Al-Qur’an
diyakini umat islam sebagai wahyu Allah yang disampaikan secara langsung kepada
nabi Muhammad. Apa yang tertulis di dalamnya merupakan perkataan Allah sendiri.
Sekalipun ada umat islam yang percaya bahwa Al-Qur’an turun dalam bentuk satu
kitab utuh, namun tetap harus diakui bahwa wahyu Allah itu tidak turun
sekaligus, melainkan bertahap selama kurun waktu sekitar 23 tahun. Ada dua
tempat turunnya wahyu Allah, yaitu Mekkah dan Madinah. Karena itu, ada dua kelompok
surah dalam Al-Qur’an berdasarkan tempat turunnya wahyu Allah.
Kelompok
pertama dikenal dengan sebutan surah Makkiyyah. Yang dimaksud dengan surah
Makkiyyah adalah wahyu Allah yang turun di Mekkah, saat Muhammad dan
pengikutnya belum melakukan hijrah. Wahyu Allah yang tergolong dalam surah
makkiyyah turun selama kurang lebih 12 tahun sejak Februari 610 M. Ada 87 surah
yang masuk dalam kelompok ini. Kelompok kedua adalah surah Madaniyyah, yaitu
wahyu Allah yang turun di Madinah atau setelah Muhammad hijrah. Ada 27 surah
yang masuk dalam kelompok surah Madaniyyah ini.
Seperti
kitab suci agama lain, Al-Qur’an juga memancarkan wajah Allah SWT. Dari
dalamnya mengalir pandangan-pandangan teologi, baik itu tentang Allah sendiri
maupun hubungan-Nya dengan umat islam. Salah satunya adalah fatalisme atau biasa dikenal juga dengan istilah predestinasi.
Kata dasar fatalisme adalah “fatal”, berasal dari kata fatum (Latin), yang berarti takdir. Fatalisme dimaknai dengan suatu
keyakinan yang percaya bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan ini sudah
ditakdirkan dan tak bisa mengubahnya. Menurut fatalisme manusia tak berdaya
melakukan sesuatu di luar kemampuannya serta tak dapat mempengaruhi masa
depannya.
Secara teologis paham fatalisme menekankan kehendak Allah di atas segala-galanya dan mendahului segala-galanya. Manusia tidak bisa menolaknya; manusia hanya pasrah menerima dan mengikuti kehendak Allah itu sekalipun kehendak Allah itu tidak sesuai dengan keinginan manusia. Hal ini mirip dengan konsep predestinasi. Konsep ini lebih religius, karena melibatkan relasi antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Predestinasi merupakan doktrin yang menyatakan bahwa semua peristiwa di alam semesta telah ditentukan oleh Allah. Sikap yang lahir dari konsep predestinasi atau fatalisme terlihat pada ungkapan-ungkapan seperti “Itu sudah nasib” atau “Itu kehendak Allah”.
Bagaimana doktrin predestinasi dalam agama islam? Adakah
wahyu Allah dalam Al-Qur’an yang mengungkapkan ajaran doktrin ini? Pada tabel
di bawah ini akan dipaparkan sebaran ayat predestinasi atau ayat fatalisme.
Semua kutipan ayat ini merujuk pada Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006. Pertama-tama perlu
diketahui bahwa yang dimaksud dengan “ayat-ayat predestinasi” adalah wahyu Allah yang mengungkapkan pemahaman akan
adanya konsep predestinasi atau fatalisme.
Kelompok
Surah |
Surah
dan Ayat |
Surah Makkiyyah |
QS 6: 111,
125, 128; QS 7: 34, 58;
QS 10: 3, 100, 107; QS 11: 105; QS 13: 38; QS 14: 1,
23, 25, 27; QS 16: 93; QS 20: 109; QS 32: 13; QS 34: 12,
23; QS 35: 8, 32; QS 40: 78; QS 42: 8, 51; QS 45:
12; QS 97: 4 |
Surah Madaniyyah |
QS 2: 97, 102,
251, 253, 255; QS 3: 49, 145, 152,
166; QS 4: 64; QS 5: 16, 41, 110; QS 8: 66; QS 9: 51; QS
22: 65; QS
33: 46; QS 57: 22; QS 58: 10; QS 74: 56; QS 76: 30 |
Dari tabel di atas “ayat-ayat
predestinasi” terdapat pada 27
surah, yang tersebar di kelompok surah Makkiyyah maupun Madaniyyah dengan total ayat seluruhnya berjumlah 47 ayat. “Ayat
predestinasi” terbanyak ada di kelompok surah Makkiyyah dengan rincian: 15
surah dan 26 ayat. Sekilas tampak bahwa perbandingan jumlah “ayat-ayat
predestinasi” dalam kelompok surah Makkiyyah
maupun Madaniyyah tidak terlalu jauh. Hal
ini hendak menunjukkan bahwa pesan predestinasi atau fatalisme sama-sama kuat
di Mekkah dan Madinah.
Jika
membaca “ayat-ayat predestinasi”
dengan akal sehat yang jernih, maka kita dapat menemukan ada 3 konteks waktu terkait dengan konsep predestinasi
atau fatalisme. Ketiga konteks waktu itu adalah masa lampau, maka kini dan masa
depan (akhirat). Masa lampau dipahami ajaran predestinasi atau fatalisme yang
terjadi pada masa sebelum nabi Muhammad. Setidaknya ada 3 kisah yang mengungkapkan
adanya paham predestinasi atau fatalisme, yaitu kisah Daud mengalahkan Jalut,
tentang mukjizat Isa Almasih dan kisah perjalanan Sulaiman. Daud bisa membunuh
Jalut karena izin Allah; jika tak ada izin maka bisa saja Daud yang mati.
Demikian pula mukjizat-mukjizat yang dilakukan Isa Almasih. Semua itu bisa
terjadi dengan seizin Allah; jika tak ada izin maka tidak akan ada mukjizat.
Sulaiman dapat melakukan perjalanan karena bantuan Allah. Semua ini mau
menunjukkan bahwa konsep predestinasi atau fatalisme sudah ada sejak zaman dulu.
Masa kini dipahami dengan situasi saat Muhammad.
Penyampaian ajaran predestinasi atau fatalisme bukan hanya terjadi pada masa
Muhammad, tetapi juga menjawab situasi saat itu. Dapat dikatakan bahwa wahyu
predestinasi atau fatalisme terbilang cukup banyak. Konteksnya juga cukup
beragama. Kutipan 5 ayat berikut ini hendak menampakkan keragaman itu.
Dan apa yang menimpa
kamu ketika terjadi pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu adalah dengan
izin Allah. (QS Ali Imran: 166)
Tidak ada yang dapat
memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. (QS 1Yunus: 3; QS al-Baqarah: 255)
(pohon) itu
menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. (QS Ibrahim: 25)
Sesungguhnya Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia
kehendaki. (QS Fatir: 8)
Setiap bencana yang
menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam
Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. (QS al-Hadid: 22)
Sedangkan konteks
masa depan dimaknai dengan ajaran predestinasi atau fatalisme yang menjelaskan
tentang kehidupan setelah kiamat. Dari “ayat-ayat
predestinasi” terlihat jelas bahwa nasib manusia di akhirat, siapa
yang masuk surga dan siapa yang ke neraka, sudah ditentukan oleh Allah. dengan
dengan izin Allah atau sesuai dengan kehendak Allah saja orang dapat menikmati
kekekalan surga dan neraka.
“Ayat-ayat predestinasi”, apapun konteks waktunya, mau menunjukkan peran Allah
yang berkuasa. Dengan kata lain, konsep predestinasi atau fatalisme dimunculkan
sebagai upaya untuk membela kemahakuasaan Allah di hadapan ciptaan-Nya. Karena
maha kuasa, baik manusia, tumbuhan bahkan alam semesta, tunduk pada kehendak
Allah, karena Dia-lah yang menciptanya. Allah merancangkan segala-galanya dan
membiarkannya begitu saja.
Menjadi pertanyaan,
apakah konsep predestinasi atau fatalisme ada dalam setiap diri orang islam?
Atau dengan bahasa lain, apakah setiap muslim adalah seorang fatalis? Jika
Al-Qur’an diyakini sebagai pedoman, petunjuk dan pelajaran bagi umat muslim,
maka dapatlah dipastikan bahwa kaum islam menghayati kehidupan ini apa adanya
karena sudah ditetapkan oleh Allah. Umat islam akan menerima apa saja yang
terjadi dalam hidupnya, suka atau tidak suka, karena semua itu telah diinginkan
Allah. Setiap orang yang protes atas apa yang terjadi dan berusaha untuk
mencari penjelasan dapat dinilai sebagai orang yang tidak percaya kepada
kehendak Allah. Secara implisit mau dikatakan bahwa mereka meragukan
kemahakuasaan Allah.
Mengutip Catholic Encyclopedia, Daniel Pipes
mengatakan bahwa islam ortodoks yakin bahwa semua tindakan dan peristiwa, entah
itu baik atau jahat, terjadi karena keputusan Allah yang kekal. Sania Hamady menunjukkan
kaitan erat antara keyakinan bangsa Arab yang sangat dipengaruhi oleh
predestinasi dan fatalisme. Sementara Kanan Makiya menyatakan bahwa fatalisme
merupakan karakter budaya islam secara keseluruhan. Banyaknya “ayat-ayat predestinasi” hendak membuktikan adanya paham predestinasi atau
fatalisme dalam diri umat islam.
Akan tetapi tidak
sedikit juga umat islam yang menolak konsep predestinasi atau fatalisme.
Setidaknya ada 2 alasan dasar sikap penolakan itu. Pertama, mereka ingin membela wajah Allah yang mahabaik. Ajaran
predestinasi atau fatalisme menampilkan wajah Allah yang kejam dan tak punya
belas kasihan. Misalnya, menyikapi tragedi kecelakaan pesawat terbang atau
peristiwa matinya sekitar 1.400 jamaah haji di jembatan di Jalan Lintas
Mu’aysim, kaum fatalis mengatakan, “Itu kehendak Allah.” Namun mereka yang
menolak paham predestinasi atau fatalisme melihat wajah Allah yang kejam dan
tak berbelas kasihan. Allah begitu kejam sehingga membunuh ratusan bahkan ribuan
orang, yang sebenarnya bisa saja akibat kesalahan manusia. Kedua, mereka melihat bahwa ajaran predestinasi atau fatalisme
hanyalah kedok para pemimpin islam untuk membenarkan kejahatan yang
dilakukannya. Dalam sejarah islam hal ini sudah terlihat pada dinasti pertama
islam, yaitu Kalifah Umaiyah (661 – 680 M). Mereka menggunakan paham
predestinasi atau fatalisme untuk melemahkan perlawanan masyarakat terhadap
otoritas mereka.
Jika kaum fatalis
mendasarkan sikap mereka pada Al-Qur’an, apakah mereka yang menolak ajaran
predestinasi atau fatalisme mempunyai dasar yang kuat? Al-Qur’an merupakan
wahyu Allah. “Ayat-ayat
predestinasi” adalah perkataan Allah sendiri. Jadi, sikap kaum fatalis
sesuai dengan kehendak Allah. Akan tetapi, sikap penolakan terhadap konsep
predestinasi atau fatalisme ada juga di
dalam Al-Qur’an. Setidaknya ada 4 ayat kontra predestinasi dalam 3 surah
Al-Qur’an. Ketiga surah ini berada dalam kelompok surah Makkiyyah. Keempat ayat
ini hendak menegaskan bahwa Allah tidak bertanggung-jawab atas bencana atau
keadaan yang dialami. Semua yang terjadi adalah ulah manusia sendiri. Manusia
itulah yang menzalimi dirinya sendiri.
Mana yang benar?
Sulit untuk menentukannya karena kedua sikap ini, sikap pro dan kontra,
sama-sama didasarkan pada wahyu Allah. Akan tetapi, dari segi jumlah wahyu
Allah yang mendukung paham predestinasi atau fatalisme jauh lebih banyak
daripada yang menolak. Selain itu, wahyu Allah yang pro jauh lebih kuat
daripada yang kontra. Karena itu pula, sikap umat islam hingga kini terpecah
dalam 2 kelompok ini.
Daniel Pipes, dalam
tulisannya “Apakah Kaum Muslim Fatalis” juga tidak memberikan kesimpulan yang tegas.
Di satu sisi Pipes mengatakan ada kecenderungan ke arah fatalis, namun di sisi
lain ia mengatakan fatalisme tidak membantu menjelaskan kehidupan kaum Muslim. Sikap ambigu Pipes ini disebabkan kerancuan
penilaiannya atas konsep predestinasi atau fatalisme
di satu pihak dan pemahaman pasifisme atau aktivisme di pihak lain. Harus
dipahami bahwa konsep predestinasi atau fatalisme tidak lantas membuat manusia
itu menjadi pasif. Akan tetapi, yang pasti manusia tidak memiliki pilihan,
karena semuanya sudah ditentukan oleh Allah.
Dabo Singkep, 5 Maret 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar