Dewasa ini sudah lazim kita mendengar istilah “wisata
halal”. Dapat dipastikan bahwa istilah tersebut lebih ditujukan kepada umat
islam, untuk menjawab kepentingan umat islam. Dengan “wisata halal” dimaksudkan
bahwa tempat wisata tersebut layak dan ramah bagi umat islam.
Istilah halal biasanya langsung dikonfrontasikan dengan
istilah haram. Karena itu, dengan menetapkan satu daerah atau satu negara
sebagai wisata halal, secara implisit hendak dikatakan bahwa daerah atau negara
lain merupakan wisata haram. Tempat-tempat tersebut tidak layak dan tidak ramah
bagi umat islam. Dengan kata lain, tempat yang tidak dilabeli “wisata halal”
dinilai tidak toleran dengan kaum muslim. Benarkah demikian?
Dari sini dapatlah dikatakan bahwa islam tidak hanya
sekedar membedakan orang: kafir dan
islam, tetapi juga membedakan tempat: halal
dan haram. Umat islam tidak cuma mengkafir-kafirkan orang yang berbeda
dengannya, tetapi juga mengharamkan daerah atau negara yang tidak layak dan
tidak ramah baginya. Secara tidak langsung menuduh warga tempat yang tidak
diberi label “wisata halal” memusuhi umat islam.
***
Belum lama ini publik sempat dihebohkan dengan
pelabelan “wisata halal” bagi dua tempat destinasi pariwisata, yaitu Bali dan
Danau Toba. Pada umumnya orang sudah tahu bahwa dua tempat itu bukanlah daerah
berpenduduk muslim terbesar. Mayoritas penduduk Bali adalah Hindu, sedangkan
Toba – Samosir beragama Kristen (protestan dan katolik). Karena itu, sempat
muncul protes dari dua daerah wisata tersebut terhadap pelabelan “wisata
halal”.
Dengan melabel satu tempat sebagai tujuan destinasi
“wisata halal”, secara tidak langsung orang sudah melabeli tempat wisata lain,
yang sudah ada, sebagai “wisata haram”. Maklum, label “halal” selalu
dikonfrontasikan dengan label “haram”. Apa yang dimaksud dengan label “wisata
halal”?
Dapat dikatakan bahwa dengan label “wisata halal”,
daerah tujuan wisata itu layak dan ramah bagi umat islam. Di sana tersedia rumah
makan yang menyediakan makanan yang dapat dikonsumsi umat islam, tersedia rumah
ibadah sehingga umat islam dapat menjalani kewajiban sholatnya, dan hal-hal
lainnya yang menjawab kebutuhan umat islam. Daerah wisata dengan label “wisata
halal”, sekalipun daerah itu bukan daerah islam, menunjukkan adanya toleransi
umat non muslim kepada umat islam; umat non muslim bersedia menghormati umat islam.
Jadi, dengan melabel suatu daerah sebagai “wisata halal” ada semacam tuntutan
agar daerah tersebut memperhatikan dan memenuhi kebutuhan umat islam.
Mari kita melihat sebaliknya. Aceh, Padang dan beberapa
tempat yang mayoritas penduduknya beragama islam mempunyai tempat-tempat wisata
yang menarik. Dapat dipastikan bahwa yang menjadi wisatawan itu tidak hanya
umat islam. Menjadi pertanyaan: apakah di tempat-tempat itu disediakan
kebutuhan bagi wisatawan yang non muslim? Apakah di sana ada rumah makan yang
menyediakan masakan daging babi atau anjing? Apakah di sana ada rumah ibadah
bagi wisatawan yang beragama Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya? Apakah di
sana ada dijual minuman beralkohol?
Apabila di daerah tujuan wisata, yang penduduknya
mayoritas beragama islam, tidak menyediakan kebutuhan wisatawan non muslim, dan
malah “memaksa” mereka untuk mengikuti ketentuan yang berlaku di daerah itu,
maka bisa dikatakan daerah islam tidak toleran dan tidak menghargai orang lain.
Dari sini orang dapat menilai agama mana yang toleran dan mana yang tidak.
Lingga,
19 Nov 2019
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar