Rabu, 06 Januari 2021

ANTARA PASTORAL KBG ATAU KELUARGA

 


Pada akhir tahun 2000 atau 2001, kami pernah menulis sebuah artikel di satu majalah gerejawi (BERKAT atau PETRA?). Judul tulisan tersebut adalah “KBG: Keluarga Basis Gerejawi”. Dalam artikel tersebut kami hendak menyatakan bahwa pastoral keluarga harus didahulukan sebelum komunitas (baca KBG). Artinya Gereja harus memberi perhatikan terlebih dahulu kepada penanganan persoalan dalam keluarga sebelum membentuk KBG.

Sekitar 20 tahun berikutnya kami menyadari bahwa apa yang kami utarakan dalam artikel 20 tahun lalu itu sudah ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II pada November 1981 lewat Anjuran Apostoliknya, Familiaris Consortio (FC). Kesadaran ini baru muncul setelah kami membaca FC. Memang sebelumnya kami sudah mendengar tentang anjuran apostolik ini dan juga kutipan-kutipan pentingnya. Namun, sebagai satu kesatuan buku, kami baru membacanya di akhir tahun 2020.

Dalam anjuran apostoliknya tersebut Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa pastoral keluarga, yaitu mendampingi keluarga, “sungguh mendesak.” (no. 65). Karena itulah Bapa Paus menyatakan bahwa di Roma sudah ada Lembaga Tingkat Tinggi untuk mengkaji masalah-masalah keluarga. Paus Yohanes Paulus II menghendaki supaya “para uskup mengusahakan agar sebanyak mungkin imam mengikuti kursus-kursus di situ.” (no. 70). Dalam FC, pendampingan keluarga tidak hanya dikhususkan bagi mereka yang sudah berumah tangga, melainkan juga tindakan awal yang mendahuluinya, yakni pernikahan. Bagi Bapa Paus “pernikahan dan keluarga termasuk nilai-nilai manusiawi yang paling berharga” (no. 1). Karena itu, dibutuhkan reksa pastoral terhadap kedua hal tersebut (no. 66 – 69).

Menjadi pertanyaan, sudahkan Keuskupan Pangkalpinang menjawab harapan Paus itu?

Dapatlah dikatakan bahwa tanpa terlebih dahulu memberi perhatian kepada pastoral keluarga, Keuskupan Pangkalpinang langsung memprioritaskan pastoral komunitas (KBG). Padahal komunitas tersebut terdiri dari keluarga-keluarga. Bagaimana bisa pastoral KBG bisa berjalan jika keluarga-keluarga yang ada di dalamnya dengan berbagai permasalahannya belum ditangani dengan baik? Bagaimana mungkin KBG bisa berfungsi baik bila keluarga-keluarga dengan berbagai macam persoalan belum diberesi?

Tentu akan muncul semacam rasionalisasi bagi mereka pendukung KBG bahwa semua itu bisa dan akan ditangani di dalam KBG. Harus jujur dikatakan bahwa itu ibarat menyapu lantai kotor dengan sapu kotor.

Dalam FC, Paus Yohanes Paulus II merujuk pada dekrit Apostolicam Actuositatem (AA, no 11) menegaskan bahwa keluarga sebagai sel pertama dan vital bagi masyarakat (no. 42). Dan mengutip Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (LG, arti. 11) Paus mengatakan keluarga sebagai gereja rumah tangga.

Pentingnya pastoral keluarga mengatasi KBG bisa dilihat dari dokumen-dokumen gerejawi. Dalam dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II, setidaknya ada Lumen Gentium, Gaudium et Spes, Apostolicam Actuositatem dan Gravissimum Edicationis. Jika melihat rujukan dokumen magisterium yang dipaparkan DR Bernard S. Balun dalam “Komunitas Basis Gerejawi: Dokumen Resmi dan Tinjauan Historis, Teologis dan Pastoral”, kita sama sekali tidak menemukan adanya dokumen dari Konsili Vatikan II. Selain itu tidak ada dokumen magisterium yang secara spesifik mengulas tema KBG, sementara tema keluarga ada banyak, seperti FC, Amoris Laetitia (AL), Evangelium Vitae (EV), Panggilan dan Misi Keluarga dalam Gereja dan dakam Dunia Dewasa Ini, Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan dakam Dunia Zaman Sekarang, Hidup Pasangan Tanpa Nikah, Keluarga dan Hak-hak Asasi, Kerjasama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan Dunia, Surat kepada Keluarga-keluarga dari Paus Yohanes Paulus II, Kedamaian dan Keluarga, dan masih banyak lagi.

Terkait dokumen magisterium yang dikutip DR Bernard S. Balun, setidaknya ada 2 kategori. Pertama, hanya sekedar menyebut frase “komunitas basis”. Ini dapat dilihat dalam FC. Kedua, menjelaskan juga maksud dan tujuan komunitas tersebut. Dibandingkan dengan tema keluarga, jika hanya sekedar menyebut frase “pernikahan dan keluarga” tentulah tak terbilang banyaknya dokumen magisterium. Jauh lebih banyak dari tema KBG. Jika membandingkan dokumen yang dikeluarkan Paus, entah itu ensiklik atau juga eksortasi, maka akan terlihat jelas betapa bobot tema keluarga begitu dominan. Dari buku DR Bernard S. Balun itu dapat ditemui ada 10 dokumen yang dihasilkan oleh Bapa Paus. Tentu harus dijelaskan juga bahwa tak ada satu dokumen pun yang secara khusus membahas tema KBG. Tema ini merupakan bagian kecil dari keseluruhan dokumen. Dari teks referensi 10 dokumen itu, hanya 3 dokumen saja yang sama sekali tidak menyinggung soal keluarga. Namun bukan berarti secara keseluruhan 3 dokumen tersebut sama sekali tidak ada menyebut soal keluarga atau pernikahan. Sementara itu, ada sekitar 12 dokumen dari Bapa Paus yang membahas atau menyinggung soal pernikahan dan keluarga. Selain 7 dokumen yang sama membahas soal KBG, masih ada dokumen lainnya, seperti, AL, Humanae Vitae, EV, Laborem Exercens, dan Humani Generis. Setidaknya FC dan AL merupakan dokumen yang secara khusus membahas soal pernikahan dan keluarga.

Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa pastoral keluarga jauh lebih urgen daripada pastoral KBG. Bukan lantas berarti bahwa pastoral KBG itu tidak penting. Reksa pastoral keluarga harus didahulukan. Namun sayang, Keuskupan Pangkalpinang justru lebih memilih pastoral KBG. Bahkan bisa dikatakan bahwa karena begitu getol dengan pastoral KBG, pastoral keluarga sedikit terabaikan. Hal ini dapat dilihat dari adanya (pastor) paroki yang alergi terhadap lembaga kerasulan keluarga seperti CFC atau ME. Ada imam yang berargumen bahwa keluarga yang bermasalah karena tidak terlibat aktif dalam KBG. Selain itu juga, penanganan kasus-kasus perkawinan lewat jalur tribunal pun tidak berjalan dengan baik.

Karena itu, sudah saatnya keuskupan untuk memikir ulang arah pastoralnya ke depan. Back to basic. Dan basis pastoral itu ada di keluarga. Perubahan arah pastoral ini tidak harus diikuti dengan perubahan visi keuskupan. Visi keuskupan tetap sama. Untuk mewujudkan visi Gereja Partisipatif, pertama-tama harus dimulai dari keluarga. Gerak pertama partisipasi umat ada di dalam keluarga.

Ujung Beting, 30 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar