Sering terdengar komentar orang non katolik, “Kenapa pastor
dan suster tidak menikah?” Banyak orang merasa aneh jika ada orang tidak
menikah, alias hidup selibat. Orang protestan malah sering menuduh bahwa kaum
selibat itu melanggar kehendak Allah (Kej 1: 28). Di balik keanehan dan
pertanyaan itu terlihat bahwa mereka berpikir bahwa menikah adalah suatu
kewajiban. Orang wajib menikah. Umat islam melihat menikah sebagai ibadah,
sehingga orang harus menikah.
Berbeda dengan umat katolik. Gereja Katolik melihat menikah itu sebagai hak. Karena sebagai hak, setiap orang tidak punya kewajiban untuk
menikah. Setiap orang punya kebebasan untuk menggunakan haknya untuk menikah
atau juga tidak. Di sini terlihat bahwa menikah itu merupakan suatu pilihan hidup.
Perbedaan cara pandang pernikahan ini, antara hak dan
kewajiban, bisa berpengaruh dalam menyikapi pernikahan itu sendiri. Orang yang
melihat menikah sebagai kewajiban, akan menyikapi pernikahan sebagai tujuan
hidupnya. Ketika dia sudah menikah, maka selesailah. Dia tinggal memenuhi atau menuntut haknya. Sasarannya adalah pasangannya. Jika haknya tidak terpenuhi, maka dengan
mudah pernikahan itu dibubarkan.
Sementara yang melihat menikah sebagai hak, akan menyikapi
pernikahan sebagai awal hidup baru. Karena hak itu selalu melekat dengan
kewajiban, maka orang yang menggunakan haknya untuk menikah akan terikat juga
dengan kewajiban yang terkait dengan pernikahan. Orang yang menikah dituntut
untuk memenuhi kewajibannya, seperti saling menyayangi antar suami istri,
merawat dan membesarkan serta memperhatikan pendidikan anaknya, dan kewajiban-kewajiban lainnya.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar