihan menuju DKI-1 tak jauh beda dengan pilpres lalu. Hal ini dimaklumi
mengingat DKI Jakarta merupakan barometer politik Indonesia.
Pusat
episentrum perpolitikan pilkada DKI adalah sosok petahana, yaitu Basuki Tjahaya
Purnama, atau yang biasa disapa Ahok. Sejak mengajukan diri kembali menjadi
Gubernur DKI Jakarta periode 2017 – 2022, mulai dari calon independen hingga
calon partai, ada banyak partai dan perseorangan berusaha untuk menjegal niat
Ahok. Partai-partai, minus 3 partai pengusung awal Ahok (Nasdem, Hanura dan
Golkar) membentuk koalisi kekeluargaan dengan prinsip: asal bukan Ahok. Tak
kalah menarik juga kemunculan beberapa tokoh, mulai dari Yusril hingga Rizal
Ramli, yang juga berprinsip sama seperti partai.
Akhirnya
semua kita mengetahui akhir dari drama percalonan gubernur dan wakil gubernur
DKI Jakarta. Koalisi Kekeluargaan pecah (sama seperti koalisi permanen pada
masa pilpres 2014 lalu), yang berawal dari masuknya PDIP ke kubu petahana.
Perpecahan ini memunculkan dua poros, yaitu poros Yudhoyono atau biasa disebut
poros Cikeas, dan poros Prabowo. Sementara itu, beberapa tokoh yang cukup
santer namanya, seperti Yusril, Rizal Ramli, Anis Baswedan, Hasnaeni Moein,
dll, bak hilang ditelan bumi. Metro TV, dalam acara “Selamat Pagi Indonesia”
Jumat (23/09) menyebut mereka sebagai “Layu Sebelum Berkembang”.
Sangat
menarik untuk mencermati pilihan poros Cikeas, yang terdiri dari Partai
Demokrat, PAN, PKB dan PPP. Setelah melalui rapat panjang, Kamis (22/09) malam
poros ini mendeklarasikan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni sebagai
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI untuk melawan pasangan calon
Ahok dan Djarot, yang Kamis kemarin sudah mendaftar di KPU. Sekedar diketahui
Agus Harimurti adalah anak kandung SBY, yang saat ini masih aktif di
ketentaraan dengan pangkal mayor infanteri.
Banyak
reaksi dan tanggapan dari pengamat, baik senior maupun yunior. Ada pengamat
menilai langkah poros Cikeas mengusung Agus Harimurti sebagai langkah antara
bingung dan terpaksa. Ada juga yang mempertanyakan apakah ini merupakan langkah
berani atau bunuh diri. Umumnya mereka terkejut atau kaget atas terpilihnya
Agus Harimurti. Karena itu, Kosmas Lawa Bagho membuat tulisan di kompasiana dengan judul “Poros Cikeas
Membuat Kejutan yang Mengejutkan”. Semua memberi penilaian negatif terhadap terpilihnya
Agus Harmurti sebagai calon gubernur.
Pemilihan
Agus Harimurti sebagai calon Gubernur DKI Jakarta merupakan langkah politik
jangka panjang SBY. Ini bukan masalah keberanian atau bunuh diri, bukan pula
bingung atau terpaksa. Jelas, ini suatu pilihan sadar dan taktis. Dan di
belakang semuanya itu adalah SBY. Karena itu, berhasilnya muncul nama Agus
Harimurti merupakan keberhasilan politik SBY. Bayangkan, beberapa partai sudah punya
calon dengan nama besar, yang diperkirakan dapat menyaingi Ahok. Misalnya, PPP
sudah punya nama Yusril, dan PAN punya nama Rizal Ramli. Dua orang ini sudah
punya nama di kancah perpolitikan ketimbang Agus Harimurti.
Jadi,
terpilihnya Agus Harmurti sebagai calon gubernur Jakarta berpasangan dengan
Sylviana Murni merupakan kemenangan SBY atas 4 partai, yang tergabung dalam
poros Cikeas. SBY sadar bahwa puteranya tidak mempunyai nilai jual. SBY juga
tahu bahwa puteranya tidak akan menang melawan Ahok. Mungkin juga pimpinan 4
partai sudah mengetahui. Tapi kenapa mereka ikuti saja kemauan SBY? Di sinilah
terlihat bahwa SBY masih memiliki pengaruh.
Lantas,
apa yang mau diperjuangkan SBY dengan mengajukan puteranya sebagai calon
gubernur DKI Jakarta? Apakah untuk pilpres 2019 nanti?
Ada
pengamat yang mengatakan bahwa penunjukkan Agus Harimurti sebagai calon
gubernur Jakarta merupakan langkah persiapan menuju Pemilihan Presiden 2019.
Rasanya penilaian ini berlebihan. Tentulah SBY sadar bahwa sangat sulit
mengalahkan petahana, yaitu Jokowi.
Penunjukkan
Agus Harimurti merupakan langkah SBY untuk melanggengkan dinasti Yudhoyono di
Partai Demokrat. Awalnya SBY berharap pada puteranya Edhie Baskoro Yudhoyono,
atau biasa dipanggil Ibas. Akan tetapi, menyerahkan “mahkota” dinasti kepada
Ibas sangatlah riskan, baik bagi klan Yuudhoyono sendiri maupun partai.
Alasannya, nama Ibas sudah sering muncul dalam pusaran korupsi yang mendera
partai berlambang mercy.
Coba
dibayangkan jika seandainya Ibas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, dan
kemudian terjerat kasus korupsi dan ditetapkan sebagai tersangka. Bukankah ini
akan semakin merusak citra partai? Saat ini partai sudah terpuruk karena
kasus-kasus korupsi yang menjerat para petingginya. SBY mau mempertahankan
disnatinya sekaligus mengembalikan citra partai yang sudah rusak. Tindakan SBY
ini ibarat dua sisi dari mata koin yang sama.
Pilihan
ada pada Agus Harimurti. Jika Agus Harimurti langsung dipanggil untuk masuk ke
Partai Demokrat rasanya berlebihan. Langkah awalnya adalah memajukan nama anaknya
sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Setelah gagal, barulah Agus aktif di
partai. Dengan pengaruh yang dimilikinya, sangatlah mudah bagi SBY untuk
mendudukkan puteranya ini di kursi-1 Partai Demokrat. Dengan duduknya Agus
Harimurti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, maka langgenglah dinasti
Yudhoyono di partai itu.
Pangkalpinang,
23 September 2016
by:
adrian
Baca juga tulisan lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar