Jumat, 04 Juni 2021

TELAAH ATAS SURAH AL-FURQAN AYAT 55


 

Dan mereka menyembah selain Allah, apa yang tidak memberi manfaat kepada mereka dan tidak (pula) mendatangkan bencana kepada mereka. Orang-orang kafir adalah penolong (setan untuk berbuat durhaka) terhadap Tuhannya. (QS 25: 55)

Pusat spiritualitas umat islam adalah Al-Qur’an. Ia dipercaya sebagai wahyu Allah yang disampaikan langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Kepercayaan ini didasarkan pada perkataan Allah sendiri yang banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Karena Allah itu mahabenar, maka perkataan-Nya, yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah juga benar. Hal inilah yang kemudian membuat Al-Qur’an dikenal sebagai kitab kebenaran. Jika ditanya kepada umat islam kenapa begitu, pastilah mereka menjawab karena itulah yang ditulis dalam Al-Qur’an.

Al-Qur’an tidak hanya dilihat sebagai kitab kebenaran. Karena sumbernya adalah Allah yang mahabenar dan maha sempurna, maka Al-Qur’an juga dipercaya sebagai kitab yang jelas. Ini pun sama jika ditanya kepada umat islam kenapa begitu, pastilah mereka menjawab karena itulah yang tertulis dalam Al-Qur’an.

Berangkat dari dua premis ini, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan berasal dari Allah dan merupakan satu kebenaran. Apa yang tertulis di atas (kecuali yang ada di dalam tanda kurung), semuanya diyakini merupakan kata-kata Allah, yang kemudian ditulis oleh manusia. Seperti itulah kata-kata Allah (sekali lagi minus yang di dalam tanda kurung). Karena surah ini masuk dalam kelompok surah Makkiyyah, maka bisa dipastikan bahwa Allah menyampaikan wahyu ini saat Muhammad ada di Mekkah. Namun sedikit sulit jika mengaitkan dengan Al-Qur’an sebagai kitab yang jelas, karena kutipan di atas tampak belum jelas.

Kutipan wahyu Allah di atas terdiri dari 2 kalimat. Jika kutipan di atas ditelaah dengan menggunakan logika atau akal sehat, maka akan menemukan beberapa hal penting yang menarik untuk direnungkan.

1.    Pada kalimat pertama terdapat 3 kata “mereka” dengan status yang berbeda-beda. Yang pertama sebagai subyek, 2 lainnya sebagai obyek tujuan. Menjadi pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan “mereka” dalam wahyu Allah ini? Apakah “mereka” ini merujuk pada “orang-orang kafir” yang ada pada kalimat kedua? Jika memang demikian, kenapa “orang-orang kafir” ini tidak langsung diletakkan pada awal kalimat pertama sehingga menjadi jelas dan tidak membuat bingung di kemudian hari?

Ataukah kata “mereka” ini merujuk kepada “manusia yang diciptakan dari air” yang ada pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 54? Memang menurut tata bahasa hal ini bisa diterima, karena baik “mereka” maupun “manusia yang diciptakan dari air” sama-sama berbentuk jamak. Akan tetapi, kata atau frase ini sulit untuk disatukan dengan frase “menyembah selain Allah”. Ada kemungkinan kata “mereka” ini merujuk kepada orang kafir yang disebut pada ayat 52. Pendekatan ini sedikit masuk akal karena bisa dikaitkan dengan kalimat kedua dan disatukan dengan frase “menyembah selain Allah”. Bukankah orang kafir itu adalah orang yang menyembah selain Allah?

2.    Anak kalimat pada kalimat pertama cukup unik. Di sana tertulis “apa yang tidak memberi manfaat kepada mereka dan tidak (pula) mendatangkan bencana kepada mereka”. Anak kalimat ini bisa disederhanakan sebagai berikut: “tak untung dan tak juga rugi”. Artinya netral. Ada 2 tafsiran atas situasi tidak untung dan tidak rugi ini. Tafsiran pertama dikaitkan dengan kegiatan menyembah selain Allah. Karena itu, bisa dipahami bahwa aktivitas menyembah selain Allah sama sekali tidak mendatangkan keuntungan dan juga kerugian. Hal ini mirip dengan wahyu Allah lainnya yang terdapat dalam QS an-Nahl: 73.

Tafsiran kedua dikaitkan dengan yang disembah. Artinya, bahwa apa yang disembah selain Allah itu sama sekali tidak mendatangkan keuntungan dan juga kerugian. Hal ini mirip dengan wahyu Allah lainnya yang terdapat dalam QS Yunus: 106. Secara implisit, wahyu ini hendak mengatakan bahwa jika yang disembah itu adalah Allah SWT, maka orang hanya akan mendapatkan manfaat. Orang ini termasuk golongan yang tidak rugi. Kata “rugi” dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan siksa di api neraka.

Yang membuat anak kalimat ini menarik adalah bila ia dikaitkan dengan wahyu-wahyu Allah lainnya yang bersikap negatif terhadap sikap dan perbuatan menyembah selain Allah. Misalnya, dalam QS al-Anam: 56 dikatakan bila menyembah selain Allah maka tidak akan diberi petunjuk; atau dalam QS al-Mukminun: 117 dikatakan bila menyembah selain Allah maka tidak beruntung (alias rugi). Dalam QS al-Baqarah: 5, orang yang mendapat petunjuk adalah orang yang beruntung. Jika kata “rugi” dikaitkan dengan neraka, maka kata “petunjuk” dan “beruntung” dikaitkan dengan surga. Selain itu, ada banyak wahyu Allah yang menyatakan bahwa jika menyembah selain Allah maka akan mendapatkan azab (QS Hud: 26; QS al-Furqan: 42; QS asy-Syuara: 213, dll). Kata “azab” dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan neraka, meski sering juga umat islam mengaitkannya dengan setiap petaka yang menimpa.

3.    Menarik juga bila mencermati kalimat kedua dari wahyu Allah di atas. Jika mengutip wahyu Allah yang asli (minus kalimat dalam tanda kurung), maka kalimatnya bisa dimaknai bahwa orang-orang kafir adalah penolong  terhadap Tuhannya. Tapi bila kalimat dalam tanda kurung, yang merupakan tambahan kemudian yang berasal dari manusia, diikutkan, maka kalimatnya dapat dimaknai bahwa orang-orang kafir adalah penolong setan. Artinya, wahyu Allah yang asli maknanya berbeda dengan wahyu Allah yang tertulis sekarang ini (setelah mendapatkan tambahan).

Untuk makna pertama (wahyu asli) ini, secara implisit hendak dikatakan bahwa Tuhan membutuhkan pertolongan. Pemaknaan seperti ini bukanlah hal yang baru bagi Muhammad. Dalam Al-Qur’an banyak ditemui wahyu Allah yang menunjukkan bahwa ternyata kaum muslim adalah penolong bagi Allah (QS Ali Imran: 52; QS al-Hajj: 40; QS Muhammad: 7 dan QS as-Saff: 14). Memang tak sedikit juga ditegaskan bahwa hanya Allah SWT sajalah yang menjadi penolong bagi umat islam. Jadi, bahwa Allah membutuhkan pertolongan dari umat-Nya bukanlah sesuatu yang memalukan dan merendahkan hakikat Allah yang mahakuat dan perkasa. Pemaknaan seperti inilah yang dihayati umat islam ketika ada penghinaan terhadap islam. Umat islam wajib membela Allah dan agama-Nya.

Untuk makna kedua (setelah mendapatkan tambahan) ini, bisa dikatakan bahwa setan membutuhkan pertolongan dari orang kafir. Pemaknaan seperti ini mirip dengan wahyu Allah dalam QS al-Araf: 202. Menjadi pertanyaan, Apakah setan mengabdi kepada orang kafir? Apakah orang kafir menciptakan setan atau setan yang menjadikan seseorang menjadi kafir? Dalam QS an-Nahl: 101 dikatakan bahwa kekuasaan setan hanya atas orang yang menjadikannya sebagai pemimpin. Jika dimaknai setan membutuhkan pertolongan orang kafir, hal ini sedikit bertentangan dengan wahyu Allah lainnya. Misalnya, dalam QS al-Baqarah: 257 dikatakan bahwa setan justru menjadi pelindung bagi orang kafir, atau dalam QS az-Zukhruf: 36 setan merupakan teman yang senantiasa menyertai orang kafir.

Terkait dengan makna kedua ini, ada hal membingungkan bila dikaitkan dengan tindakan durhaka terhadap Tuhan. Siapa sebenarnya yang berbuat durhaka terhadap Tuhannya: orang-orang kafir atau setan? Sebagai satu kalimat uang utuh, maka bisa dikatakan bahwa yang berbuat durhaka adalah setan dengan bantuan orang kafir. Menjadi pertanyaan, kenapa setan membutuhkan pertolongan manusia untuk berdurhaka kepada Tuhan? Bukankah setan sejak awal adalah kaum durhaka dan musuh Allah?

4.    Persoalan kecil muncul terkait dengan kata “Tuhannya” yang ada pada kalimat kedua. Kata ini hendak menunjukkan ada Tuhan lain selain Allah SWT, dan Tuhan yang lain itu disembah oleh orang kafir, sekalipun aktivitas menyembah itu tidak mendatangkan keuntungan dan juga kerugian (menurut pemahaman Allah SWT). Pemahaman seperti ini membuktikan bahwa islam mengakui keberadaan Allah yang lain, meski tidak diimani dan tidak disembah. Konsep ini sebenarnya belum benar-benar monoteisme, melainkan henoteisme atau lebih tepat disebut monolatri, pengabdian eksklusif kepada Allah SWT, satu-satunya Allah yang diimani dan disembah, yang berbeda dengan allah-allah lain. Dengan perkataan lain, paham monorteisme islam bukanlah monoteisme sejati, karena ternyata islam mengakui pula pelbagai manifestasi Allah lain.

DEMIKIANLAH 4 poin penting hasil penelaahan dengan akal sehat atas wahyu Allah dalam QS al-Furqan: 55 sebagaimana dikutip di atas. Dari 4 poin tersebut didapatkan adanya ketidak-jelasan dan juga pertentangan. Ketidak-jelasan ini seakan hendak membantah wahyu Allah sendiri yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab atau keterangan yang jelas. Ketidak-jelasan dan juga pertentangan hendak menyanggah bahwa Allah itu maha mengetahui dan maha sempurna. Karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa kutipan ayat di atas bukanlah wahyu Allah. Bagaimana mungkin Allah yang mahatahu dan maha sempurna menghasilkan wahyu yang tidak jelas? Jika kutipan ayat di atas bukan wahyu Allah, lantas dari mana kutipan ayat tersebut? Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengutip pernyataan orang-orang kafir (ini khas dalam Al-Qur’an) yang menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan hasil rekayasa Muhammad. Artinya, orang-orang dulu sudah berpikir bahwa apa yang disampaikan atau diwartakan Muhammad adalah karangannya sendiri dengan menganggapnya sebagai wahyu Allah.

Dabo Singkep, 11 Maret 2021

by adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar