Jumat, 11 Oktober 2019

UU PERKAWINAN DALAM TERANG KITAB HUKUM KANONIK DAN IMPLIKASINYA BAGI PASTORAL PERKAWINAN

Undang-Undang Republik Indonesia no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan upaya unifikasi dari sekian banyak peraturan atau undang-undang perkawinan sebelumnya. Undang-undang ini adalah sarana negara untuk menjaga tata tertib (keamanan) di ruang publik sekaligus memberikan kepastian hukum bagi warga negara. Karena itu, undang-undang ini mengikat seluruh warga Indonesia.
Karena mengingat setiap orang Indonesia, maka umat katolik juga terikat padanya. Jadi, secara hukum, orang Indonesia yang beragama katolik terikat pada 3 hukum, yaitu hukum ilahi, hukum Gereja dan hukum sipil (negara). Apa saja implikasi pastoral perkawinan terkait undang-undang perkawinan ini? Untuk mengetahui isi undang-undang perkawinan, silahkan klik di sini.
1.    Sifat Monogami Perkawinan
Dari definisi perkawinan (pasal 1) tersirat sifat monogami perkawinan, yaitu bahwa perkawinan terjadi antara “seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri”. Hal ini ditegaskan dalam pasal 3 (1): “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.” Dengan demikian, sebenarnya negara mengakui sifat monogami perkawinan sebagaimana yang diajarkan Gereja Katolik.

Akan tetapi, seperti yang sudah diketahui umum, setiap produk hukum selalu tak lepas dari kepentingan, apalagi bila menyangkut banyak pihak. Demikian pula halnya dengan undang-undang perkawinan ini. Untuk mengakomodir ajaran dan kebutuhan umat islam islam yang menerima sifat perkawinan yang poligami, maka ayat (2) dari pasal 3 memberi izin bagi suami untuk beristri lebih dari satu. Namun, pada asasnya perkawinan itu adalah monogami. Frase ‘pada asasnya’ ini senada dengan kata-kata Yesus “sejak semula” (Mat 19: 4, 8) atau “pada awal dunia” (Mrk 10: 6) tentang sifat tak-terceraikannya perkawinan.
2.    Syarat Perkawinan
Pada pasal 6 terdapat dua syarat perkawinan yang diakui oleh negara. Yang pertama adalah lahir dari persetujuan kedua calon mempelai (ayat 1). Hal ini sejalan dengan tuntutan Perkawinan Katolik, yaitu bebas dari paksaan dan ancaman (Kan. 1103), serta bebas dari tipu muslihat (Kan. 1098) dan bukan karena penculikan (Kan. 1089). Hal ini penting agar tribunal, ketika memproses anulasi perkawinan dengan caput paksaan/ancaman, penculikan dan tipu muslihat, memiliki pendasaran dalam menghadapi gugatan balik dari sipil. Ketiga caput tersebut dapat dijadikan dasar untuk pengajuan pembatalan perkawinan yang diatur dalam pasal 22 undang-undang perkawinan.
Syarat kedua adalah izin menikah bagi calon mempelai yang belum genap berusia 21 tahun (ayat 2). Izin ini pertama-tama dikeluarkan oleh orangtua, namun jika orangtua meninggal maka izin diberi oleh wali atau keluarga yang punya hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas. Jika wali atau keluarga tak didapat, maka izin dikeluarkan oleh Pengadilan dimana pasangan hendak menikah. Hal ini, meski tidak ada dalam ketentuan Hukum Gereja, namun perlu diperhatikan para Pastor Paroki. Karena sekalipun tetap sah menurut Gereja Katolik, namun perkawinan tersebut dapat digugat secara sipil. Persoalannya, hukum sipil tidak mempunyai mekanisme seperti dalam Gereja Katolik, yaitu pengesahan atau konvalidasi.
Pada pasal 7 ada syarat usia untuk menikah, yaitu pria genap usia 19 tahun dan wanita genap usia 16 tahun. Jika calon mempelai, entah itu keduanya maupun salah satunya, belum mencapai usia sebagaimana diharapkan undang-undang, perkawinan masih dapat dilangsungkan dengan mengajukan dispensasi ke pengadilan dimana mempelai berdomisili. Tuntutan usia ini tentulah tidak berpengaruh bagi perkawinan katolik karena tuntutan usia Gereja Katolik lebih rendah (Kan 1083, §1: pria 16 tahun, wanita 14 tahun). Akan tetapi, Pastor Paroki perlu juga memperhatikan produk hukum lainnya, yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak. Karena itu, adalah bijak jika Pastor Paroki memperhatikan tuntutan usia yang lebih tinggi terkait perkawinan agar tidak menghadapi persoalan hukum, yakni usia 18 tahun. Hal ini sejalan juga dengan tuntutan Hukum Kanonik (Kan. 1071, §1, 6⁰; dan Kan 1072). Dalam Kan. 1071, §1, 6⁰ dikatakan bahwa butuh izin dari Ordinaris Wilayah untuk melayani perkawinan anak yang belum dewasa tanpa diketahui atau secara masuk akal tidak disetujui oleh orangtuanya (bdk. syarat kedua undang-undang perkawinan). Hukum Gereja memberikan kriteria usia genap 18 tahun sebagai dewasa (Kan. 97, §1). Sedangkan Kan 1072 menghimbau para gembala untuk menjauhkan orang muda dari menikah pada usia dini.
Pasal 8 memuat persyaratan hubungan darah yang dilarang secara sipil. Artinya, perkawinan dilarang terjadi pada orang yang memiliki:
          a.    Hubungan darah lurus ke atas atau ke bawah.
          b.    Hubungan darah ke samping (tanpa ada tingkatannya)
          c.    Hubungan semenda garis lurus ke atas / ke bawah
          d.    Hubungan susuan
Hukum Gereja juga berbicara soal hubungan darah sebagai halangan. Untuk hubungan darah garis lurus ke atas dan ke bawah tidak dapat menikah dalam Gereja Katolik (Kan. 1091, §1). Halangan ini tak dapat diberi dispensasi, sama dengan halangan atas hubungan darah garis menyamping tingkat 2. Untuk hubungan darah ke samping tingkat 3 dan 4 memang merupakan halangan, namun dapat didispensasi. Untuk tingkat 5 ke atas bukanlah merupakan halangan sehingga siapa pun dapat menikah, namun dapat menjadi masalah dengan hukum sipil. Karena itu, Pastor Paroki perlu memperhatikan hal ini dan menyampaikannya kepada umat.
Hubungan kesemendaan dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun (Kan. 1092). Jadi, aturan ini sejalan dengan aturan sipil. Karena itu, Pastor Paroki perlu memperhatikan hal ini agar suatu saat perkawinan yang sudah diteguhkan tidak dibatalkan oleh hukum sipil. Karena, dalam hukum Gereja, halangan ini dapat didispensasi, sedangkan hukum sipil tidak.
Pasal 9 memberi syarat perkawinan, yaitu tidak ada ikatan perkawinan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan Hukum Kanonik (Kan. 1085, §1,2). Perkawinan baru dapat dilangsungkan bila ada izin dari pengadilan (hukum sipil dengan memperhatikan 3 syarat [pasal 4, ayat 2] terkait kondisi istri) atau bila ada nulitas dan pemutusan (Kan. 1085, §2).
Demikianlah persyaratan untuk dapat melangsungkan perkawinan menurut undang-undang perkawinan. Jadi, setidaknya ada 5 syarat yang harus dipenuhi agar orang dapat menikah, dan diperhatikan oleh Pastor Paroki karena berdampak juga bagi perkawinan katolik. Kelima syarat itu adalah:
          a.    Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai
         b.    Adanya izin dari orangtua (atau wali, atau keluarga atau pengadilan) bila yang menikah belum genap 21 tahun
          c.    Terpenuhinya tuntutan usia (pria 19 tahun, wanita 16 tahun)
          d.    Bebas dari hubungan darah:
Ø  Garis lurus ke atas dan ke bawah
Ø  Garis menyamping
Ø  Hubungan semenda
Ø  Hubungan susuan
e.    Bebas dari ikatan perkawinan sebelumnya
3.   Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Lima persyaratan di atas hendaknya menjadi perhatian bagi para Pastor Paroki agar perkawinan yang akan diteguhkan tidak mendapat hambatan dari sipil. Karena dalam undang-undang perkawinan pasal 13 dikatakan bahwa perkawinan dapat dicegah jika persyaratan di atas tidak terpenuhi. Dan bila pencegahan terjadi, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan (pasal 19). Selain pencegahan, jika persyaratan tidak terpenuhi sebuah perkawinan dapat juga dibatalkan (pasal 22).
Dengan demikian, Pastor Paroki tidak hanya memperhatikan 3 syarat demi validitasnya perkawinan menurut hukum Gereja. Pastor Paroki harus juga memperhatikan tuntutan peraturan sipil. Hal ini sebenarnya sudah diamanatkan juga dalam Kitab Hukum Kanonik. Dalam kanon 1071, §1 nomor 2⁰ dikatakan bahwa tanpa izin dari Ordinaris Wilayah, Pastor Paroki tidak boleh melayani perkawinan yang menurut norma undang-undang sipil tidak dapat diakui atau tidak dapat dirayakan. Jadi, jika salah satu dari kelima syarat perkawinan menurut undang-undang perkawinan ada pada salah satu atau kedua pasangan yang hendak diteguhkan, Pastor Paroki wajib meminta izin ke Ordinaris Wilayah.
4.    Pencatatan Sipil
Orang katolik Indonesia, selain sebagai warga Gereja adalah juga warga negara. Sebagai warga Gereja, setelah menikah dia akan mendapatkan surat nikah Gereja (perkawinannya dicatat di Buku Perkawinan dan Buku Baptis); sedangkan sebagai warga negara dia akan mendapatkan akta nikah. Akta nikah ini dikeluarkan oleh Dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Tugas disdukcapil hanya mencatatkan perkawinan yang telah disahkan oleh lembaga agama (bdk. Pasal 2). Karena itu, salah satu persyaratan administrasi yang harus dilengkapi ketika mengurus akta nikah adalah surat nikah Gereja.
Akan tetapi, pengurusan pencatatan sipil untuk akta nikah selalu menghadapi kesulitan ketika pasangan yang menikah adalah pasangan beda agama (katolik dan non baptis) dan beda Gereja (katolik dan baptis non katolik). Banyak petugas pencatatan sipil, ketika mengurus hal ini, menggunakan cara pikir agamanya yang non katolik, dimana orang yang menikah harus satu agama agar perkawinan itu sah. Hanya agama Katolik saja yang mengakui adanya perkawinan beda agama sebagai perkawinan yang sah, sejauh ada dispensasi. Karena itu, jika pihak capil hanya mencatat apa yang sudah sah menurut agama, seharusnya persoalan ini tidak menemui masalah. Namun faktanya hal ini tetap menjadi masalah. Pihak capil tidak akan mengeluarkan akta nikah jika masih ada perbedaan agama, kecuali bila ada surat keputusan pengadilan.
Bagaimana hal ini diakali? Di banyak paroki dibuat kebijakan dengan surat pernyataan dari pimpinan Gereja bahwa pihak yang non-baptis sedang dalam proses pembinaan menjadi katolik. Kepada mempelai yang bukan katolik hendaknya disampaikan persoalan ini dan solusi yang dapat ditempuh: jalur pengadilan atau kebijakan paroki. Kalau lewat jalur pengadilan, maka dalam administrasi (akta nikah dan KTP) tetap tertulis agamanya; sedangkan bila memakai kebijakan paroki, maka dalam administrasi (akta nikah dan KTP) akan tertulis agamanya katolik. Pemberitahuan ini bertujuan agar mempelai yang bukan katolik kelak tidak kaget ketika melihat dalam surat nikah dan KTP-nya tertulis agamanya katolik, keculai kalau mereka menempuh jalur pengadilan. Perlu disampaikan juga bahwa sekalipun di akta nikah dan KTP tertulis katolik, bukan lantas berarti mereka sudah resmi menjadi katolik, karena menjadi katolik harus melalui proses katekumen, yang memakan waktu hingga 1 tahun.
5.    Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Pasal 30 – 34 berbicara soal hak dan kewajiban suami isteri. Di sana dikatakan bahwa suami isteri dipanggil untuk membangun keluarga sebagai sendi dasar susunan masyarakat (pasal 30). Tentulah di sini dimaksudkan agar suami isteri membangun keluarga yang sehat supaya masyarakatnya pun menjadi sehat. Hal ini sejalan dengan panggilan suami isteri untuk menghadirkan Kerajaan Allah dalam keluarganya. Suami isteri dipanggil untuk menjadi saksi Kristus. Untuk itu, kanon meminta agar mereka yang mau menikah terlebih dahulu sudah menerima Sakramen Krisma (Kan. 1065, §1).
Pasal 31 mengatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama (ayat 1), sekalipun suami disebut sebagai Kepala Keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga (ayat 3). Hukum Gereja juga menyatakan bahwa kewajiban dan hak suami isteri adalah sama (Kan. 1135). Soal pembagian peran, sangat menarik membaca ensiklik Paus Pius XI, “Casti Connubii” (1930), dimana suami dikatakan sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai pemimpin cinta kasih (no. 27).
Selanjutnya ditetapkan agar suami isteri memiliki tempat tinggal tetap atau rumah (pasal 32), dimana suami isteri dapat hidup penuh kasih dan saling membantu (pasal 33). Rumah dapat dijadikan wujud lain perlindungan, yang harus diberikan suami terhadap isteri (pasal 34, ayat 1). Sementara isteri bertanggung jawab mengurus rumah tersebut (pasal 34, ayat 2). Kewajiban suami isteri terhadap anaknya dibicarakan pada pasal 45, sejalan dengan kanon 1136 dan tujuan kedua perkawinan (kan. 1055, §1).
Tuntutan untuk mempunyai tempat tinggal yang tetap sesuai dengan apa yang dikatakan Kitab Kejadian bahwa seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya sehingga mereka menjadi satu daging (Kej. 2: 24). Perkawinan menuntut suami isteri membangun keluarga baru, yang terpisah dari keluarga inti. Dalam keluarga baru ini, pusat perhatian, kasih dan pelayanan adalah pasangan hidup dan anak-anak yang lahir darinya.
Ujung Bating, 13 September 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar