Jumat, 07 Mei 2021

TELAAH ATAS AYAT-AYAT PREDESTINASI DALAM AL-QUR’AN


 

Al-Qur’an diyakini umat islam sebagai wahyu Allah yang disampaikan secara langsung kepada nabi Muhammad. Apa yang tertulis di dalamnya merupakan perkataan Allah sendiri. Sekalipun ada umat islam yang percaya bahwa Al-Qur’an turun dalam bentuk satu kitab utuh, namun tetap harus diakui bahwa wahyu Allah itu tidak turun sekaligus, melainkan bertahap selama kurun waktu sekitar 23 tahun. Ada dua tempat turunnya wahyu Allah, yaitu Mekkah dan Madinah. Karena itu, ada dua kelompok surah dalam Al-Qur’an berdasarkan tempat turunnya wahyu Allah.

Kelompok pertama dikenal dengan sebutan surah Makkiyyah. Yang dimaksud dengan surah Makkiyyah adalah wahyu Allah yang turun di Mekkah, saat Muhammad dan pengikutnya belum melakukan hijrah. Wahyu Allah yang tergolong dalam surah makkiyyah turun selama kurang lebih 12 tahun sejak Februari 610 M. Ada 87 surah yang masuk dalam kelompok ini. Kelompok kedua adalah surah Madaniyyah, yaitu wahyu Allah yang turun di Madinah atau setelah Muhammad hijrah. Ada 27 surah yang masuk dalam kelompok surah Madaniyyah ini.

Seperti kitab suci agama lain, Al-Qur’an juga memancarkan wajah Allah SWT. Dari dalamnya mengalir pandangan-pandangan teologi, baik itu tentang Allah sendiri maupun hubungan-Nya dengan umat islam. Salah satunya adalah fatalisme atau biasa dikenal juga dengan istilah predestinasi. Kata dasar fatalisme adalah “fatal”, berasal dari kata fatum (Latin), yang berarti takdir. Fatalisme dimaknai dengan suatu keyakinan yang percaya bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan ini sudah ditakdirkan dan tak bisa mengubahnya. Menurut fatalisme manusia tak berdaya melakukan sesuatu di luar kemampuannya serta tak dapat mempengaruhi masa depannya.

Secara teologis paham fatalisme menekankan kehendak Allah di atas segala-galanya dan mendahului segala-galanya. Manusia tidak bisa menolaknya; manusia hanya pasrah menerima dan mengikuti kehendak Allah itu sekalipun kehendak Allah itu tidak sesuai dengan keinginan manusia. Hal ini mirip dengan konsep predestinasi. Konsep ini lebih religius, karena melibatkan relasi antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Predestinasi merupakan doktrin yang menyatakan bahwa semua peristiwa di alam semesta telah ditentukan oleh Allah. Sikap yang lahir dari konsep predestinasi atau fatalisme terlihat pada ungkapan-ungkapan seperti “Itu sudah nasib” atau “Itu kehendak Allah”.

Bagaimana doktrin predestinasi dalam agama islam? Adakah wahyu Allah dalam Al-Qur’an yang mengungkapkan ajaran doktrin ini? Pada tabel di bawah ini akan dipaparkan sebaran ayat predestinasi atau ayat fatalisme. Semua kutipan ayat ini merujuk pada Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006. Pertama-tama perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan “ayat-ayat predestinasi adalah wahyu Allah yang mengungkapkan pemahaman akan adanya konsep predestinasi atau fatalisme.

Kelompok Surah

Surah dan Ayat

Surah Makkiyyah

QS 6: 111, 125, 128; QS 7: 34, 58; QS 10: 3, 100, 107; QS 11: 105; QS 13: 38; QS 14: 1, 23, 25, 27; QS 16: 93; QS 20: 109; QS 32: 13; QS 34: 12, 23; QS 35: 8, 32; QS 40: 78; QS 42: 8, 51; QS 45: 12; QS 97: 4

Surah Madaniyyah

QS 2: 97, 102, 251, 253, 255; QS 3: 49, 145, 152, 166; QS 4: 64; QS 5: 16, 41, 110; QS 8: 66; QS 9:  51; QS 22:  65; QS 33: 46; QS 57: 22; QS 58: 10; QS 74: 56; QS 76: 30

Dari tabel di atas “ayat-ayat predestinasi terdapat pada 27 surah, yang tersebar di kelompok surah Makkiyyah maupun Madaniyyah dengan total ayat seluruhnya berjumlah 47 ayat. “Ayat predestinasi” terbanyak ada di kelompok surah Makkiyyah dengan rincian: 15 surah dan 26 ayat. Sekilas tampak bahwa perbandingan jumlah “ayat-ayat predestinasi dalam kelompok surah Makkiyyah maupun Madaniyyah tidak terlalu jauh. Hal ini hendak menunjukkan bahwa pesan predestinasi atau fatalisme sama-sama kuat di Mekkah dan Madinah.

Jika membaca “ayat-ayat predestinasi” dengan akal sehat yang jernih, maka kita dapat menemukan ada 3 konteks waktu terkait dengan konsep predestinasi atau fatalisme. Ketiga konteks waktu itu adalah masa lampau, maka kini dan masa depan (akhirat). Masa lampau dipahami ajaran predestinasi atau fatalisme yang terjadi pada masa sebelum nabi Muhammad. Setidaknya ada 3 kisah yang mengungkapkan adanya paham predestinasi atau fatalisme, yaitu kisah Daud mengalahkan Jalut, tentang mukjizat Isa Almasih dan kisah perjalanan Sulaiman. Daud bisa membunuh Jalut karena izin Allah; jika tak ada izin maka bisa saja Daud yang mati. Demikian pula mukjizat-mukjizat yang dilakukan Isa Almasih. Semua itu bisa terjadi dengan seizin Allah; jika tak ada izin maka tidak akan ada mukjizat. Sulaiman dapat melakukan perjalanan karena bantuan Allah. Semua ini mau menunjukkan bahwa konsep predestinasi atau fatalisme sudah ada sejak zaman dulu.

Masa kini dipahami dengan situasi saat Muhammad. Penyampaian ajaran predestinasi atau fatalisme bukan hanya terjadi pada masa Muhammad, tetapi juga menjawab situasi saat itu. Dapat dikatakan bahwa wahyu predestinasi atau fatalisme terbilang cukup banyak. Konteksnya juga cukup beragama. Kutipan 5 ayat berikut ini hendak menampakkan keragaman itu.

Dan apa yang menimpa kamu ketika terjadi pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu adalah dengan izin Allah. (QS Ali Imran: 166)

Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. (QS 1Yunus: 3; QS al-Baqarah: 255)

(pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. (QS Ibrahim: 25)

Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (QS Fatir: 8)

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. (QS al-Hadid: 22)

Sedangkan konteks masa depan dimaknai dengan ajaran predestinasi atau fatalisme yang menjelaskan tentang kehidupan setelah kiamat. Dari “ayat-ayat predestinasi terlihat jelas bahwa nasib manusia di akhirat, siapa yang masuk surga dan siapa yang ke neraka, sudah ditentukan oleh Allah. dengan dengan izin Allah atau sesuai dengan kehendak Allah saja orang dapat menikmati kekekalan surga dan neraka.

Ayat-ayat predestinasi, apapun konteks waktunya, mau menunjukkan peran Allah yang berkuasa. Dengan kata lain, konsep predestinasi atau fatalisme dimunculkan sebagai upaya untuk membela kemahakuasaan Allah di hadapan ciptaan-Nya. Karena maha kuasa, baik manusia, tumbuhan bahkan alam semesta, tunduk pada kehendak Allah, karena Dia-lah yang menciptanya. Allah merancangkan segala-galanya dan membiarkannya begitu saja.

Menjadi pertanyaan, apakah konsep predestinasi atau fatalisme ada dalam setiap diri orang islam? Atau dengan bahasa lain, apakah setiap muslim adalah seorang fatalis? Jika Al-Qur’an diyakini sebagai pedoman, petunjuk dan pelajaran bagi umat muslim, maka dapatlah dipastikan bahwa kaum islam menghayati kehidupan ini apa adanya karena sudah ditetapkan oleh Allah. Umat islam akan menerima apa saja yang terjadi dalam hidupnya, suka atau tidak suka, karena semua itu telah diinginkan Allah. Setiap orang yang protes atas apa yang terjadi dan berusaha untuk mencari penjelasan dapat dinilai sebagai orang yang tidak percaya kepada kehendak Allah. Secara implisit mau dikatakan bahwa mereka meragukan kemahakuasaan Allah.

Mengutip Catholic Encyclopedia, Daniel Pipes mengatakan bahwa islam ortodoks yakin bahwa semua tindakan dan peristiwa, entah itu baik atau jahat, terjadi karena keputusan Allah yang kekal. Sania Hamady menunjukkan kaitan erat antara keyakinan bangsa Arab yang sangat dipengaruhi oleh predestinasi dan fatalisme. Sementara Kanan Makiya menyatakan bahwa fatalisme merupakan karakter budaya islam secara keseluruhan. Banyaknya ayat-ayat predestinasi hendak membuktikan adanya paham predestinasi atau fatalisme dalam diri umat islam.

Akan tetapi tidak sedikit juga umat islam yang menolak konsep predestinasi atau fatalisme. Setidaknya ada 2 alasan dasar sikap penolakan itu. Pertama, mereka ingin membela wajah Allah yang mahabaik. Ajaran predestinasi atau fatalisme menampilkan wajah Allah yang kejam dan tak punya belas kasihan. Misalnya, menyikapi tragedi kecelakaan pesawat terbang atau peristiwa matinya sekitar 1.400 jamaah haji di jembatan di Jalan Lintas Mu’aysim, kaum fatalis mengatakan, “Itu kehendak Allah.” Namun mereka yang menolak paham predestinasi atau fatalisme melihat wajah Allah yang kejam dan tak berbelas kasihan. Allah begitu kejam sehingga membunuh ratusan bahkan ribuan orang, yang sebenarnya bisa saja akibat kesalahan manusia. Kedua, mereka melihat bahwa ajaran predestinasi atau fatalisme hanyalah kedok para pemimpin islam untuk membenarkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam sejarah islam hal ini sudah terlihat pada dinasti pertama islam, yaitu Kalifah Umaiyah (661 – 680 M). Mereka menggunakan paham predestinasi atau fatalisme untuk melemahkan perlawanan masyarakat terhadap otoritas mereka.

Jika kaum fatalis mendasarkan sikap mereka pada Al-Qur’an, apakah mereka yang menolak ajaran predestinasi atau fatalisme mempunyai dasar yang kuat? Al-Qur’an merupakan wahyu Allah. Ayat-ayat predestinasi adalah perkataan Allah sendiri. Jadi, sikap kaum fatalis sesuai dengan kehendak Allah. Akan tetapi, sikap penolakan terhadap konsep predestinasi atau fatalisme ada juga  di dalam Al-Qur’an. Setidaknya ada 4 ayat kontra predestinasi dalam 3 surah Al-Qur’an. Ketiga surah ini berada dalam kelompok surah Makkiyyah. Keempat ayat ini hendak menegaskan bahwa Allah tidak bertanggung-jawab atas bencana atau keadaan yang dialami. Semua yang terjadi adalah ulah manusia sendiri. Manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri.

Mana yang benar? Sulit untuk menentukannya karena kedua sikap ini, sikap pro dan kontra, sama-sama didasarkan pada wahyu Allah. Akan tetapi, dari segi jumlah wahyu Allah yang mendukung paham predestinasi atau fatalisme jauh lebih banyak daripada yang menolak. Selain itu, wahyu Allah yang pro jauh lebih kuat daripada yang kontra. Karena itu pula, sikap umat islam hingga kini terpecah dalam 2 kelompok ini.

Daniel Pipes, dalam tulisannya “Apakah Kaum Muslim Fatalis” juga tidak memberikan kesimpulan yang tegas. Di satu sisi Pipes mengatakan ada kecenderungan ke arah fatalis, namun di sisi lain ia mengatakan fatalisme tidak membantu menjelaskan kehidupan kaum Muslim. Sikap ambigu Pipes ini disebabkan kerancuan penilaiannya atas konsep predestinasi atau fatalisme di satu pihak dan pemahaman pasifisme atau aktivisme di pihak lain. Harus dipahami bahwa konsep predestinasi atau fatalisme tidak lantas membuat manusia itu menjadi pasif. Akan tetapi, yang pasti manusia tidak memiliki pilihan, karena semuanya sudah ditentukan oleh Allah.

Dabo Singkep, 5 Maret 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar