Jumat, 21 September 2018

BULAN MADU

Angin tepi laut bertiup manja, sepanjang sungai, masuk ke dalam pedalaman, menyalami pohon nyiur, menyalami pohon-pohon di pedalaman, serta meliuk dengan usapan tanpa ragu, mengiringi gerak perahu. Dan ketika perahu berhenti di suatu tambatan, angin senja meneruskan langkahnya. Seorang lelaki berwajah kurus, dengan alis mata tebal, berjalan bersama perempuan, yang mengikuti tangannya.
Lelaki kurus itu beberapa hari yang lalu telah membuat seluruh pandangan kampung menatap ke arahnya. Suatu hari yang panas, lelaki itu ditemui, di tepi pantai. Memeluk Mursiti – perempuan yang bergantung di genggamannya. Sebenarnya, penduduk setempat sudah lama mengincar lelaki itu, sejak ayah Mursiti, kepala warga di pedalaman, secara berbisik-bisik mengancam akan membunuh Mursiti, bila mana sampai dengan munculnya bulan baru, tidak ada lelaki yang mengawininya.
Mursiti ketahuan bunting, ketika berkata kepada ibunya. Dan ibunya pingsan ketika harus mengatakan ini kepada suaminya. Kepala kampung mendengar sambil mengelus tombaknya, yang menemani dirinya setiap hari ketika pergi berlayar.
“Aku pasti membunuhmu, esok atau nanti atau lusa.”
“Bunuhlah aku sekarang, Ayah.”
“Katakan siapa lelaki yang membuntingimu, dan aku ingin membunuh kalian berdua.”
“Ayah tak akan menemukan dia. Dia sudah lenyap, telah pergi.”
“Kau tahu kalau dia pergi?”
“Sejak pertama dia sudah berkata. Jika aku tak mau diajak pergi hari itu, aku akan ditinggalkan. Aku berat meninggalkan perkampungan ini. Aku ingin terus hidup bersama Ayah, bersama Ibu, bersama kawan-kawan. Aku ingin menanti Ayah di tambatan perahu atau di tepi pantai sekali. Rasanya aku tak bisa melepaskan kedamaian dan kenangan di sini. Rasanya, dia takkan meninggalkan diriku sungguh-sungguh.”
“Aku percaya suatu kali, akan membunuhnya dengan tombakku.”
“Ayah tak seharusnya membunuh dia sendiri. Bunuhlah aku dahulu, kemudian carilah dia. Kesalahan ini, meski bagiku bukan kesalahan, tidak dikerjakan olehnya sendiri. Tapi dari persetujuan dariku dengannya. Kami mengadakan perjanjian, mengadakan pertemuan dan perpaduan dengan rela, ikhlas serta kepasrahan yang tulus, sewaktu seluruh warga mengadakan pesta sehabis panen dari laut. Di bawah bulan, aku mengadakan pertemuan dengannya.”
“Apakah dia warga kampung ini?”
Mursiti tidak mengeluarkan jawaban.
“Ayahmu, setelah membunuh kalian berdua, akan turun dari jabatan ini. Aku merasa malu sekali.”
“Aku tidak mengharap Ayah bertindak demikian. Apa yang kukerjakan adalah tanggung jawabku. Aku bertindak dengan sadar. Aku sedia dibunuh, dibuang atau apa yang mesti kutanggung. Tapi aku tidak mengikuti Ayah dan Ibu atau warga kampung lainnya.”
“Kau tidak hadir seorang diri di kampung ini.”
Mursiti tahu bahwa ayahnya adalah lelaki yang selama hidupnya selalu memperhatikan dan memberi perhatian setiap perubahan pada dirinya. Lelaki yang paling mengasihi – selain dengan ibunya. Setiap pergi ke laut, Mursiti melihat kekerasan wajah ayahnya yang tidak tersenyum kepada seorang pun. Senyumannya tenggelam dalam kekerasan dan garis-garis tegas bibirnya.
Begitu juga bila senja telah tenggelam, ayahnya akan melangkah jalan tanpa menoleh atau membalas anggukan dan tegur sapa.
“Anakku, mengapa kau kerjakan ini?”
“Aku cinta padanya.”
“Mengapa?”
“Dia mengatakan akan membawa diriku ke pantai jauh di sana. Di seberang lautan, akan memperlihatkan kepadaku suatu dunia, suatu kampung yang menyenangkan. Diceritakan banyak-banyak kepadaku. Dan aku juga ingin menjenguk serta melihat dan menikmati kampung di seberang.”
“Aku tak akan menceritakan kepadamu. Dunia seberang adalah dunia yang keruh.”
“Tapi...’ Helaan nafasnya bertambah dalam dan kandas.
“Di sini pun tidak lepas dari kekeruhan.”
“Ayah pernah ke sana?”
“Tiap kali menjual hasil laut, ayah ke sana, Anakku. Katakan kepada Ayah, apakah benar kau memberikan kasihmu kepada lelaki itu, ataukah kau dipaksa dengan janjinya?”
“Aku tidak merasakan perbedaan di antara keduanya. Karena aku bersedia. Dan karenanya aku percaya dia akan datang kemari.menjemput aku. Aku tak percaya dia akan melewatkan kenangan itu demikian saja.”
“Aku akan menunggu kedatangannya.”
Bersama dengan Mursiti, ayahnya menemui. Bersama dengan warga kampung yang lain. Dengan berdebar-debar, tiap senja, tiap kali perahu-perahu bertemu di tambatan.mereka menduga, lelaki itulah yang datang.
Mereka menanti hingga lama. Hingga perut Mursiti bertambah pasti. Ketika ayah Mursiti bersiap dan mengatakan akan turun dari jabatan kepada warga, senja itu masuk perahu bermotor. Seorang lelaki kurus dengan alis tebal berjalan turun. Seorang diri. Ayunan tangan dan pandangannya pasti. Menghadapi ayah Mursiti, dan mengatakan lamarannya.
“Aku ingin membunuhmu, Lelaki!”
“Aku pun percaya akan dibunuh. Tapi aku lebih siap untuk melawan.”
“Kau telah membuat keruh seluruh warga kampung.”
“Aku malahan tidak pernah merasa menjadi pahlawan yang telah mengeruhkan kampung. Aku tidak pernah merasa menjadi pahlawan yang akan merombak susunan tata cara kampung ini. Aku hanya cinta pada anakmu, dan anakmu cinta kepadaku. Aku berjanji akan mengawini dan membawanya ke seberang.”
“Kau bisa menghidupi anakku?”
“Kukira setiap lelaki bisa menghidupi. Tapi lebih baik yang dapat menghidupi dengan cinta dan kemesraan. Sebenarnya aku ingin bertemu denganmu beberapa hari yang lalu. Kurasa waktu itu, waktuku dipakai dan kurang, untuk memadu janji dengan anakmu. Aku hanya menginginkan anakmu, seperti anakmu menginginkanku. Aku ingin membawanya. Boleh tidak boleh kubawa.”
Lelaki itu mengancam dengan pandangan matanya. Seluruh warga dimintai pendapatnya. Mereka berkumpul di bawah obor-obor. Mereka memutuskan untuk merelakan lelaki itu membawa Mursiti ke seberang. Mereka tak akan menghalangi cinta Mursiti dan kekasihnya. Mereka tak ingin berdiri di tengah kebahagiaan mereka. Sebelum berangkat, lelaki kurus beralis tebal itu banyak mempesonakan warga kampung dengan radio transistornya, dengan senapannya, dengan pistolnya, dengan perahu bermotornya.
Kemudian lelaki itu minta diri, pergi dengan perahu bermotornya, dengan Mursiti. Mereka mengiringkan hingga ke tengah laut, dengan melambaikan tangan, senyum, tawa, tangis dan teriak.
Di samping lelaki itu Mursiti menangis. “Mengapa kau menangis? Ini adalah perjalanan perkawinan kita. Ini bulan madu kita.”
“Mengapa kau yang menjemput? Di mana kekasihku itu?
“Dia pergi bersama perempuan dan telah kawin. Dia menitipkan pesan padaku supaya aku tidak menginjak pedalaman itu lagi. Sebab mereka bisa menombak perutku. Gara-gara dirimu dengan kawanku. Kemudian baru aku teringat dirimu. Aku menyesal tak bisa menolongmu. Seharusnya sewaktu aku dan kawanku bertemu denganmu dulu itu, aku memberi tahu kepadamu bahwa kawanku ini bukan lelaki yang baik. Isterinya banyak. Semuanya ditinggalkan.
Aku tak tahan dan tak bisa mengatakan kepadamu, karena kulihat kau makin akrab dan erat.”
“Mengapa kau bersedia datang?”
“Aku cinta padamu, sejak bertemu.”
“Hanya itu? Kau ingin menolong diriku, melindungi wajahku, melindungi harga diriku. Juga ayahku dan seluruh warga kampung.”
“Itu pun bisa dipakai sebagai alasan.”
“Suatu ketika, aku berjalan di tepi pantai sendiri. Aku bertemu dengan dua lelaki. Tidak bisa aku membedakan antara dirimu dengan kawanmu. Baru ketika berkumpul lama, aku mengenalmu. Kukira kalian berdua sama.”
“Apakah jika sama, kau akan memilih diriku?”
Mursiti menggeleng sambil meneteskan air matanya. Lelaki kurus beralis tebal itu mengangguk dalam.
“Ketulusanmu itulah yang menyebabkan aku menjemput. Setidaknya aku ingin berbuat sesuatu kepada seorang yang kucintai.”
“Maukah kau kawin denganku?”
Mursiti tidak menjawab.
Percikan air dari cipratan gelombang makin deras. Sedang bintang-bintang mengintip sepi.
Kemudian menggeleng.
“Aku hanya ingin meyakinkan diriku bahwa memang kau tidak akan menerima diriku. Apa yang menjadi tujuanmu sekarang?”
“Kukira kau sudah tahu.”
Lelaki kurus beralis tebal itu menengadah. Ditatapnya langit.
“Aku telah menyiapkan. Kukira, memang jalan ini yang harus kauambil. Dan aku ingin menyertaimu. Kita berbulan madu bersama, meski tujuan dan hati kita tidak.”
Lelaki itu melangkah ke belakang dengan sebuah menyungkil, dicungkilnya tutupnya dan dilemparkan ke laut. Gemercik air membasahi lantai. Seakan lidah yang menjulur di julur dan terus bergerak.
“Apa yang tengah kau kerjakan?”
“Bukankah kau telah tahu maksudmu?”
Gemercik air kian deras. Bagai alunan nada dengan irama yang membuat lelaki kurus beralis tebal menutup matanya dengan tersenyum. Mursiti berdiri di sampingnya.
Air telah mengelusi dan melembabi bawah lututnya. Setetes air matanya terjatuh di dada yang tipis, dan bibir yang tengah tersenyum itu makin mengulum.

Sementara itu, di langit bintang malam berkedip-kedip, melihat perahu bermotor yang melajur tenang. Sementara bagian-bagiannya kian terendam dalam air asin.
sebuah cerpen karya Arswendo Atmowiloto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar