Minggu, 03 November 2013

Hukuman Mati = Efek Jera?

Wacana hukuman mati bagi koruptor kembali meruak ketika mantan Ketua MK, Akil Mochtar, tertangkap tangan menerima suap. Banyak orang spontan supaya Akil langsung dihukum mati saja. Kiranya pernyataan banyak orang ini beralasan. Dulu, ketika baru menjabat Ketua MK, menggantikan Mahfud MD, Akil sesumbar untuk menjalankan hukum potong jari dan pemiskinan.

Memang harus diakui bahwa sekalipun korupsi itu sudah termasuk dalam extra ordinary crime, namun korupsi sepertinya sudah menjadi budaya (KOMPAS, 15 Juli 2012). Masyarakat Indonesia sudah pada tingkat muak dan geram dengan tindak korupsi ini. Ada kesan bahwa hukuman mati merupakan cara legal membunuh pelaku korupsi, daripada rakyat mengambil tindakan sendiri yang ujung-ujungnya membunuh juga. Persoalannya, ketika rakyat membuat "pengadilan rakyat" dan membunuh pelaku korupsi, karena rakyat sudah muak dan geram, tentulah rakyat nanti disalahkan. 

Hukuman mati ditempuh untuk menimbulkan efek jera. Akan tetapi, haruskah pelakunya dihukum mati? Apakah efek jera hanya dengan cara hukuman mati?

Jangan Ambil Hidupnya, Hukumlah Fisik dan Psikisnya
Saya pribadi tidak setuju dengan hukuman mati. Terhadap kejahatan apapun, saya tidak mendukung diterapkannya hukuman mati. Orang selalu berkata bahwa dengan hukuman mati akan menimbulkan efek jera. Efek jera ini bukan hanya untuk pelaku tetapi siapa saja yang berpotensi jadi pelaku. Karena jera, maka orang tidak akan melakukan lagi kejahatan korupsi. Jera atau takut itu adalah dimensi psikis. Oleh karena itu, untuk membangkitkan dimensi ini, bagi saya harus dengan yang psikis juga. Fisik juga bisa menimbulkan rasa takut. Hukuman mati berarti kita telah mengambil hidupnya. Oleh karena itu, saya mau mengatakan kepada para pengambil kebijakan, untuk para pelaku kejahatan, termasuk koruptor, hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil nyawanya.

Ada tiga sebab mengapa saya tidak setuju dengan hukuman mati. Pertama, kita hendaknya memberi kesempatan kepada pelaku kejahatan. Tentu ada yang mengatakan bahwa sudah diberi kesempatan kedua tapi tetap saja melakukannya. Bagi saya, hal itu terjadi karena hukumannya tidaklah terlalu berat. Hukuman yang ada terhadap koruptor masih sangat ringan. Malah ada adagium: kalau mau korupsi, jangan tanggung-tanggung. Jangan pakai jt (juta) tapi harus M (miliyar) atau malah T (Triliun).

Oleh karena itu, hukum yang ada sekarang harus diregulasi. Kenapa DPR sibuk mengurusi undang-undang yang membatasi kewenangan KPK, tapi tidak mau menyibukkan diri dengan memperbaiki undang-undang yang berkaitan dengan sanksi kepada pelaku tindak korupsi. Apakah DPR takut jika membuat hukum yang berat bagi koruptor, maka akan kena ke dirinya sendiri. Untuk itu, masalah ini harus diserahkan ke tim independen. Dan untuk itu sangat dibutuhkan kebijakan pemimpin negeri ini.

Di samping itu harus disadari bahwa hidup itu adalah hak Tuhan. Inilah alasan kedua. Kita manusia tidak berhak atas hidup manusia, sekalipun dia telah melakukan kejahatan. Sejahat apapun tindakannya, kita tidak boleh menghilangkan hidup seseorang. Yang dapat kita lakukan adalah mengekang hidupnya dengan sanksi-sanksi, bukan menghilangkan hidupnya.

Karena jika ternyata dalam perjalanan waktu terbukti bahwa terhukum tidak bersalah, kita masih bisa merehabilitasi nama baiknya. Namun jika dihukum mati, tentulah kita tak akan bisa mengembalikan hidupnya. Ada banyak kasus terpidana yang dihukum mati, tapi dikemudian hari terbukti tidak bersalah.

Alasan ketiga, hukuman mati tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Pelaku korupsi hanya dihukum mati. Harta kekayaan yang dikorupsinya tetap dinikmati oleh anak cucunya, dan rakyat tetaplah menderita. Karena itu, saya lebih cenderung menerapkan sanksi hukum yang sangat berat yang menimbulkan rasa takut dan mendatangkan manfaat bagi rakyat.

Hukuman 3 in 1: Sebuah Solusi
Tidak adanya rasa takut dan malu dalam diri koruptor ini disebabkan karena hukum yang dikenakan kepada mereka masih terbilang amat sangat ringan, malah menyenangkan. Selama ini kita sering saksikan bahwa para pelaku korupsi mendapatkan vonis hukuman yang ringan. Selain hukumannya yang ringan, mereka juga mendapat perlakuan-perlakuan khusus selama di penjara (misalnya kasus Atalyta Suryani) serta hak istimewa seperti remisi (misalnya kasus Aulia Pohan) atau keluar dari tahanan tanpa pengawalan. Belum ada para koruptor yang mendapatkan sanksi hukum yang berat.

Beratnya hukuman itu bukan hanya dilihat dari lamanya waktu atau masa tahanan. Hukuman yang berat itu bukan cuma menyentuh fisiknya melainkan juga psikis, karena efek jera itu berkaitan dengan masalah psikologi.

Seperti apa hukuman berat itu?

Saya memberikan satu jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Ketiga tindakan harus menjadi satu kesatuan. Istilahnya three in one law. Setiap pelaku tindak korupsi yang sudah divonis bersalah oleh hakim, wajib dikenakan tiga sanksi ini dalam satu waktu.

Tindakan pertama adalah hukuman kurungan. Hukuman penjara kepada para koruptor ini haruslah lama, minimal 55 tahun dan maksimal 85 tahun. Boleh saja dia mendapat remisi setiap tahun, karena remisi itu adalah hak setiap tahanan. Hak istimewa para tahanan korupsi hanyalah remisi dan grasi. Mereka tidak diperkenankan mendapat fasilitas mewah di penjara atau kemudahan keluar dari tahanan.

Tindakan kedua adalah penyitaan dan ganti rugi. Saya pernah ke kawasan Glodok, tempat penjualan CD dan DVD, yang katanya bajakan. Di setiap sudut ada tertulis, “Barangsiapa ketahuan mencuri, akan didenda 1000 kali lipat.” Tentu patokannya adalah harga satu DVD, yang rata-rata Rp. 5000. Dan aneh, menurut pengakuan para petugas di sana, belum pernah mereka mengalami kasus pencurian. Mengapa? Karena orang pada takut. Bayangkan, hanya karena Rp. 5000, kita bisa didenda Rp. 5 juta.

Demikian pula dengan para pelaku korupsi. Kepada mereka harus kekenakan sanksi denda atau ganti rugi sebesar, misalnya 500 kali lipat dari nilai nominal yang mereka korupsi. Jadi, misalnya mereka terbukti melakukan korupsi sebesar 1 miliyar, maka mereka harus dikenakan denda 500 miliyar. Selain itu, harta milik mereka harus juga disita. Yang disita adalah rumah, kendaraan dan tanah atau benda lainnya yang terbukti didapat dari hasil korupsi.

Saya tidak setuju bila para pelaku korupsi yang sudah menerima hukuman berat ini harus dipecat dari jabatannya. Biarlah mereka tetap bekerja di tempat semula. Karena dengan hukuman ini mereka tidak akan mengulangi lagi kesalahannya. Di samping itu tunjangan dari tempat kerjanya bisa menjadi modal hidup istri dan anaknya.

Tindakan ketiga adalah kerja sosial. Dengan mengenakan pakaian khusus yang mencolok (misalnya baju belang-belang) para tahanan pelaku korupsi ini diwajibkan untuk kerja sosial dengan membersihkan got atau selokan, membersihkan pasar atau bantaran kali. Mereka juga bisa diminta untuk kerja sosial lainnya yang berguna bagi kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak tempat di negeri ini yang perlu dijalankan program penghijauan. Nah, manfaatkanlah orang-orang ini untuk menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena pohon yang ditanam membutuhkan waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini juga yang bertugas memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.

Dengan adanya sanksi sosial ini, para pelaku kejahatan luar biasa ini bukan saja mendapat efek jera dan tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi sosial mereka. Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah masyarakat, sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan korupsi. Kehadiran mereka dengan pakaian khusus akan menjadi alarm bagi warga: “kamu pun bisa begini jika kamu korupsi!” Jadi, sanksi kerja sosial ini bisa menjadi sarana pencegahan korupsi.

Penutup
Demikianlah pemikiran saya menanggapi wacana hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Intinya saya tidak setuju dengan hukuman mati itu. Dari beberapa tulisan seputar wacana ini saya lihat bahwa sebenarnya para pemerhati itu tahu bahwa hukum kita bermasalah. Hukum bagi koruptor masih sangat ringan. Nah, kenapa tidak hukumnya saja yang dibenahi.

Jika ingin membenahi, maka mungkin solusi saya soal 3 in 1 law bisa menjadi bahan pertimbangan. Solusi yang saya berikan di atas itu berangkat dari dua pemikiran, pertama, hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil hidupnya; dan kedua, hukuman bukan hanya jera melainkan bermanfaat bagi orang lain.

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar