JANGAN MEMILIH KUCING DALAM KARUNG
Pedoman Menjadi Pemilih Cerdas
Tak lama lagi, tahun 2014, Indonesia akan mengadakan pesta
demokrasi dalam acara pemilihan umum. Pemilihan umum saat ini akan terjadi dua
jenis, yaitu pemilihan calon legislatif dan pemilihan presiden. Sejak orde
reformasi, gaya pemilihan kita sudah berubah. Presiden tidak lagi dipilih oleh
anggota dewan hasil pemilihan legislatif, melainkan langsung oleh rakyat. Anggota
dewan pun bukan lagi dipilih partainya saja, melainkan langsung wajah anggota
dewannya.
Dalam pemilihan calon legislatif, pemilih akan berhadapan
dengan kertas yang memuat foto wajah calon legislatif dan asal partainya. Pemilih
diminta untuk mencoblos wajah calon dan partainya. Dengan cara ini pemilih
diharapkan sudah mengenal wakilnya di DPR nantinya, karena sudah melihat foto
wajahnya. Dengan sistem ini, maka pemilih tidak lagi memilih kucing dalam
karung. Hal yang sama dengan pemilihan presiden.
Kebanyakan orang mengira bahwa dengan sistem tersebut, maka
selesailah sudah masalah. Memang, sistem ini dapat membantu pemilih untuk kenal
wakilnya, namun masih sebatas wajah. Sistem ini belum menjamin para pemilih
untuk mengenal siapa wakilnya. Sistem ini sudah dipraktekkan sejak PEMILU 2004.
Dulu kebanyakan orang memilih karena hanya terpusat pada wajah saja: ganteng, menarik, cantik, dll. Tapi apakah ada perubahan drastis pada wajah negeri kita?
Bukan berarti sistem ini tidak bagus. Akan tetapi janganlah sistem
ini dijadikan satu-satunya acuan dalam memilih wakil dan presiden kita. Harus ada cara lain.
Cara lain itu tak lain adalah benar-benar mengenal. Bagaimana kita bisa mengenal?
Yesus pernah berkata, “Jika suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula
buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula
buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” (Matius 12: 33).
Karena itu, selain kenal wajahnya, kita juga harus
memperhatikan “buah” yang telah dihasilkan calon kita ini. Namun,
berkaitan dengan “buah” ini, ada yang harus kita perhatikan. Memang “buah”
itu selalu diidentikkan dengan manfaat. Jadi, di sini ada asas manfaat. Berkaitan
dengan asas manfaat ini ada hal yang harus diubah dalam mental kita.
Selama ini, sering orang berpikir bahwa tolok ukur asas
manfaat ini adalah saya atau kami. Orang seringkali menuntut kepada calon legislatif
atau juga presiden untuk membuktikan janjinya dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk
dirinya atau kelompoknya. Misalnya, pengaspalan jalan atau pemasukan aliran listrik, dll. Jadi, terlihat
bahwa para pemilih hanya masih memikirkan kepentingan diri/kelompoknya sendiri, bukan
kepentingan umum. Pemilih hanya memikirkan kepentingan sesaat saja, bukan untuk
lima tahun ke depan.
Sebuah contoh, di sebuah kampung, penduduk sudah sepakat
untuk memilih Anu dari Partai Una, hanya karena ia sudah mengaspal jalan masuk
ke kampung itu dan menghadiahkan 3 mesin traktor untuk pertanian. Istri Anu
adalah pegawai dari dinas pertanian.
Mari kita berpikiran negatif sebentar. Anu ini orang lama di
pemerintahan atau mengetahui banyak hal di pemerintah. Bisa saja dia buat
proyek untuk “kesejahteraan” masyarakat, lalu membuat proposal ke pemerintah. Mungkin
juga, dalam lobi ini dia sudah kongkalikong dengan pejabat pemerintah terkait,
sehingga keluarlah dana pengaspalan, yang dilihat warga sebagai kemurahan hati
Anu. Hal yang sama juga dengan mesin traktor. Bisa saja sang istri membuat
proyek yang isinya mesin traktor. Mungkin untuk “bukti” itu Anu hanya
mengeluarkan dari kantong pribadinya sekitar 50%, selebihnya dari pemerintah. Dan
jika dari pemerintah, artinya dari rakyat juga; karena uang pemerintah sebagian
besar dari dari pajak rakyat.
Dan bagaimana jika ia akhirnya terpilih? Ingat, Anu hanya
berani melakukan hal itu, jika dari kalkulasinya, kampung itu memiliki banyak suara
pemilih sehingga peluangnya untuk menang sangat besar. Dan jika ia sudah terpilih, bisa saja ia akan mengucapkan selamat
tinggal kepada warga kampung dan ia enak-enakan saja menikmati fasilitas
sebagai anggota dewan atau sebagai presiden. Sementara warga kembali kepada situasi yang itu-itu
saja.
Karena itu, jangan begitu cepat percaya. Jangan begitu mudah
terpikat. Sering orang hanya berpikir jangka pendek dan hanya untuk kepentingan
sendiri atau kelompok. Memanfaatkan momen pemilu ini, kita harus berpikir
global, yaitu demi kepentingan bersama, dan untuk jangka panjang, yaitu selama
lima tahun ke depan, bahkan seterusnya. Pola pikir seperti di atas, yang hanya berpikiran sempit, harus diganti. Kita
harus memakai metode Yesus: mengenal pohon dari buahnya. Bagaimana caranya?
Pertama-tama harus dibedakan antara janji dengan “buah”.
Janji itu bukanlah “buah”. Dalam dunia tumbuhan, janji dapat diidentikkan
dengan bunga. Memang buah itu berasal dari bunga. Dan bunga itu selalu indah. Demikian
pula dengan janji yang selalu dilontarkan calon legislatif. Janji itu selalu
indah, sehingga membuat orang terbuai. Tapi musti diingat bahwa bunga bukanlah
buah, dan tak selamanya bunga itu menjadi buah. Maka, sekalipun pohon itu
berbunga lebat dan indah, tapi bila tidak menghasilkan buah, pohon itu tidak
baik. Buah adalah hasil dari pohon yang selalu ditunggu orang. Bunga hanya
menimbulkan harapan, sedangkan buah mendatangkan kegembiraan.
Tentulah, penilaian atas pohon baik atau tidak, bukan dilihat
dari awal penanaman pohon. Artinya, ketika kita menanam sebuah pohon, kita tak bisa
langsung mengatakan bahwa pohon ini baik. Sebuah pohon dikatakan
baik karena dia pernah menghasilkan buah yang baik. Dan cap “baik” ini akan
terus mengiringinya dengan buah-buah yang selalu dihasilkannya.
Maka, untuk benar-benar mengenal wakil kita yang akan duduk
di dewan nanti atau pemimpin kita kelak, kita tak cukup hanya mengandalkan janji manis mereka. Kita juga
tak boleh hanya melihat apa yang sudah mereka lakukan saat ini untuk segelintir
orang saja. Kita perlu rekam jejak mereka lalu dikaitkan dengan
janjinya. Apakah janji yang diucapkannya sudah sejalan dengan hidupnya selama
ini?
Sebagai contoh. Si Polan, ketika berkampanye, menjanjikan
Indonesia yang bersih dari korupsi, menghargai pluralitas, meningkatkan
kesejahteraan buruh dan memajukan pendidikan. Kini warga harus melihat rekam
jejaknya sebelum mencalonkan diri jadi pemimpin/wakil rakyat. Mungkin si Polan
sebelumnya sudah anggota dewan. Coba perhatikan, apakah selama menjadi anggota
dewan dia sudah pernah mewujudkan janjinya tadi? Atau mungkin si Polan aktif di sebuah
lembaga swadaya masyarakat. Warga harus melihat apakah selama bekerja di LSM
itu dia menunjukkan perhatiannya pada masalah-masalah di atas?
Jika calon kita ini berkampanye soal menghargai pluralitas, tapi dia pernah menghina agama lain atau menghambat pembangunan rumah ibadah lain, ini berarti calon yang tidak baik. Apabila calon kita ini berjanji akan membersihkan negeri ini dari korupsi, sementara partainya atau dia sendiri pernah terlibat dalam kasus korupsi, ini berarti dia hanya berjanji saja. Dia bukan calon pemimpin/wakil yang baik. Bila calon kita ini mengatakan akan meningkatkan kesejahteraan buruh, tapi selama ini perhatiannya kepada buruh rendah sekali, ini menunjukkan dia tidak memiliki kualitas sebagai pemimpin yang baik.
Jika calon kita ini berkampanye soal menghargai pluralitas, tapi dia pernah menghina agama lain atau menghambat pembangunan rumah ibadah lain, ini berarti calon yang tidak baik. Apabila calon kita ini berjanji akan membersihkan negeri ini dari korupsi, sementara partainya atau dia sendiri pernah terlibat dalam kasus korupsi, ini berarti dia hanya berjanji saja. Dia bukan calon pemimpin/wakil yang baik. Bila calon kita ini mengatakan akan meningkatkan kesejahteraan buruh, tapi selama ini perhatiannya kepada buruh rendah sekali, ini menunjukkan dia tidak memiliki kualitas sebagai pemimpin yang baik.
Sebagai perbandingan, kita dapat bercermin dari Jokowi dan
Ahok. Mereka datang ke Jakarta dan berjanji akan mengubah wajah Jakarta:
kesehatan, pendidikan, transportasi, birokrasi, dll. Apakah pada saat kampanye mereka
melakukan sesuatu pada rakyat untuk membuktikan janjinya? TIDAK! Warga hanya melihat rekam jejak mereka. Warga melihat Jokowi ketika ia masih menjabat Walikota
Solo, dan Ahok ketika ia menjabat Bupati Belitung Timur. Warga melihat ada
kesesuaian antara janji dengan “buah” yang sudah dihasilkan Jokowi dan Ahok,
sehingga warga percaya bahwa kelak mereka akan mewujudkan janjinya. Karena
itu, warga sama sekali tidak terpancing dengan isu agama atau isu money politic. Warga Jakarta adalah contoh pemilih yang cerdas.
Tinggal beberapa bulan lagi kita akan memilih. Berusahalah mengenal
wakil Anda. Jangan terbuai dengan janji manisnya. Jangan pula berpikir sempit,
hanya melihat kepentingan kelompok sendiri dan kepentingan sesaat. Nasib bangsa
dan daerah Anda ada di tangan Anda, yang dipercayakan kepada para wakil rakyat. Semoga Anda dapat memilih wakil rakyat yang benar, apapun latar sosial, agama dan sukunya. Yesus pernah menegur sikap para rasul yang hanya memperhatikan kelompoknya saja. (Mrk 9: 38 - 40).
Selamat mengenal!!!
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar