Jumat, 06 Agustus 2021

TELAAH ATAS PENGHARAMAN BABI DALAM AL-QUR’AN


 

Selain dikenal sebagai agama yang mengkafir-kafirkan, islam juga biasa diidentikkan dengan agama yang mengharam-haramkan. Karena itu, dalam sebuah organisasi islam, misalnya seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), ada satu komisi yang bertugas mengurus masalah haram. Komisi ini biasa dijadikan rujukan bagi umat islam untuk bersikap, apakah sesuatu itu boleh atau tidak; haram atau tidak. Fatwa dan juga lebel halal dari komisi ini menjadi penentu bagi sebuah produk, mulai dari makanan hingga lokasi wisata. Jika dirinci, ada begitu banyak jenis fatwa atau label haram atau halal yang telah dikeluarkan oleh MUI. Misalnya, pengharaman mengucapkan selamat natal, pengharaman atas rawon setan dan tahu kuntilanak, pengharaman satu jenis permainan online, dan masih banyak lainnya. Pelebelan “wisata halal” pada salah satu destinasi wisata mengindikasikan adanya “wisata haram” bagi yang tak mendapatkan lebel tersebut.

Bagian ini akan membahas satu jenis pengharaman, yang terkadang sedikit menimbulkan “kontroversi” di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Jenis itu adalah babi. Memang publik sudah tahu kalau babi itu dilarang dalam islam, meski dalam praktek banyak juga umat islam yang mengkonsumsi babi. Pengharaman atau pelarangan atas babi sepertinya sudah final. Umat islam mendasarkan pada wahyu Allah dalam Al-Qur’an. Umat islam memahami larangan itu berasal dari perintah Allah sehingga harus diikuti. Pelanggaran atasnya berarti dosa, dan dosa berarti neraka. Tapi, benarkah Allah sungguh melarangnya?

Dasar Al-Qur’an atas pelarangan babi dapat ditemukan dalam 4 surah, 2 surah dalam kelompok surah Makkiyyah dan 2 lainnya dalam kelompok surah Madaniyyah. Lebih lanjut dapat diperhatikan dalam tebel berikut ini. Pada kutipan ayat-ayat Al-Qur’an ini, pelarangan itu tidak hanya ditujukan kepada babi saja. Ada beberapa jenis makanan lain yang diharamkan Allah, namun di sini pembahasan lebih fokus pada babi.

Dasar Pelarangan Babi

Surah Makkiyyah

QS 6: 145 dan QS 16: 115

Surah Madaniyyah

QS 2: 173 dan QS 5: 3

Jika membaca dengan teliti keempat kutipan ayat larangan atas babi ini, maka akan ditemukan beberapa poin penting yang memiliki kesamaan atau kemiripan satu ayat dengan ayat lainnya. Poin-poin tersebut dapat menjadi pesan yang hendak disampaikan Allah kepada umat islam. Berikut ini beberapa poin penting tersebut.

1.        Perintah pengharaman itu datang dari Allah. Sekalipun hanya 2 ayat yang secara tegas menyatakan hal itu, yaitu QS 16: 115 dan QS 2: 173, namun secara tersirat 2 ayat lainnya juga menegaskan hal yang sama. Allah mengharamkan bagi umat islam, yang salah satunya adalah daging babi.

2.        Yang diharamkan adalah daging babi. Keempat ayat itu sama-sama menegaskan bahwa daging babi itu diharamkan Allah. Ada 2 ayat dimana Allah menggunakan kata “hanya”,  yang langsung diikuti dengan frase “daging babi” (QS 16: 115 dan QS 2: 173). Dengan demikian, yang diharamkan Allah hanya daging babi. Pengharaman ini lebih ditujukan pada kepentingan konsumsi. Dengan kata lain, daging babi haram untuk dimakan..

3.        Dasar pengharaman itu adalah soal kekotoran. Ini hanya ditegaskan dalam 1 ayat saja, yaitu QS 6: 145. Dalam Al-Qur’an Allah tidak memberikan penjelasan lebih lanjut soal “kotor” ini.

4.        Allah masih membuka ruang kompromi atau toleransi dengan beberapa persyaratan. Artinya, umat islam masih dibolehkan mengkonsumsi daging babi bila memenuhi persyaratan yang diajukan Allah; dan itu tidaklah dosa. Semua ayat menegaskan hal tersebut. Persyaratan itu adalah keadaan terpaksa dan tidak melampaui batas.

Apa yang dapat dicermati dari 4 poin di atas. Pertama-tama perlulah melihat perkembangan lanjut soal pengharaman babi ini. Jika dengan jujur memperhatikan persoalan ini, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi pergeseran makna dan pesan. Pada awalnya yang diharamkan oleh Allah hanyalah daging babi, karena daging itu demi kepentingan konsumsi. Larangan Allah juga terkait dengan hal itu, yaitu haram untuk dimakan. Secara anatomi, seekor babi itu terdiri dari banyak unsur, seperti daging, lemak, darah, jeroan, kotoran, kulit, bulu, tulang, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak unsur itu, yang diharamkan hanya dagingnya saja. Dengan jelas Allah menggunakan kata “lahma” yang merujuk pada daging, bukan lemak, tulang dan lainnya. Akan tetapi, sekarang ini yang diharamkan itu adalah semua unsur babi termasuk enzimnya. Dan pengharaman ini tidak hanya untuk kepentingan konsumsi saja seperti yang dikehendaki Allah. Pelarangan ini tidak lagi dari Allah, tetapi dari manusia, khususnya ulama. Apa yang bisa dibaca dari sini?

Satu hal yang pasti adalah ternyata ulama lebih berkuasa dari Allah. Kekuasaan ulama melampaui kekuasaan Allah. Ulama bisa membuat aturan melebihi dari yang telah dibuat Allah. Dan umat islam lebih tunduk pada perintah ulama ketimbang perintah Allah. Kenapa bisa begini? Setidaknya ada 2 alasan yang saling berkaitan, yaitu politik dan ekonomi. Kepentingan politik bertujuan untuk menunjukkan siapa yang berkuasa kepada masyarakat, bukan hanya umat muslim tetapi juga non muslim. Sudah jadi rahasia umum kalau ada banyak uang mengalir dari pelabelan atau sertifikasi halal. Orang yang mau dagangannya bisa dijual, harus memiliki sertifikasi halal. Tanpa itu, dapat dicap haram.

Selain itu, perlu dicermati juga soal alasan pengharaman atas babi ini. Dari 4 ayat pelarangan, hanya ada 1 ayat saya yang menerangkan kenapa daging babi diharamkan untuk dikonsumsi. Alasannya adalah kotor. Sekalipun Allah telah menegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab atau keterangan yang jelas, namun pada kutipan ayat Al-Qur’an di atas terdapat ketidak-jelasan terkait dengan kata “kotor”. Pertama-tama tidak jelas apa yang dimaksud dengan kotor di sini; apakah dalam pengertian higienis atau sanitasi atau religius. Selain itu kata “kotor” ini hendak merujuk kemana: apakah babi atau dagingnya? Jika kita membaca dengan baik dan memahami setiap katanya, tentulah dapat dipastikan bahwa kata “kotor” ini tidak dalam pengertian religius dan bukan ditujukan kepada babi.

Akan tetapi, pemaknaan “kotor” dengan pengertian higienis dan sanitasi juga masih membingungkan, sama membingungkan bila dihubungkan dengan sasarannya, yakni daging babi. Jika daging babi dikatakan tidak higienis (artinya kotor), kenapa pula Allah tetap memberi peluang untuk memakannya jika terpaksa; dan kenapa ada orang yang tetap mengkonsumsi daging babi tanpa ada masalah dengan kesehatan? Jika kemudian ditemukan adanya cacing pita dalam daging babi sebagai sumber penyakit, kenapa daging hewan lain yang membawa penyakit tidak diharamkan. Apakah Allah hanya mampu melihat penyakit pada babi di masa depan sedangkan penyakit pada hewan lain tidak? Jika daging babi dikatakan kotor dalam pengertian sanitasi, apakah kebiasaan orang Arab makan daging tanpa dicuci dulu? Bukankah sebelum dimakan daging itu dicuci terlebih dahulu baru kemudian dimasak? Di sini terlihat jelas Allah kurang paham soal makanan, atau Allah punya sentimen tertentu dengan daging babi.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam perjalanan waktu, larangan Allah ini “dibajak” oleh umat-Nya sendiri. Yang diharamkan tidak lagi hanya daging babi, tetapi hewan babi. Penerapan kata “kotor” pada hewan babi juga tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Jika babi dikatakan hewan yang tidak higienis, artinya mengandung banyak penyakit, kenapa hewan lain tidak diharamkan? Dan kenapa ada orang yang memelihara atau menternakkannya? Pengharaman atas babi sementara hewan lain tidak, membuktikan Allah tidak mampu melihat persoalan dengan jelas dan adil. Ini sama seperti “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Jika babi dikatakan hewan yang kotor dalam pengertian sanitasi, bukankah ada begitu banyak hewan seperti ini tapi tidak mendapat label haram dari Allah.

Ada juga yang mengaitkan kata “kotor” ini dengan makanan babi dan ada pula memaknai “kotor” ini dengan ciri atau sifat buruk dari babi. Semua ini merupakan upaya umat islam, yang bernama ulama, untuk memberi pembenaran atas pelarangan babi dalam Al-Qur’an. Karena pendasaran yang diberikan Allah tidak masuk akal dan masih membingungkan, mereka mengemukakan dasar lainnya. Namun sayangnya, dasar pengharaman itu sungguh tak masuk akal sehat dan terkesan mengada-ada. Hampir semua hewan makan makanan kotor, tapi kenapa tidak diharamkan? Ada banyak hewan yang tidak diharamkan mempunyai tabiat atau karakter buruk. Kambing, misalnya, suka kawin di depan publik. Sapi, selain suka berkubang di lumpur, juga terkenal bodoh, mental budak dan tak punya pendirian. Akan tetapi, baik kambing dan sapi tidak diharamkan. Ayam suka kawin sembarang saja. Malahan anaknya setelah besar akan kawin dengan induknya. Bukankah ini sifat buruk? Tapi kenapa tidak diharamkan?

Secara sederhana bisa dikatakan bahwa pengharaman atas babi hendak menunjukkan 2 hal, yaitu bahwa ulama lebih berkuasa daripada Allah, dan bahwa dasar pelarangan itu tidak jelas.

Lingga, 10 Mei 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar