Wacana hukuman
mati bagi koruptor kembali meruak ketika mantan Ketua MK, Akil Mochtar, tertangkap tangan menerima suap. Banyak orang spontan supaya Akil langsung dihukum mati saja. Kiranya pernyataan banyak orang ini beralasan. Dulu, ketika baru menjabat Ketua MK, menggantikan Mahfud MD, Akil sesumbar untuk menjalankan hukum potong jari dan pemiskinan.
Memang harus diakui bahwa sekalipun korupsi
itu sudah termasuk dalam extra ordinary
crime, namun korupsi sepertinya sudah menjadi budaya (KOMPAS, 15 Juli
2012). Masyarakat Indonesia sudah pada tingkat muak dan geram dengan tindak korupsi ini. Ada kesan bahwa hukuman mati merupakan cara legal membunuh pelaku korupsi, daripada rakyat mengambil tindakan sendiri yang ujung-ujungnya membunuh juga. Persoalannya, ketika rakyat membuat "pengadilan rakyat" dan membunuh pelaku korupsi, karena rakyat sudah muak dan geram, tentulah rakyat nanti disalahkan.
Hukuman mati ditempuh untuk menimbulkan efek jera. Akan tetapi, haruskah pelakunya dihukum mati? Apakah efek jera hanya dengan cara hukuman mati?
Hukuman mati ditempuh untuk menimbulkan efek jera. Akan tetapi, haruskah pelakunya dihukum mati? Apakah efek jera hanya dengan cara hukuman mati?
Jangan Ambil Hidupnya, Hukumlah Fisik dan Psikisnya
Saya pribadi
tidak setuju dengan hukuman mati. Terhadap kejahatan apapun, saya tidak
mendukung diterapkannya hukuman mati. Orang selalu berkata bahwa dengan hukuman
mati akan menimbulkan efek jera. Efek jera ini bukan hanya untuk pelaku tetapi siapa saja yang berpotensi jadi pelaku. Karena jera, maka orang tidak akan melakukan
lagi kejahatan korupsi. Jera atau takut itu adalah dimensi psikis. Oleh karena
itu, untuk membangkitkan dimensi ini, bagi saya harus dengan yang psikis juga.
Fisik juga bisa menimbulkan rasa takut. Hukuman mati berarti kita telah
mengambil hidupnya. Oleh karena itu, saya mau mengatakan kepada para pengambil
kebijakan, untuk para pelaku kejahatan, termasuk koruptor, hukumlah fisik dan
psikisnya, jangan ambil nyawanya.
Ada tiga sebab
mengapa saya tidak setuju dengan hukuman mati. Pertama, kita hendaknya
memberi kesempatan kepada pelaku kejahatan. Tentu ada yang mengatakan bahwa
sudah diberi kesempatan kedua tapi tetap saja melakukannya. Bagi saya, hal itu
terjadi karena hukumannya tidaklah terlalu berat. Hukuman yang ada terhadap
koruptor masih sangat ringan. Malah ada adagium: kalau mau korupsi, jangan
tanggung-tanggung. Jangan pakai jt (juta) tapi harus M (miliyar) atau malah T
(Triliun).
Oleh karena itu,
hukum yang ada sekarang harus diregulasi. Kenapa DPR sibuk mengurusi
undang-undang yang membatasi kewenangan KPK, tapi tidak mau menyibukkan diri
dengan memperbaiki undang-undang yang berkaitan dengan sanksi kepada pelaku
tindak korupsi. Apakah DPR takut jika membuat hukum yang berat bagi koruptor,
maka akan kena ke dirinya sendiri. Untuk itu, masalah ini harus diserahkan ke
tim independen. Dan untuk itu sangat dibutuhkan kebijakan pemimpin negeri ini.
Di samping itu
harus disadari bahwa hidup itu adalah hak Tuhan. Inilah alasan kedua.
Kita manusia tidak berhak atas hidup manusia, sekalipun dia telah melakukan
kejahatan. Sejahat apapun tindakannya, kita tidak boleh menghilangkan hidup
seseorang. Yang dapat kita lakukan adalah mengekang hidupnya dengan
sanksi-sanksi, bukan menghilangkan hidupnya.
Karena jika
ternyata dalam perjalanan waktu terbukti bahwa terhukum tidak bersalah, kita
masih bisa merehabilitasi nama baiknya. Namun jika dihukum mati, tentulah kita
tak akan bisa mengembalikan hidupnya. Ada banyak kasus terpidana yang dihukum
mati, tapi dikemudian hari terbukti tidak bersalah.
Alasan ketiga,
hukuman mati tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Pelaku korupsi hanya
dihukum mati. Harta kekayaan yang dikorupsinya tetap dinikmati oleh anak cucunya,
dan rakyat tetaplah menderita. Karena itu, saya lebih cenderung menerapkan
sanksi hukum yang sangat berat yang menimbulkan rasa takut dan mendatangkan
manfaat bagi rakyat.
Hukuman 3 in 1: Sebuah Solusi
Tidak adanya
rasa takut dan malu dalam diri koruptor ini disebabkan karena hukum yang
dikenakan kepada mereka masih terbilang amat sangat ringan, malah menyenangkan.
Selama ini kita sering saksikan bahwa para pelaku korupsi mendapatkan vonis hukuman
yang ringan. Selain hukumannya yang ringan, mereka juga mendapat
perlakuan-perlakuan khusus selama di penjara (misalnya kasus Atalyta Suryani)
serta hak istimewa seperti remisi (misalnya kasus Aulia Pohan) atau keluar dari
tahanan tanpa pengawalan. Belum ada para koruptor yang mendapatkan sanksi hukum
yang berat.
Beratnya hukuman
itu bukan hanya dilihat dari lamanya waktu atau masa tahanan. Hukuman yang berat
itu bukan cuma menyentuh fisiknya melainkan juga psikis, karena efek jera itu
berkaitan dengan masalah psikologi.
Seperti apa
hukuman berat itu?
Saya memberikan
satu jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Ketiga tindakan harus
menjadi satu kesatuan. Istilahnya three
in one law. Setiap pelaku tindak korupsi yang sudah divonis bersalah oleh
hakim, wajib dikenakan tiga sanksi ini dalam satu waktu.
Tindakan pertama
adalah hukuman
kurungan. Hukuman penjara kepada para koruptor ini haruslah lama,
minimal 55 tahun dan maksimal 85 tahun. Boleh saja dia mendapat remisi setiap
tahun, karena remisi itu adalah hak setiap tahanan. Hak istimewa para tahanan
korupsi hanyalah remisi dan grasi. Mereka tidak diperkenankan mendapat
fasilitas mewah di penjara atau kemudahan keluar dari tahanan.
Tindakan kedua
adalah penyitaan
dan ganti rugi. Saya pernah ke kawasan Glodok, tempat penjualan CD
dan DVD, yang katanya bajakan. Di setiap sudut ada tertulis, “Barangsiapa ketahuan mencuri, akan didenda
1000 kali lipat.” Tentu patokannya adalah harga satu DVD, yang rata-rata
Rp. 5000. Dan aneh, menurut pengakuan para petugas di sana, belum pernah mereka
mengalami kasus pencurian. Mengapa? Karena orang pada takut. Bayangkan, hanya
karena Rp. 5000, kita bisa didenda Rp. 5 juta.
Demikian pula
dengan para pelaku korupsi. Kepada mereka harus kekenakan sanksi denda atau
ganti rugi sebesar, misalnya 500 kali lipat dari nilai nominal yang mereka
korupsi. Jadi, misalnya mereka terbukti melakukan korupsi sebesar 1 miliyar,
maka mereka harus dikenakan denda 500 miliyar. Selain itu, harta milik mereka
harus juga disita. Yang disita adalah rumah, kendaraan dan tanah atau benda
lainnya yang terbukti didapat dari hasil korupsi.
Saya tidak
setuju bila para pelaku korupsi yang sudah menerima hukuman berat ini harus
dipecat dari jabatannya. Biarlah mereka tetap bekerja di tempat semula. Karena
dengan hukuman ini mereka tidak akan mengulangi lagi kesalahannya. Di samping
itu tunjangan dari tempat kerjanya bisa menjadi modal hidup istri dan anaknya.
Tindakan ketiga
adalah kerja
sosial. Dengan mengenakan pakaian khusus yang mencolok (misalnya
baju belang-belang) para tahanan pelaku korupsi ini diwajibkan untuk kerja
sosial dengan membersihkan got atau selokan, membersihkan pasar atau bantaran
kali. Mereka juga bisa diminta untuk kerja sosial lainnya yang berguna bagi
kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak tempat di negeri ini yang perlu
dijalankan program penghijauan. Nah, manfaatkanlah orang-orang ini untuk
menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena pohon yang ditanam membutuhkan
waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini juga yang bertugas
memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.
Dengan adanya
sanksi sosial ini, para pelaku kejahatan luar biasa ini bukan saja mendapat
efek jera dan tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi
sosial mereka. Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah
masyarakat, sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan korupsi. Kehadiran
mereka dengan pakaian khusus akan menjadi alarm bagi warga: “kamu pun bisa
begini jika kamu korupsi!” Jadi, sanksi kerja sosial ini bisa menjadi sarana
pencegahan korupsi.
Penutup
Demikianlah
pemikiran saya menanggapi wacana hukuman mati bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Intinya saya tidak setuju dengan hukuman mati itu. Dari beberapa
tulisan seputar wacana ini saya lihat bahwa sebenarnya para pemerhati itu tahu
bahwa hukum kita bermasalah. Hukum bagi koruptor masih sangat ringan. Nah,
kenapa tidak hukumnya saja yang dibenahi.
Jika ingin
membenahi, maka mungkin solusi saya soal 3
in 1 law bisa menjadi bahan pertimbangan. Solusi yang saya berikan di atas
itu berangkat dari dua pemikiran, pertama,
hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil hidupnya; dan kedua, hukuman bukan hanya jera melainkan bermanfaat bagi orang
lain.
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar