Sabtu, 29 November 2014

Hukum Mati adalah Efek Jera: Logika yang Sesat


Masalah hukuman mati kembali mencuat setelah MA menganulir hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba. Pro kontra pada penerapan hukuman mati pun merebak di media-media dan forum-forum diskusi. Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati. Hukuman mati dalam undang-undang hanya dikenakan kepada terpidana kasus narkoba dan kasus kejahatan kemanusiaan, seperti teroris. Penerapan hukuman mati buat terpidana korupsi juga sedang dalam pembahasan beberapa ormas.

Mereka yang menentang hukuman mati mendasarkan alasannya pada aspek hak asasi manusia (HAM), sementara mereka yang mendukung diterapkannya hukuman mati didasarkan pada asalan efek jera. Mereka yang mendukung melihat bahwa dengan efek jera yang ditimbulkan oleh hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan, atau malah menghilangkannya.

Akan tetapi, haruskah pelakunya dihukum mati? Apakah efek jera hanya dengan cara hukuman mati?

Logika Sesat
Seorang mantan hakim yang pernah menjatuhkan hukuman mati, dalam wawancara dengan Metro TV pagi (11/10/12), mengungkapkan alasan sederhananya bahwa rakyat mendukung. Ia mengambil contoh, ketika terhadap kejahatan berat dijatuhi hukuman bebas, maka rakyat akan marah; namun ketika dijatuhi hukuman mati maka rakyat diam saja. Diamnya rakyat dinilai sebagai bentuk persetujuan pada putusan tersebut.

Saya melihat ini merupakan suatu kesesatan berpikir. Pertama, mantan hakim ini mengambil contoh hitam putih sehingga tidak memberi peluang pada warna lain. Ia hanya memberi putusan antara bebas dan hukuman mati, tanpa memberi kesempatan pada pilihan lain. Sehingga kalau tidak A, maka Z. Padahal antara A dan Z masih ada banyak pilihan. Antara putusan bebas dan hukuman mati, masih ada banyak hukuman lain, mulai dari ringan, agak ringan, agak berat, berat, sangat berat sampai pada hukuman seumur hidup.

Sebuah ironisme ditampilkan pada siang harinya di Metro TV. Salah satu berita yang ditampilkan adalah peristiwa pengadilan terhadap kasus cabut rumput. Dalam sidang itu hakim akhirnya memberikan putusan bebas bagi terdakwa. Reaksi pengunjung dalam sidang itu adalah senang dan gembira. Saya yakin, jika seandainya terdakwa divonis hukuman mati (jangankan hukuman mati, hukuman ringan pun) pasti hakim akan menuai amarah dan protes.

Kedua, sekalipun hukum itu harus menyentuh rasa keadilan rakyat, namun suara hati tetap harus dijunjung tinggi. Diamnya rakyat terhadap putusan hukuman mati belum tentu berarti bahwa putusan itu sudah menjawab rasa keadilan rakyat. Harus bisa dibedakan antara rasa adil dan rasa puas. Kebanyakan orang baru merasa puas jika keinginannya terpenuhi. Orang masih hidup dalam jaman jahiliyah: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Jadi, bila ada keluarga saya mati, maka pelakunya juga harus mati. Di situlah saya baru puas; dan kepuasan inilah yang dikatakan keadilan.

Memang hukum harus berpihak pada rasa keadilan rakyat. Namun hakim adalah penengah. Ia tidak memihak pada rakyat dan juga terhukum. Oleh karena itulah hakim selalu disimbolkan dengan dewi keadilan yang matanya tertutup. Dia memutuskan perkara dengan mendengarkan suara hatinya.

Orang sering mengatakan bahwa hukuman mati dapat menimbulkan efek jera. Sampai saat ini belum terbukti korelasinya. Negara China yang selalu menjadi rujukan pun tidak dapat membuktikan korelasi antara hukuman mati dan efek jera. Malahan di negara-negara yang tidak ada hukuman mati justru tingkat kejahatannya minim.

Ada kesesatan dalam logika bahwa hukuman mati berdampak pada efek jera. Efek jera siapa yang mau dibangkitkan dengan hukuman mati? Sanksi hukum yang diberikan kepada terhukum memang harus memiliki efek jera agar terhukum tidak mengulangi lagi kejahatan. Jadi efek jera itu tertuju kepada terhukum. Nah, jika terhukumnya diberi hukuman mati, bagaimana bisa muncul efek jera karena yang bersangkutan sudah mati. Dengan hukuman mati terhukum sama sekali tidak diberi kesempatan untuk jera atau tobat. Dengan hukuman mati berarti si terhukum bukan hanya tidak mengulangi kejahatannya, melainkan sama sekali tidak pernah lagi melakukan kejahatan lainnya.

Kesesatan lain lagi adalah soal lemahnya sistem hukum dan penjara kita. Lemahnya dua hal ini menyebabkan pelaku kejahatan masih bisa menjalankan bisnisnya dari dalam penjara. Sehingga dengan demikian dapat terlihat bahwa kejahatan masih marak, malah bertambah. Hukum tidak menimbulkan efek jera; itulah kesimpulannya. Jelas sekali kesimpulan ini sesat. Yang salah adalah sistem hukum dan penjaranya. Oleh karena itu, dua hal itulah yang harus ditangani, bukan melimpahkannya kepada pelaku kejahatan.

Tolak Hukuman Mati
Saya pribadi tidak setuju dengan hukuman mati. Terhadap kejahatan apapun, saya tidak mendukung diterapkannya hukuman mati. Orang selalu berkata bahwa dengan hukuman mati akan menimbulkan efek jera. Karena jera, maka orang tidak akan melakukan lagi kejahatan. Efek jera berdampak pada kurangnya tingkat kejahatan dalam masyarakat.

Jera bisa dimengerti dengan istilah takut. Jera atau takut merupakan dimensi psikis. Oleh karena itu, untuk membangkitkan dimensi ini, orang harus disentuh aspek psikisnya. Sentuhan fisik juga bisa menimbulkan rasa takut atau jera. Misalnya, ketika anak di rumah berbuat salah dan oleh orang tuanya dipukul atau dijewer telinganya. Peristiwa ini membuat anak takut untuk melakukan kesalahan yang sama.

Hukuman mati berarti kita telah mengambil hidupnya. Orang tidak pernah lagi merasakan efek jera tersebut. Oleh karena itu, saya mau mengatakan kepada para pengambil kebijakan, untuk para pelaku kejahatan, termasuk koruptor, hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil nyawanya.

Ada tiga sebab mengapa saya tidak setuju dengan hukuman mati. Pertama, kita hendaknya memberi kesempatan kepada pelaku kejahatan. Tentu ada yang mengatakan bahwa sudah diberi kesempatan kedua tapi tetap saja melakukannya. Bagi saya, hal itu terjadi karena hukumannya tidaklah terlalu berat. Hukuman yang ada masih sangat ringan.

Di samping itu harus disadari bahwa hidup itu adalah hak Tuhan. Inilah alasan kedua. Kita manusia tidak berhak atas hidup manusia, sekalipun dia telah melakukan kejahatan. Sejahat apapun tindakannya, kita tidak boleh menghilangkan hidup seseorang. Yang dapat kita lakukan adalah mengekang hidupnya dengan sanksi-sanksi, bukan menghilangkan hidupnya.

Karena jika ternyata dalam perjalanan waktu terbukti bahwa terhukum tidak bersalah, kita masih bisa merehabilitasi nama baiknya. Namun jika dihukum mati, tentulah kita tak akan bisa mengembalikan hidupnya. Ada banyak kasus terpidana yang dihukum mati, tapi dikemudian hari terbukti tidak bersalah.

Alasan ketiga, hukuman mati tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat, kecuali rasa puas. Ada bahaya jika penegak hukum bertindak hanya untuk memuaskan keinginan rakyat. Hal ini dapat menjerumuskan bangsa kita menjadi bangsa biadab. Karena itu, saya lebih cenderung menerapkan sanksi hukum yang sangat berat yang menimbulkan rasa takut dan mendatangkan manfaat bagi rakyat.

3 in 1: Sebuah Solusi
Tidak adanya rasa takut dan malu dalam diri koruptor ini disebabkan karena hukum yang dikenakan kepada mereka masih terbilang amat sangat ringan, malah menyenangkan. Selama ini kita sering saksikan bahwa para pelaku kasus korupsi dan narkoba mendapatkan vonis hukuman yang ringan. Selain hukumannya yang ringan, mereka juga mendapat perlakuan-perlakuan khusus selama di penjara (misalnya kasus Atalyta Suryani) serta hak istimewa seperti remisi (misalnya kasus Aulia Pohan) atau keluar dari tahanan tanpa pengawalan. Malah para penjahat narkoba masih bisa menjalani bisnisnya dari dalam penjara.

Beratnya hukuman itu bukan hanya dilihat dari lamanya waktu atau masa tahanan. Hukuman yang berat itu bukan cuma menyentuh fisiknya melainkan juga psikis, karena efek jera itu berkaitan dengan masalah psikologi.

Seperti apa hukuman berat itu?

Saya memberikan satu jenis hukuman dengan tiga tindakan yang berbeda. Ketiga tindakan harus menjadi satu kesatuan. Istilahnya three in one law. Setiap pelaku tindak kejahatan yang sudah divonis bersalah oleh hakim, wajib dikenakan tiga sanksi ini dalam satu waktu.

Tindakan pertama adalah hukuman kurungan. Hukuman penjara kepada para koruptor kelas kakap dan juga para gembong narkoba haruslah lama, minimal 100 tahun dan maksimal 250 tahun. Boleh saja dia mendapat remisi setiap tahun, karena remisi itu adalah hak setiap tahanan, akan tetapi remisi itu tak lebih dari 2 bulan. Hak istimewa para tahanan korupsi hanyalah remisi dan grasi. Mereka tidak diperkenankan mendapat fasilitas mewah di penjara atau kemudahan keluar dari tahanan. Untuk para teroris atau pembunuhan berencana, mereka harus diberi sanksi minimal 150 tahun dan maksimal seumur hidup.

Tindakan kedua adalah penyitaan dan ganti rugi. Saya pernah ke kawasan Glodok, tempat penjualan CD dan DVD, yang katanya bajakan. Di setiap sudut ada tertulis, “Barangsiapa ketahuan mencuri, akan didenda 1000 kali lipat.” Tentu patokannya adalah harga satu DVD, yang rata-rata Rp. 5000. Dan aneh, menurut pengakuan para petugas di sana, belum pernah mereka mengalami kasus pencurian. Mengapa? Karena orang pada takut. Bayangkan, hanya karena Rp. 5000, kita bisa didenda Rp. 5 juta.

Demikian pula dengan para pelaku korupsi. Kepada mereka harus kekenakan sanksi denda atau ganti rugi sebesar, misalnya 500 kali lipat dari nilai nominal yang mereka korupsi. Jadi, misalnya mereka terbukti melakukan korupsi sebesar 1 miliyar, maka mereka harus dikenakan denda 500 miliyar. Selain itu, harta milik mereka harus juga disita. Yang disita adalah rumah, kendaraan dan tanah atau benda lainnya yang terbukti didapat dari hasil korupsi. Untuk kasus kejahatan narkoba denda 500 kali lipat dari nilai nominal barang yang disita. Misalnya, seseorang membawa 1 kg pil ekstasi dengan nilai jual 2 miliyar, maka dendanya adalah 1 triliun.

Tindakan ketiga adalah kerja sosial. Dengan mengenakan pakaian khusus yang mencolok (misalnya baju belang-belang) para tahanan pelaku korupsi ini diwajibkan untuk kerja sosial dengan membersihkan got atau selokan, membersihkan pasar atau bantaran kali. Mereka juga bisa diminta untuk kerja sosial lainnya yang berguna bagi kepentingan bersama. Misalnya, ada banyak tempat di negeri ini yang perlu dijalankan program penghijauan. Nah, manfaatkanlah orang-orang ini untuk menanam pohon-pohon di lahan kering. Karena pohon yang ditanam membutuhkan waktu untuk perhatian, maka para tahanan ini juga yang bertugas memperhatikannya sampai pohon itu tumbuh besar.

Dengan adanya sanksi sosial ini, para pelaku kejahatan luar biasa ini bukan saja mendapat efek jera dan tobat, melainkan warga masyarakat mendapat manfaat dari aksi sosial mereka. Dengan menghadirkan para koruptor dalam kerja sosial di tengah masyarakat, sekaligus juga menyadarkan masyarakat akan efek tindakan kejahatan. Kehadiran mereka dengan pakaian khusus akan menjadi alarm bagi warga: “kamu pun bisa begini!” Jadi, sanksi kerja sosial ini bisa menjadi sarana pencegahan.

Penutup
Demikianlah pemikiran saya menanggapi wacana hukuman mati. Intinya saya tidak setuju dengan hukuman mati itu. Dari beberapa tulisan seputar wacana ini saya lihat bahwa sebenarnya para pemerhati dan pejabat pemerintah tahu bahwa sistem hukum dan penjara kita bermasalah. Nah, kenapa tidak sistem hukum dan penjaranya saja yang dibenahi. Kenapa kesalahan pada “pihak” lain ditimpakan pada pelaku kejahatan?

Jika ingin membenahi, maka mungkin solusi saya soal 3 in 1 law bisa menjadi bahan pertimbangan. Solusi yang saya berikan di atas itu berangkat dari dua pemikiran, pertama, hukumlah fisik dan psikisnya, jangan ambil hidupnya; dan kedua, hukuman bukan hanya jera melainkan bermanfaat bagi orang lain.

Semoga tulisan ini menjadi bahan pertimbangan pemerintah serta siapa saja yang berkepentingan dalam masalah ini.
Tanjung Balai Karimun, 11 Oktober 2012
by: adrian
Baca juga:
3.      Mati Rasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar