Selasa, 12 Januari 2021

MEMAHAMI TIGA JENIS HALANGAN NIKAH


Pasangan muda datang ke pastornya menanyakan perihal nasib mereka. Sebelumnya, niat mereka untuk meresmikan perkawinannya ditolak pihak Gereja karena ada halangan usia sipil, yaitu mempelai wanitanya belum genap berusia 19 tahun (mengikuti undang-undang perkawinan yang terbaru). Menghadapi permintaan tersebut, sang imam hanya mengatakan bahwa dirinya akan menulis surat ke Bapa Uskup agar Bapa Uskup memberikan dispensasi sehingga mereka bisa diberkati. Penjelasannya ini didasarkan pada pengalaman masa lalu ketika bertugas di paroki lain. Saat itu ada sepasang, yang juga mempunyai halangan nikah karena usia sipil, menghadap Bapa Uskup, lantas Bapa Uskup memberikan dispensasi.
Sekilas jawaban atau penjelasan imam ini terkesan bijaksana. Akan tetapi, bila ditelaah dengan baik-baik, terdapat kesesatan pikir sehingga berujung pada kesalahan. Bahkan kesalahannya bisa bersifat fatal, karena dia menjerumuskan Bapa Uskup ke dalam kesalahan. Dimana kesesatan pikIr dan kesalahannya?
Dalam Gereja Katolik, perkawinan tunduk pada 3 hukum, yaitu hukum kodrati, hukum Gereja dan hukum sipil. Sekalipun perkawinan adalah hak setiap orang, namun orang juga harus tunduk pada hukum perkawinan. Hanya hukum yang membatasi hak seseorang. Karena ada 3 hukum yang mengatur perkawinan, maka pembatasan hak untuk menikah juga ada 3: ada halangan nikah yang bersifat kodrati, gerejawi dan juga sipil.
Halangan nikah kodrati berlaku bagi semua orang. Sumber utama hukum ini adalah Tuhan. Karena itu, menghapus halangan ini hanya Tuhan atau kodrat saja yang dapat melakukannya. Tidak ada kuasa mana pun yang bisa melakukannya. Halangan gerejawi merupakan halangan atas perkawinan yang dibuat oleh otoritas Gereja dan hanya dikenakan pada anggota Gereja berdasarkan norma hukum. Halangan yang bersifat gerejawi bisa dilonggar atau dihilangkan hanya oleh otoritas Gereja dengan dispensasi. Kuasa sipil tidak boleh mencampurinya. Sedangkan halangan sipil merupakan halangan atas perkawinan yang dibuat oleh negara, dan hanya dikenakan pada warga negaranya. Halangan sipil bisa dilonggar atau dihilangkan hanya oleh otoritas sipil, bukan oleh otoritas Gereja.

Dengan demikian, masing-masing otoritas melaksanakan kewenangannya. Tiap lembaga tidak boleh melampaui kewenangannya dengan mencampuri kewenangan lembaga lain. Semangat yang mau dibangun di sini adalah semangat saling menghormati kewenangan dan tidak mencampur-adukkannya. Semangat ini sejalan dengan sabda Yesus, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Matius 22: 21). Karena itu, halangan sipil harus diserahkan ke sipil untuk menyelesaikannya, dan halangan Gereja harus diberikan ke Gereja untuk menyelesaikannya.
Kembali ke kasus di atas, permasalahan pasangan itu adalah halangan nikah usia sipil. Artinya, halangan yang mereka hadapi adalah halangan yang bersifat sipil. Karena itu, hanya otoritas sipil saja yang berwenang. Bapa Uskup, sebagai otoritas Gereja tidak punya kuasa. Karena itu, pernyataan bahwa pastor itu akan menyampaikan ke Bapa Uskup agar kelak dikeluarkan surat dispensasi merupakan pernyataan yang sesat sekaligus menjerumuskan Bapa Uskup ke dalam kesalahan.
Seharusnya pastor itu menjelaskan kepada pasangan itu bahwa terkait perkawinan Gereja Katolik tunduk pada 3 hukum. Ketiga hukum itu adalah hukum kodrat (ilahi), hukum Gereja dan hukum negara. Gereja tidak bisa memberkati karena mereka terhalang oleh halangan sipil. Maka dari itu, hanya otoritas sipil saja yang berwewenang memutuskan halangan itu atau memberikan kelonggaran dari ikatan. Untuk melakukan hal itu, mereka bisa ke pengadilan. Dengan izin dari pengadilan itulah, Gereja akhirnya baru bisa menikahkan mereka.
Ujung Beting, 9 Juni 2020
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar