Selasa, 03 Agustus 2021

Sebuah Cerpen: PELAJARAN SEJARAH

 


“Jadi, sekalipun ada niat dari Jepang untuk menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia, proklamasi kemerdekaan merupakan perjuangan rakyat Indonesia. Bukan pemberian gratis atau bersyarat seperti negara Malaysia.” Demikian penjelasan Pak Priyatno, guru sejarah SMU St. Yusuf. “Dan harus diingat, proklamasi kita tak bisa dipisahkan dari peran kaum muda. Merekalah yang menggerakkan proklamasi itu.”

“Tanya dikit, pak!” Sebuah tangan dari barisan tengah bangku ruang kelas XIIB menjulang ke atas.

“Ya, Rolan Gultom!” Pak Pri langsung mengenali subyek penanya. “Jangan kau tanya leluhurmu P Gultom itu, ya?!” Pak Pri tersenyum diikuti murid lainnya.

Maklum, dalam penjelasan tadi ada nama P. Gultom pada kelompok kaum muda radikal. Kelompok inilah yang memaksakan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia secepatnya. Dan memang ketika ada disebut marga Gultom, Parolan sedikit sumringah.

“Tak sia-sia aku terlahir dengan marga Gultom,” ujar Parolan yang langsung disambut teriakan “huuuuu...!” Parolan hanya tertawa. Pak Pri juga. Tapi pak Pri segera menenangkan ruang kelas untuk memberi kesempatan Parolan bertanya.

“Selama ini kita tahu bahwa proklamasi itu terjadi pada tahun 1945. Kalau disingkat menjadi ’45. Tapi kenapa pada teks proklamasi, baik yang tulisan tangan maupun yang diketik Sayuti Melik, tertulis ’05?”

“Bagus!” Puji pak Pri, membuat Parolan langsung menegakkan kepalanya dan menoleh ke kiri dan ke kanan. Murid lain hanya tersenyum melihat ulahnya. Tapi ada juga yang mencibir.

“Tahun yang dipakai bukan tahun internasional, melainkan tahun Jepang. Tanggal dan bulannya sama. Tahunnya beda. Pada waktu itu tahun Jepangnya adalah 2605.”

Kring! Kring! Kring! Bel sekolah berbunyi pertanda pelajaran usai. Para murid segera mengemas buku-bukunya.

“Anak-anak, tanggal 14 nanti kita ulangan.”

“Ha?! Apa?!” Beberapa murid spontan kebingungan.

“Cepat kali, pak.” Celetuk Magda. “Kita baru bahas satu materi.”

“Bapak punya maksud. Memang materinya sedikit. Sejarah menjelang dan saat proklamasi kemerdekaan. Dengan kalian mempelajari materi itu, bapak berharap kalian nanti semakin menghayati upacara proklamasi 17 Agustus. Adalah keprihatinan bapak bahwa anak-anak muda sekarang kurang memaknai upacara proklamasi. Kelihatannya setiap upacara proklamasi 17 Agustus orang jatuh pada seremonial belaka. Ini mungkin disebabkan generasi sekarang tidak tahu sejarah proklamasi itu.”

***

Parolan memarkirkan Mega Pro-nya di samping rumah. Ia baru pulang dari gereja, mengikuti pertemuan OMK (Orang Muda Katolik) membahas kegiatan OMK menyambut HUT Proklamasi. Sebenarnya pertemuan itu hanya untuk memfinalkan program acara.

Untuk menyambut HUT Proklamasi Republik Indonesia, OMK Paroki St. Yosep menggelar beberapa kegiatan. Hari Sabtu, 14 Agustus, ada kegiatan donor darah. Hari Minggu, setelah misa, ada bakti sosial membersihkan pantai Jalan Lingkar Timur; malam harinya ada sarasehan. Senin malam ada perayaan ekaristi menyambut proklamasi di halaman Grotto Maria Guadalupe, Sei Bati.

Romo Sensi, selaku moderator OMK paroki, mengungkapkan kepuasan hatinya dengan kegiatan tersebut. “Dengan kegiatan ini kalian bukan hanya mewujudkan visi keuskupan, tetapi juga mewujudkan mimpi Mgr. Soegijapranata: menjadi Indonesia 100 persen dan menjadi katolik 100 persen,” ungkap Rm. Sensi menutup pertemuan.

Parolan masuk ke dalam rumah. Dilihat ibunya, dibantu Rolina, adiknya, sedang menyortir sawi dan kacang panjang yang mau dijual ke pasar besok pagi.”

“Sudah makan kau, Lan?”

“Masih kenyang, mak. Tadi waktu pertemuan ada makan kue.”

“Pasti abang makan banyak,” sambung Rolina yang disambut mata besar Parolan. Rolina hanya tersenyum saja, karena ia tahu abangnya hanya bercanda. Sebagai satu-satunya anak dan adik perempuan di rumah, Rolina selalu mendapat perhatian dari semua anggota keluarga.

“Kalau gitu, kau ambil dulu keranjang sayur di belakang biar langsung kau masukkan sayur ini.”

“Ramses mana, mak?” Tanya Parolan sambil melirik jam di dinding. 19.20. Ramses adalah adik Parolan. Siswa SMP St. Yusuf kelas VIII. Mereka semua ada tiga bersaudara. Parolan anak sulung dan Rolina si bungsu, duduk di kelas V SD St. Yusuf.

“Ke rumah temannya. Kerja tugas.”

“Mak, malam ini aku tak bisa bantu. Aku mau belajar. Besok ada ulangan.”

“Ya sudah. Nanti aku minta Ramses yang beresin. Tapi besok pagi kau yang antar ke pasar.”

“Iya mak!” Sahut Parolan sambil berlalu ke kamarnya. Langsung diambilnya buku sejarah dan ia mulai membaca.

***

Ruangan Lembaga Bakteriologi, Jln Pegangsaan Timur, jam 20.00. Sekelompok pemuda berkumpul. Parolan hadir di sana. Dia asyik berdiskusi dengan Wikana soal berita bom di Hirosima dan Nagasaki serta soal kekalahan Jepang.

“Saudara-saudara,” tiba-tiba Chairul Saleh berbicara membuka pertemuan. “Sebagaimana yang kita ketahui dari berita radio bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Karena itu kemerdekaan sudah di depan mata. Tinggal kita raih saja.”

Beberapa pemuda lain ikut berbicara. Ada yang dengan tegas bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diumumkan, tanpa harus menunda-nunda. Melanjuti ini seorang pemuda menyampaikan bahwa siang tadi Bung Karno dan Bung Hatta sudah tiba di Jakarta. Mereka bersama dr. Radjiman Wediodiningrat baru pulang dari Dalat, Vietnam Selatan. Menurut informasi yang diterima, pertemuan di Dalat itu membicarakan soal pemberian kemerdekaan kepada Indonesia.

Mendengar berita itu Darwis menjadi emosional. “Kemerdekaan itu bukan hadiah, tapi perjuangan.”

“Jika kita menerima sebagai hadiah, kita tidak menghargai perjuangan dan pengorbanan saudara-saudara kita sebangsa setanah air.” Tambah Parolan. “Di antara mereka ada yang sudah gugur.”

Harsono, yang selalu mengenakan batik, angkat bicara. “Tantangan kita ada di Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka adalah tokoh kunci di PPKI. Dan karena PPKI itu adalah bentukan Jepang, maka proklamasi pun harus ikut mekanismenya.”

Akhirnya pertemuan menghasilkan dua keputusan. Pertama, kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak bergantung pada orang, lembaga dan negara lain. Segala keputusan tentang proklamasi harus mengikutsertakan golongan muda. Kedua, mengutus Wikana dan Darwis untuk menyampaikan hasil pertemuan kepada Bung Karno.

Jam 21.50 Wikana dan Darwis meninggalkan ruang pertemuan. Dengan sepeda onthelnya mereka menuju ke rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur 56. Para pemuda lainnya masih menunggu di gedung Lembaga Bakteriologi.

Sekitar jam 23. 15 Wikana dan Darwis kembali ke ruang pertemuan. Raut wajah mereka menggambarkan kejengkelan, kekesalan dan kemarahan.

“Tampaknya misi kita gagal,” bisik Sutomo kepada Parolan.

“Bagaimana hasilnya?” Tanya Chairul to the point.

Setelah semua duduk, Wikana mulai menjelaskan bahwa misi telah gagal. Wikana mengungkapkan bahwa di rumah Bung Karno ada juga Bung Hatta, dr. Buntara, dr. Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri. Di hadapan orang-orang itu Bung Karno dan Bung Hatta menolak gagasan kaum muda.

“Sekalipun saya mengancam akan terjadi pertumpahan darah, Bung Karno malah balik menantang. Dia bilang ‘Ini leher saya, potonglah sekarang juga! Jangan tunggu sampai besok!’ Bung Karno, sebagai ketua PPKI, harus mengikuti mekanisme yang ada. Besok ia akan tanya ke anggota PPKI lainnya.”

“Kenapa harus tunggu besok? Kan di situ ada wakil ketua dan penasehat PPKI. Anggotanya juga ada.” Ungkap Parolan.

“Bung Hatta pun menolak,” jelas Darwis. “Dia bilang agar kita jangan memaksa-maksa mereka. Malah seperti Bung Karno, Bung Hatta menantang kita untuk memproklamasikan kemerdekaan jika sanggup.”

Suasana sidang jadi ramai. Aura kemarahan dan kejengkelan sangat begitu terasa. Karena misi gagal, Chairul Saleh akhirnya membubarkan pertemuan sambil melihat perkembangan besok setelah pertemuan PPKI. Para peserta pertemuan terlihat gusar. Mereka meninggalkan ruang pertemuan sambil mengumpat-umpat.

“Dasar pengecut!”

“Boneka Jepang!”

Parolan melihat Chairul dan beberapa pemuda masih terlihat ngobrol serius di halaman Lembaga Bakteriologi. Ia menghampiri mereka.

“Kita bicarakan di asrama.”

Yang lain mengangguk setuju. Langsung mereka mengayuh sepedanya ke Jalan Cikini 71, asrama Baperpi.

“Saudara-saudara, kita tidak bisa tinggal diam dalam amarah,” Chairul angkat bicara setelah tiba di serambi asrama. “Kita harus melakukan sesuatu!”

Suasana rapat menjadi tenang. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Ada yang saling berdiskusi dengan teman di sampingnya.

“Kita singkirkan saja Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang.” Setelah sekian lama bermenung diri, Parolan memecahkan kesunyian malam.

“Kita culik mereka.”

“Saya setuju,” tegas Chairul. “Kita singkirkan mereka ke Rengasdengklok. Di sana kita paksa mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”

Maka mulailah para pemuda ini berembug membagi tugas. Ada yang menghubungi Cudanco Subeno, komandan kompi tentara PETA Rengasdengklok, untuk mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta. Ada yang bertugas menculik Bung karno dan Bung Hatta dari rumah mereka masing-masing. Ada yang bertanggung jawab soal kendaraan. Shudanco Singgih dipercayakan untuk melakukan aksi penculikan ini.

Aksi menculik Bung Karno tidak mendapat banyak kesulitan karena sebelumnya Wikana sudah menghubungi S. Suhud, komadan dan pengawal rumah Bung Karno. Sedikit kesulitan muncul ketika istri Bung Karno, Ibu Fatmawati, memaksa diri untuk ikut bersama bayinya, Guntur, yang waktu itu berumur 9 bulan.

Akhirnya sekitar jam 04.00, para pemuda membawa Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta ke tempat yang sudah ditentukan. Di sana mereka langsung diterima dan diamankan Subeno.

Sementara yang lain ke Rengasdengklok, Wikana, Sudiro dan Jusuf Kunto tetap berada di Jakarta. Mereka ditugaskan untuk melaporkan hasil pertemuan PPKI hari itu. Akan tetapi rapatnya batal sebab ketua dan wakilnya tidak ada.

Pada sore hari, sekitar jam 17.30, rombongan Ahmad Subardjo dengan ditemani Jusuf Kunto dan Sudiro, tiba di lokasi pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta. Ia terharu dengan aksi heroik para pemuda dan sedih melihat Bung Karno sekeluarga. Karena itu ia berjanji akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan besok tanggal 17 Agustus sebelum jam 12.00.

“Apa jaminan atas ucapan Bapak?” Tanya Parolan.

“Nyawa saya!”

“Baiklah, kami akan melepaskan kalian,” ujar Subeno. “Tapi beberapa anggota kami akan mengikuti kalian.”

“Silahkan! Kalianlah yang akan mengawasi dan menjaga kami saat penyusunan proklamasi.”

Subeno memandang Chairul dan Wikana. Chairul hanya menganggukkan kepalanya. Ketegangan pun mereda. Maka segera mereka berkemas untuk kembali ke Jakarta. Beberapa pemuda ikut dalam rombongan.

Sekitar jam 23.00 mereka tiba di Jakarta. Atas permintaan Bung Karno, rombongan langsung menemui Mayjend Nishimura untuk menjajagi sikapnya soal proklamasi kemerdekaan. Sudiro awalnya hendak protes, namun Chairul segera menghalangi niatnya.

Setiba di rumah Nishimura, Bung Karno dan Bung Hatta turun dan berjalan menuju ke dalam rumah. Rombongan lainnya tetap di dalam mobil. Tak lama kemudian kedua tokoh PPKI keluar dari dalam rumah dengan muka merah. Mereka berjalan menuju rombongan dengan muka tertunduk.

“Tanda buruk,” bisik Parolan dalam hati.

“Bagaimana?”

Mereka menolak. Mereka tidak mau mengubah status quo sampai nanti sekutu tiba,” jelas Bung Hatta.

“Nah kan,” celetuk Parolan. “Kami sudah bilang, kemerdekaan itu harus kita rebut. Kita tidak bisa tunggu diberi Jepang. Malah, kalau tunggu sekutu, itu namanya peralihan penjajah saja.”

“Maafkan kami,” suara Bung Karno terdengar berat. “Kalian benar!”

“Sekarang kita ke mana?” Tanya sopir rombongan.

“Ke rumah Laksamana Muda Maeda.” Jawab Ahmad Subardjo.

“Bukankah dia itu orang Jepang?”

“Tidak semua orang Jepang itu jahat. Saya kerja di kantor dia,” jelas Subardjo. “Dia akan menjamin keselamatan kita. Dan yang terpenting, dia mendukung kemerdekaan kita.”

Rombongan tiba di rumah Maeda sekitar jam 24.00. Laksamana Maeda menyambut mereka dengan ramah. Ia menunjukkan ruang makan sebagai tempat penyusunan teks proklamasi, sedangkan rombongan lainnya menunggu di serambi muka. Maeda meminta pelayannya untuk membuatkan kopi untuk para tamu.

Mobil yang mengantar mereka sudah kembali pergi ke rumah Bung Karno untuk mengantar Ibu Fatmawati dan Guntur.

Pada jam 04.00 Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo keluar menemui rombongan di serambi muka.

“Kami sudah selesai menyusun teks proklamasi,” ujar Bung Hatta yang kemudian mempersilahkan Bung Karno membacakan konsepnya perlahan-lahan.

Setelah membacakannya, Bung Karno meminta usulan dan tanda tangan dari para hadirin sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia.

“Saya tidak setuju!” Tegas Sukarni. “Yang menandatangani naskah proklamasi cukup Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.”

“Saya setuju dengan Sukarni,” sambung Parolan. “Selain itu saya usul sedikit perubahan kecil dalam teks tersebut.”

Akhirnya disepakati tiga perubahan, yaitu menghilangkan huruf ‘h’ pada kata ‘tempoh’; menggantikan frase ‘wakil-wakil bangsa Indonesia’ dengan ‘Atas nama bangsa Indonesia’; penulisan ‘Djakarta, 17-8-05’ diubah menjadi ‘Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05’. Teks proklamasi dengan segala perubahannya diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.

Sementara Sayuti Melik mengetik teks proklamasi, rombongan melanjutkan pembicaraan membahas soal waktu dan tempat pembacaan proklamasi.

“Saya mengusulkan Lapangan Ikada.” Sukarni bersuara.

Bung Karno menolak usulan Sukarni, karena lokasi tersebut dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang.

“Saya sepakat dengan Bung Karno,” ungkap Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta. ”Jika terjadi konflik, kami yang terjepit.”

“Kita selenggarakan saja di rumah Bung Karno,” celetuk Parolan.

“Baiklah saudara-saudara. Waktu kita sudah mepet. Sekarang jam 04.20,” ujar Ahmad Subardjo sambil melihat arlojinya. “Kita berkumpul lagi nanti di rumah Bung Karno. Pembacaan teks proklamasi pada jam 10.00.”

Selesai berbicara, Sayuti Melik muncul dengan membawa naskah proklamasi. BM Diah meminta supaya teks proklamasi diperbanyak untuk disiarkan melalui radio dan surat kabar.

Pagi hari itu, jam 08.30, rumah Sukarno sudah dipadati massa pemuda. Parolan melihat Cudanco Latief Hendraningrat sibuk memerintahkan anak buahnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Bung Karno. Mr. Wilopo dan Nyonopranowo sibuk mempersiapkan pengeras suara.

Parolan menghampiri Chairul dan Adam Malik menanyakan susunan acara nanti. Bertiga mereka masuk ke rumah Bung Karno. Di sana sudah ada dr. Muwardi dan Walikota Suwirjo.

“Selamat pagi, Pak!” Sapa Parolan. “Kami mau tanya susunan acara nanti.”

“Gimana menurut kalian?” Tanya Bung Karno.

“Kita langsung aja pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera.” Adam Malik menjawab.

“Benderanya apa dan di mana?” Bung Karno kembali bertanya.

“Ini.” Tiba-tiba Ibu Fatmawati muncul dengan membawa sehelai kain warna merah putih. “Sepulang dari Rengasdengklok saya langsung menjahitnya. Saya memilih warna merah dan putih. Merah sebagai lambang keberanian dan kemartiran pejuang kita, sedangkan putih simbol kesucian perjuangan kita.”

Bung Karno menghampiri istrinya, mengambil bendera itu dan mencium kening Ibu Fatmawati sambil berbisik, “Terima kasih!”

“Mungkin setelah pengibaran, kita beri kesempatan Bapak Suwirjo dan Bapak Muwardi memberi sambutan.” Chairul memecah keharuan.

Jam 09.55 Mohammad Hatta datang dan langsung menemui Bung Karno. Segara Latief memerintah seluruh barisan untuk berdiri dengan sikap sempurna. Kemudian dengan hormat Latief mempersilahkan Bung Karno dan Bung hatta membacakan proklamasi kemerdekaan.

Diawali dengan pidato singkat, Bung Karno lalu membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sesudah itu Bung Karno langsung berteriak “merdeka!” yang langsung disambut peserta lainnya.

S. Suhud dibantu Latief Hendraningrat mengibarkan bendera merah putih. Tanpa ada komando peserta langsung menyanyikan lagu Indonsia Raya mengiringi penaikan bendera.

Saat Walikota Suwirjo memberi kata sambutannya, BM. Diah mendekati Parolan. “Tolong berikan teks ini ke Waidan B Palenewen agar dibacakan.”

Tanpa membuang waktu lagi, Parolan meninggalkan lokasi upacara. Dengan sepedanya ia menuju ke kantor Berita Domei, menemui Kepala Bagian Radio. Segera Parolan menemui Pak Waidan dan menyampaikan teks yang diberikan BM Diah.

“Apa?!” Pak Waidan setengah berteriak. “Kita sudah merdeka?” Segera Pak Waidan menyerahkan teks itu kepada F Wuz untuk diwartakan.

“Kalau saudara tak sibuk, kami mau sedikit mewawancarai kamu seputar peristiwa tadi.”

“Dengan senang hati, Pak.”

“Ikutlah dengan saudara Wuz.”

Baru dua kali F. Wuz menyiarkan berita proklamasi dan belum mewawancarai Parolan, masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah mereka menggedor-gedor pintu agar dibuka.

Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk berkali-kali. Tidak ada reaksi dari dalam ruangan. F. Wuz terus sibuk dengan siarannya, sedangkan Parolan sedikit kebingungan. Pintu kembali digedor. Kali ini lebih kencang. Akhirnya Parolan membuka pintu.

“Emak?!” Teriak Parolan sedikit kaget. “Ngapain mamak di sini?”

“Kau kenapa, Lan?” Tanya ibunya kebingungan sambil menepuk jidat putranya. “Kamu pasti lagi bermimpi. Sudah, cuci muka sana dan tolong antar sayur ke pasar.”

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar