Jumat, 09 Desember 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH IBRAHIM AYAT 33

 


Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan malam dan siang bagimu. (QS 14: 33)

Al-Qur’an diyakini oleh umat islam merupakan wahyu Allah yang secara langsung disampaikan kepada Muhammad SAW. Hal ini bisa dipahami sebagai berikut: Allah berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad mendengarnya. Apa yang didengar Muhammad itulah yang kemudian ditulis dan akhirnya menjadi sebuah kitab yang diberi nama Al-Qur’an. Dengan perkataan lain, umat islam percaya dan meyakini bahwa apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah kata-kata Allah SWT sendiri. Dan karena Allah itu maha benar, maka apa yang dikatakan-Nya adalah sebuah kebenaran. Allah sendiri telah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran yang meyakinkan (QS al-Haqqah: 51). Karena itu, umat islam menilai segala sesuatu yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an adalah suatu kebohongan. Al-Qur’an telah menjadi tolok ukur kebenaran. Jadi, jika dalam Al-Qur’an dikatakan 1+1=5, umat islam percaya itu benar dan kitab lain yang mengatakan hasilnya 2 adalah palsu.

Umat islam menganggap dan menilai Al-Quran sebagai keterangan dan pelajaran yang jelas, karena memang demikianlah yang dikatakan Allah sendiri. Allah telah memudahkan wahyu-Nya sehingga umat bisa dengan mudah pula memahaminya. Sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga mudah dipahami oleh umat islam. Umumnya para ulama menafsirkan kata “jelas” di sini dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan kata lain, perkataan Allah itu sudah jelas makna dan pesannya, tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran. Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan kehendak Allah sendiri.

Berangkat dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah Ibrahim ayat 14 di atas merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar oleh Muhammad SAW. Memang tidak seluruh kutipan di atas merupakan asli perkataan Allah. Frasa “dalam orbitnya”, yang berada dalam tanda kurung, dapat dipastikan merupakan tambahan kemudian yang berasal dari tangan manusia. Sejatinya frasa itu tidak pernah diucapkan oleh Allah. Karena Allah sudah memudahkan wahyu-Nya, maka dengan sangat mudah pula umat islam menafsirkan kutipan kalimat Allah di atas. Mereka mengatakan bahwa Allah telah mengatur peredaran matahari dan bulan sehingga terciptalah siang dan malam. Dengan kata lain, peredaran matahari dan bulan itu membuat munculnya siang dan malam. Dan umat islam mengklaim itu sebagai kebenaran.

Klaim tersebut memang benar, tapi bukan tanpa masalah. Jika wahyu Allah di atas diletakkan pada konteksnya, maka akan muncul beberapa persoalan. Pertama, siapa yang “telah menundukkan matahari dan bulan”? Memang tafsiran atas kata ganti “Dia” adalah Allah, tapi haruslah dikatakan bahwa itu bukanlah Allah yang berbicara. Ingat, kalimat “Dia telah menundukkan matahari dan bulan …” diucapkan oleh Allah kepada Muhammad. Ibaratnya saya mengatakan kepada Anda, “Dia telah memasak kue itu.” Dapat dipastikan saya berbeda dengan dia. Yang memasak kue itu bukan saya, tapi dia. Demikian halnya dengan kutipan kalimat di atas. Allah yang telah menundukkan matahari dan bulan adalah berbeda dengan Allah yang berbicara. Karena itu, di sini terlihat ada DUA Allah.

Kedua, matahari beredar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “edar” memiliki arti (1) berjalan berkeliling (hingga sampai ke tempat permulaan); (2) berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Dengan demikian, jika matahari beredar, maka matahari itu berputar, bukan berputar pada tempatnya tapi berkeliling. Hal ini ditegaskan dengan penambahan frasa “dalam orbitnya”. Di sini terlihat jelas wahyu Allah ini mendukung teori geosentris. Padahal, dunia saat ini sudah meninggalkan teori tersebut, dan beralih ke teori heliosentris. Dapat dikatakan bahwa teori geosentris adalah salah. Dengan mengatakan teori geosentris salah, berarti Al-Qur’an salah. Dan jika Al-Qur’an salah, maka Allah juga salah. Bagaimana mungkin Allah yang maha benar bisa salah?

Menghadapi dua persoalan ini, ulama islam langsung membuat rasionalisasi. Harus dipahami ‘rasionalisasi’ adalah upaya membuat seolah-olah menjadi benar apa yang sebenarnya tidak benar. Pertama-tama mereka mengatakan bahwa kutipan kalimat di atas diucapkan oleh Jibril. Dengan mengatakan bahwa kutipan kalimat di atas diucapkan oleh Jibril kepada Muhammad, maka runtuhnya pandangan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang langsung disampaikan Allah kepada Muhammad. Karena terbukti Allah masih memakai perantara, yang bernama Jibril. Secara nalar akal sehat dan juga ilmu linguistik, kalimat di atas bukan lagi sebagai wahyu Allah, tetapi wahyu Jibril. Apa yang tertulis di atas adalah kata-kata Jibril, bukan perkataan Allah. Jika tetap menganggap wahyu Allah, dan Jibril hanya menyampaikan pesan Allah, maka redaksi kalimatnya tidaklah demikian. Ada dua redaksi dalam 2 bentuk, yaitu kutipan langsung dan tidak langsung.

1.    Allah berfirman, “Dan Aku telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.”

2.    Allah berfirman bahwa Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.

Rasionalisasi kedua adalah dengan mengatakan bahwa persoalan peredaran matahari harus dilihat dalam konteks pergerakan matahari dan benda-benda langit lainnya dalam kesatuan galaksi Bima Sakti. Pergerakan ini sejalan dengan ilmu pengetahuan. Dengan demikian umat islam merasa bangga bahwa kitab sucinya sudah meramalkan soal pergerakan itu. Sungguh klaim yang mengada-ada dan memalukan. Benarkah “matahari dan bulan yang terus-menerus beredar” merujuk pada peristiwa pergerakan matahari dan benda-benda langit lainnya dalam kesatuan galaksi Bima Sakti? Setidaknya ada 2 argumen untuk menyanggah klaim ini.

Pertama, jika memang demikian, sudah seharusnya Allah menyatakan demikian. Artinya, frasa “galaksi Bima Sakti” harus sudah tercantum dalam wahyu Allah (atau setidaknya ditulis dalam tanda kurung sebagai tambahan). Bukankah Allah yang berfirman adalah Allah yang maha mengetahui dan maha teliti? Bukankah Allah sudah mengatakan bahwa Dia telah memudahkan wahyu-Nya? Bukankah Al-Qur’an itu adalah keterangan yang jelas? Jangankan “galaksi Bima Sakti”, kata ‘bintang’ atau planet-planet lainnya pun tidak tercantum. Hal ini membuktikan bahwa memang kutipan kalimat di atas sama sekali tidak memaksudkan dengan peristiwa pergerakan matahari dan benda-benda langit lainnya dalam kesatuan galaksi Bima Sakti.

Kedua, dalam kutipan kalimat Allah di atas dikatakan bahwa dengan menundukkan matahari dan bulan yang terus-menerus beredar, maka terbentuklah fenomena siang dan malam. Menjadi pertanyaan, apakah peristiwa pergerakan matahari dan benda-benda langit lainnya dalam kesatuan galaksi Bima Sakti juga menyebabkan munculnya fenomena siang dan malam? Tentu saja tidak. Ini bukti rasionalisasi ulama islam tidak hanya salah, tetapi juga bertentangan dengan kehendak Allah (jika memang kutipan ayat di atas masih dianggap sebagai wahyu Allah).

DEMIKIANLAH kajian logis atas surah Ibrahim ayat 14. Dari kajian ini dapat diambil dua kesimpulan yang saling mengandaikan. Jika surah Ibrahim ayat 14 ini dianggap sebagai wahyu Allah, maka haruslah dikatakan ada DUA Allah, yaitu Allah yang berbicara dan Allah yang menundukkan matahari dan bulan. Dengan demikian haruslah dikatakan agama islam mempunyai DUA Allah. Tentu saja hal ini bertentangan dengan keyakinan islam selama ini bahwa Allah itu ESA. Umat islam percaya hanya pada SATU Allah. Nah, jika demikian, maka haruslah dikatakan bahwa surah Ibrahim ayat 14 ini bukanlah wahyu Allah. Dan jika bukan wahyu Allah, maka haruslah dikatakan bahwa surah Ibrahim ayat 14 adalah hasil rekayasa manusia, yang bernama Muhammad. Apa yang tertulis di atas diyakini sebagai kata-kata Muhammad kepada para pengikutnya, yang diletakkannya di mulu Allah sehingga seolah-olah itu dari Allah. Muhammad mau menjelaskan bahwa Allah menundukkan matahari dan bulan sehingga terjadilah siang dan malam. Inilah yang ditangkap mata manusiawi Muhammad, yaitu bahwa matahari dan bulan beredar dari satu titik (timur) lalu bergerak ke titik yang lain (barat) hingga akhirnya muncul kembali di titik semula.

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa apa yang tertulis dalam surah Ibrahim ayat 14 bukanlah kata-kata Allah melainkan perkataan Muhammad. Hal seperti ini jamak ditemui dalam ayat-ayat pada surah-surah Al-Qur’an lainnya. Ini seakan menegaskan apa yang pernah diucapkan orang kafir di Mekkah pada zaman Muhammad dulu bahwa Al-Qur’an merupakan hasil rekayasa atau kebohongan Muhammad. Karena dari Muhammad, dimana sebagai manusia ada keterbatasannya, maka Al-Qur’an pun tak luput dari hal tersebut. Klaim Al-Qur’an sebagai kitab kebenaran, jika dikaitkan dengan Allah, langsung gugur, namun jika dikaitkan dengan Muhammad, maka ia sungguh kitab kebenaran; hanya klaim ia wahyu Allah langsung gugur.

Lingga, 17 Agustus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar