Jumat, 21 Mei 2021

TINJAUAN LINGUISTIK ATAS AYAT-AYAT TAUHID


 

Ayat-ayat tauhid ini tersebar dalam kedua kelompok surah Al-Qur’an. Berdasarkan tangkapan mata manusiawi ada sekitar 35 surah yang memuat ayat-ayat tauhid, sebagaimana yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Kelompok Surah

Surah dan Ayat

Surah Makkiyyah

QS 1: 5; QS 6: 19, 102, 106, 151; QS 7: 59, 73, 85, 158; QS 11: 2, 14, 50, 61; QS 12: 39, 40; QS 13: 16, 30, 36; QS 14: 52; QS 16: 2, 22, 51, 74, QS 17: 22, 23, 39; QS 18: 110; QS 20: 8, 14, 98; QS 21: 25, 108; QS 23: 23, 32, 116; QS 26: 213; QS 27: 26; QS 28: 70, 88; QS 37: 4; QS 38: 65; QS 39: 6, 66; QS 40: 3, 62, 65, 66; QS 41: 6; QS 42: 11; QS 44: 8; QS 46: 21; QS 51: 51; QS 72: 20; QS 73: 9; QS 112: 1, 4

Surah Madaniyyah

QS 2: 163, 256; QS 3: 2, 6, 18, 62, 64; QS 4: 36; QS 9: 31, 129; QS 22: 34; QS 47: 19; QS 64: 13;

Pada prinsipnya kata tauhid itu dimaknai sebagai “Allah itu Tuhan Yang Maha Esa, tiada tuhan selain Dia, dan hanya kepada-Nya umat menyembah.” Akan tetapi kalimat ini, sebagai satu kesatuan utuh, akan sulit ditemukan dalam Al-Qur’an. Bahkan bisa dipastikan tidak ada. Dalam Al-Qur’an kata “tauhid” terpecah-pecah dalam beberapa kalimat seperti:

1.    Allah itu esa

2.    Tiada tuhan selain Allah

3.    Hanya Allah yang disembah

Sebelum kita meninjau ayat-ayat tauhid secara linguistik, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa apa yang tertulis dalam Al-Qur’an merupakan kata-kata Allah yang kemudian ditulis oleh manusia. Dengan kata lain, ayat-ayat tauhid yang akan ditinjau nanti merupakan perkataan langsung dari Allah; atau Allah sendiri yang mengucapkannya.

Dalam tinjauan ini kita tidak akan mengulas semua ayat tauhid (79 ayat), melainkan akan dipilih beberapa saja, yang setidak-tidaknya mewakili ketiga kalimat kunci di atas.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS al-Fatihah: 5)

Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (QS al-Baqarah: 163)

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Maha-bijaksana. (QS Ali Imran: 18)

Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (QS Taha: 14)

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (QS al-Anbiya: 25)

Demikianlah 5 kutipan wahyu Allah berisi ajaran tauhid. Sekilas tidak ada yang aneh dengan kelima kutipan di atas. Namun, jika ditelaah dengan tinjauan linguistik, barulah ditemukan keanehan-keanehan.

1.    Kelima kutipan di atas harus dipahami sebagai wahyu langsung dari Allah (kecuali kutipan sumber wahyu). Secara linguistik hanya ada 1 wahyu yang benar menurut tata bahasa, yaitu QS Taha: 14. Jika kita membaca kutipan ini dengan pemahaman bahwa kutipan tersebut adalah perkataan Allah, maka bisa dikatakan bahwa waktu itu Allah berkata, “Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku .....”

Di sini Allah yang sedang berbicara hendak menegaskan bahwa diri-Nya adalah Allah yang harus disembah. Kegiatan shalat yang dilakukan oleh umat islam adalah untuk mengingat Dia. Jadi, tidak ada yang aneh dan salah dengan kutipan wahyu ini.

2.    Keanehan baru ditemui pada kutipan-kutipan wahyu lainnya. Yang langsung dirasakan aneh secara linguistik adalah QS Ali Imran: 18. Jika dipahami bahwa kutipan ini merupakan perkataan Allah, maka bisa dikatakan bahwa waktu itu Allah berkata, “Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia.....” Pertanyaannya, siapa Allah, yang disebut Allah ketika Dia berbicara? Apakah Allah yang disebut itu adalah Allah yang sedang berbicara atau ada Allah yang lain? Jika Allah yang dimaksud itu adalah Allah yang sedang berbicara, kalimatnya menyalahi tata bahasa. Di sini terjadi pendobelan. Seharusnya waktu itu Allah berkata, “Tidak ada tuhan selain Dia.....”, tak perlu lagi mengulang “Allah menyatakan bahwa,”.

Akan tetapi, ini pun tidak menyelesaikan persoalan bila dihubungkan dengan kata “Dia”. Problem ini juga yang dihadapi dengan wahyu Allah kedua, yakni QS al-Baqarah: 163. Penggunaan kata ganti “Dia”, yang bisa ditafsir sebagai Allah (terlihat penggunaan huruf kapital), bisa dimaknai bahwa Allah yang berbicara saat itu sedang menyebut adanya sosok Allah yang lain. Jika memang benar “Dia” ini adalah Allah yang lain, maka kedua wahyu ini, yakni QS Ali Imran: 18 dan QS al-Baqarah: 163, bisa dipahami bahwa Allah yang sedang berbicara BUKANLAH Tuhan, karena “tidak ada tuhan selain Dia”.

3.    Kutipan wahyu Allah dalam QS al-Fatihah: 5 juga terbilang aneh dan lucu. Saat itu Allah berkata, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Dapar dipastikan kata “Engkau” dalam wahyu ini (2 kali disebut) merujuk pada sosok Allah. setidaknya ada 2 alasan, yaitu (1) dalam penulisannya digunakan huruf kapital dan (2) subyek Engkau ini disembah dan dimintai pertolongan. Dalam Al-Qur’an banyak pernyataan bahwa hanya Allah yang disembah dan hanya Allah penolong bagi manusia.

Allah yang berbicara menyebut Allah yang lain dengan sebutan ENGKAU. Secara linguistik, sosok “Engkau” yang disebut dalam wahyu itu berbeda dengan sosok yang sedang berbicara. Jika memang benar bahwa yang berbicara adalah Allah, maka wahyu ini bisa dipahami ada 2 Allah, yaitu Allah yang sedang berbicara dan Allah yang disembah dan dimintai pertolongan. Hal ini tentu berdampak pada iman islam, yang memegang teguh paham tauhid.

Akan tetapi, rasanya yang berbicara bukanlah Allah. Hal ini dapat dimengerti bila mengaitkan dengan kata ganti “kami” dalam wahyu tersebut. Dalam wahyu itu, 2 kali kata ganti “kami” ini disebut. Menurut ilmu tata bahasa, kata ganti “kami” ini bisa merujuk pada sosok yang yang sedang berbicara. Agak aneh dan lucu kalau tetap memaksakan bahwa yang berbicara adalah juga sosok Allah, karena mana mungkin Allah menyembah Allah dan minta pertolongan kepada Allah. Ini ibarat “jeruk makan jeruk”. Akan masuk akal bila yang berbicara adalah manusia; dan manusia itulah yang menyembah dan meminta pertolongan kepada Allah.

4.    Keanehan wahyu Allah dalam QS al-Anbiya: 25 tampak pada penggunaan kata ganti untuk Allah. Dari kutipan wahyu di atas ada 2 kata ganti untuk Allah, yaitu “Kami” dan “Aku”, dimana masing-masing disebut 2 kali. Menurut lunguisti, kata ganti “Kami” dan “Aku” ini merujuk pada sosok yang sedang berbicara. Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah sosok KAMI dan AKU ini merupakan sosok yang sama dan satu? Hal ini menimbulkan problem. Jika  itu merujuk pada sosok yang sama dan satu, kenapa tidak menggunakan 1 kata ganti saja, entah itu “Kami” atau “Aku”. Penggunaan yang berbeda-beda ini akan menimbulkan persepsi bahwa Allah yang sedang berbicara tidak konsisten.

Secara ilmu tata bahasa kata ganti “kami” berbeda dengan kata ganti “aku” meski sama-sama merujuk pada orang yang sedang berbicara, hanya jumlahnya berbeda. Memang keduanya merupakan kata ganti untuk orang pertama, tapi kata “Kami” mempunyai makna jamak, sedangkan kata “Aku” mempunyai makna tunggal. Ada 2 jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu “kami” dan “kita”. Kata ganti “Kami” bersifat eksklusif, karena tidak melibatkan orang yang diajak berbicara, sementara “kita” bersifat inklusif, karena melibatkan orang yang diajak berbicara. Kata “kami” bisa juga bermakna tunggal apabila menunjukkan kehormatan si pembicara.

Berangkat dari penjelasan ini, maka kita dapat mengatakan bahwa penggunaan kata “Kami” dalam kutipan wahyu di atas sama sekali tidak sedang menunjukkan kehormatan si pembicara, karena masih ada penggunaan kata ganti “Aku”. Kata ganti “Aku” memang merujuk pada Allah yang sedang berbicara, namun kata ganti “Kami” menunjukkan adanya Allah yang lain. Jika kita kaitkan dengan ayat 22 dan ayat 23, maka dalam kata “Kami” terkandung “Aku”, yang adalah Allah yang sedang berbicara dan ‘Dia”, yaitu Allah yang mempunyai ‘Arsy.

DEMIKIANLAH tinjauan linguistik atas 5 kutipan ayat tauhid dalam Al-Qur’an. Dari tinjauan ini terlihat jelas keanehan wahyu Allah tersebut. Dari 4 poin tinjauan ini, kita dapat menarik 2 kemungkinan sebagai kesimpulan. Pertama, jika kita tetap menganggap Al-Qur’an sebagai wahyu yang langsung dari Allah, maka kita dapat mengatakan bahwa islam mempunyai DUA Allah. Tentulah kesimpulan bertentangan dengan paham tauhid. Kedua, jika kita tetap berpegang teguh pada konsep tauhid bahwa Allah itu hanya SATU, maka kita dapat mengatakan Al-Qur’an bukan wahyu yang langsung dari Allah. Bukan tidak mustahil tudingan orang-orang jaman Muhammad bahwa Al-Qur’an adalah rekayasa atau karangan Muhammad adalah benar. Tentulah kesimpulan ini juga bertentangan dengan ajaran islam.

Lantas mana yang benar? Silahkan jawab sendiri.

Dabo Singkep, 12 Maret 2021

by: adrian

1 komentar: