PERTANYAAN KECIL BUAT HIKMAHANTO JUWANA
Topik diskusi hangat
beberapa hari belakangan ini, selain kasus calon Kapolri, adalah soal hukuman
mati. Hari Minggu lalu (18/01/15) enam terpidana mati terkait kejahatan narkoba
menjalani eksekusi mati. Kecaman pun bermunculan, bukan saja dari dalam negeri
tetapi juga dari luar negari. Dua negara sahabat menarik duta besarnya. Dua negara
itu adalah Brasil dan Belanda.
Untuk meramaikan diskusi ini, Hikmahanto Juwana menurunkan tulisannya di Harian Kompas dengan judul “Narkoba dan Hukuman Mati” (Senin, 19/01). Harus diakui bahwa tulisan Juwana memang sangat bagus dan menarik. Di sana Juwana mencoba menjelaskan mengapa akhirnya pemerintah Indonesia memilih jalan hukuman mati, dan memahami sikap dua negara yang menarik duta besarnya. Dari seluruh tulisannya itu, terlihat jelas kalau Juwana mendukung hukuman mati.
Kami tidak mau masuk ke dalam diskusi pro kontra masalah hukuman mati. Akan tetapi, tulisan Prof. Juwana tersebut, bagi kami, masih menyisahkan tanda tanya. Ada beberapa pertanyaan yang terbuka untuk didiskusikan.
Pertama, Juwana menyatakan bahwa hukuman mati diberlakukan karena rakyat Indonesia sudah geram dan marah dengan masalah narkoba. Menjadi pertanyaan, apakah kemarahan itu menjadi landasan untuk melegalkan hukuman mati? Ini bisa menjadi preseden buruk, karena jika masyarakat sudah sampai pada titik geram dan marah, maka menjadi sah untuk menjatuhi hukuman mati. Inilah yang terjadi dengan aksi membakar pencopet atau penjabret.
Kita mungkin pernah dengar seorang pencopet yang kedapatan dibakar oleh massa. Bisa dikatakan bahwa massa sudah muak dengan aksi mereka itu. Kemuakan itu disebabkan karena aparat hukum tidak bisa lagi menindak mereka. Beda antara tindakan ini dengan hukuman mati di atas adalah hukuman mati di atas dilegalkan oleh hukum dengan kasus pencopet ini tidak. Namun keduanya didasari pada hal yang sama, yaitu kemarahan masyarakat.
Dapat dibayangkan bagaimana kalau masyarakat bertindak demikian. Hal inilah yang menjadi pertanyaan kedua, yaitu soal peradaban. Juwana mengatakan bahwa penerapan hukuman mati sama sekali tidak terkait dengan tingkat peradaban suatu masyarakat. Salah satu tanda masyarakat beradab adalah pengendalian amarah. Sekalipun marah, ia tetap tidak akan melakukan tindakan-tindakan biadab. Jika kegeraman dan kemarahan selalu diikuti dengan hukuman mati, baik legal atau tidak, rusaklah suatu masyarakat.
Kami melihat bahwa
sebenarnya penerapan hukuman mati ini terjadi karena pemerintah tidak bisa lagi
mengendalikan laju pertumbuhan korban narkoba. Sekalipun pengedar dan bandar
sudah ditangkap, namun tetap saja narkoba tumbuh subur. Orang masih bisa
mengendalikan peredaran narkoba dari balik penjara.
Perlu diketahui, peredaran narkoba bisa tumbuh subur bukan saja karena ada pengedar dan konsumen, tetapi juga karena ada beking dari aparat. Aparat di sini mulai dari polisi dan sipir lapas hingga hakim dan jaksa. Ketidakmampuan pemerintah menindak tegas aparatnya, membuat pemerintah mengambil jalan pintas memberlakukan hukuman mati bagi pengedar dan bandar. Belum pernah terdengar tindak tegas dari pemerintah terhadap aparat hukum.
Ketiga, terkait dengan peradaban tadi, Juwana mengambil contoh beberapa negara untuk membela keputusan hukuman mati. Misalnya, sejumlah negara bagian di Amerika Serikat. Di sini terkesan bahwa Juwana ingin membela diri. Toh, negara lain masih ada koq yang menerapkan hukuman mati. Apakah jika semua negara Eropa memberlakukan hukuman mati, dan kita mengikutinya, maka kita dikatakan negara beradab? Peradaban sama sekali tidak ada kaitan dengan suatu negara. Peradaban ditentukan dari perilaku masyarakatnya yang beradab.
Keempat,
berkaitan dengan kecaman terhadap hukuman mati ini, Juwana mencurigai agenda
terselubung penyebaran moral tertentu. Juwana mencontohkan negara-negara yang
tergabung dalam Uni Eropa. Umumnya Eropa selalu diidentikkan dengan kristen. Karena
itu, pernyataan Juwana ini bisa ditarik kepada dikotomi Barat, yang adalah
kristen, dengan Indonesia yang mayoritas islam. Bukan tidak mungkin ada pembaca
yang menarik kesimpulan bahwa kecaman negara-negara Uni Eropa terhadap
penerapan hukuman mati karena mereka mau menyebarkan ajaran moral kristiani.
Menurut kami dasar moral penolakan hukuman mati adalah bahwa hidup mati seseorang itu ada di tangan Tuhan. Dasar moral ini berlaku bagi negara manapun dan agama manapun sejauh masih percaya kepada Tuhan. Jika hidup mati ada di tangan Tuhan, maka manusia manapun tidak boleh mendahuluinya. Membunuh, entah itu legal atau tidak, sudah melanggar Hak Tuhan. Karena itu, dengan menerapkan hukuman mati, kita sudah mendahului kewenangan Tuhan.
Harus diakui bahwa Indonesia, sekalipun merupakan negara hukum, adalah agamis. Penduduknya memiliki kepercayaan kepada Tuhan. Sila pertama dari dasar negara, Pancasila, berbunyi Ketuhanan yang mahaesa. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia mengakui Tuhan. Dan kalau mengakui Tuhan, tentulah meyakini bahwa Tuhan berwenang atas mati-hidup manusia. Karena itu, seharusnya Indonesia tidak memberlakukan hukuman mati. Dasar moral penolakan hukuman mati sudah ada dalam bangsa kita, bukan kita impor dari negara Eropa atau ajaran kristiani.
Demikianlah empat pertanyaan menjadi catatan kecil atas tulisan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Kami menyadari bahwa di balik penerapan hukuman mati ini pemerintah hendak menanamkan efek jera bagi bandar dan pengedar narkoba. Akan tetapi, haruskah efek jera itu ditempuh dengan hukuman mati?
Kami menilai bahwa laju
perkembangan bisnis narkoba bisa ditahan atau dikurangi dengan menjatuhkan
hukuman yang berat. Sanksi berat tidak harus dengan hukuman mati. Di samping
itu pemerintah juga harus menerapkan hukum yang tegas bukan saja kepada bandar
dan pengedar, tetapi juga kepada aparat hukum. Aparat hukum musti diawasi
dengan baik, agar mereka tidak menjadi antek narkoba.
Batam, 20 Januari
2015
by: adrian
Baca
juga artikel lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar