Keinginan
untuk bepergian ke Bromo sudah muncul sekitar Desember tahun 2014, namun baru
Agustus niat tersebut terwujud. Tepatnya pada 14 Agustus, ditemani dua Srikandi
Pamulang, Yuli dan Hesti, kami berangkat pukul 16.30 WIB dari Stasiun Pasar
Senen dengan menggunakan KA. Gumarang. Setelah beberapa stasiun disinggahi,
akhirnya kami tiba di Stasiun Pasar Turi Surabaya.
Waktu
masih menunjukkan sekitar pukul 03.00 WIB. Karena kami baru akan dijemput pada
pukul 05.00 WIB, maka kami pun berputar-putar di sekitar stasiun. Bermula kami
mencoba menyeruput kopi di luar stasiun. Kehadiran kami di sekitar stasiun
langsung diserbu oleh nyamuk. Entah mengapa nyamuk begitu banyak di sekitar
stasiun.
Sekitar
pukul 05.00 WIB kami dijemput Mas Win. Dengan Suzuki Ertiga-nya kami segera
meluncur. Tujuannya adalah Cemara Lawang. Berkat radio yang dipasang di mobil,
kami bisa menghindari kemacetan lalu lintas karena ada sebuah truk kontainer
terbalik menutup separuh jalan. Mas Win membawa kami ke jalur-jalur alternatif
sehingga terhindar dari kemacetan.
Tak
lama setelah jarum panjang menyentuh angka 12 dan jarum pendek tepat di angka7,
kami tiba di Probolinggo. Kami mampir ke sebuah rumah makan yang terkenal
dengan menu rawon-nya. Popularitas rumah makan tersebut bisa dilihat dari
beberapa foto Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika masih menjabat presiden
pernah mengunjungi dan makan di rumah makan tersebut. Malah ada klipingan koran
yang memberitakan bahwa SBY memuji tempe di rumah makan tersebut. Dan setelah
saya mencobanya, ternyata pujian itu bukanlah isapan jempol belaka.
Setelah
mengisi kampung tengah, kami melanjutkan perjalanan. Pemandangan sepanjang
jalan cukup memukau sehingga, walau mata sebenarnya ingin tidur – karena kurang
tidur di kereta – rasa kantuk pun hilang. Perjalanan dari Probolinggo menuju
Cemara Lawang ditempuh sekitar 2 jam. Itu pun menurutMas Win terhitung lancar.
Sampai
di Cemara Lawang, kami dikenakan tiket masuk. Kami tiga dikenakan 20 ribu. Tak
lama kemudian kami pun sampai di home
stay yang sudah dipesan oleh Hesti. Home
stay kami terdiri dari dua kamar tidur (ukuran 2 orang) dengan 1 kamar
mandi. Setelah menunjukkan ruangan, Mas Adi, pemilik home stay, memberitahu kami bahwa besok akan dijemput pukul 03.00
WIB. Ternyata Hesti bukan hanya pesan home
stay saja, melainkan juga paket wisata. Paket wisata yang diambil adalah
menyaksikan sun rise di Penanjakan,
menikmati kawah Bromo, jalan ke Padang Savanah dan Pasir Berbisik. Paket ini
sudah termasuk mobil Jeep yang akan mengantar kami ke tempat-tempat tadi.
Karena
hari masih siang, kami akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan sekeliling
daerah Cemara Lawang. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah hotel Cemara
Indah, karena dari pinggir hotel kita bisa menyaksikan keindahan pemandangan
Gunung Bromo dan Gunung Batok. Dari sini kami mencoba mencari sudut pandang
lain. Maka mulailah kami berjalan-jalan.
Masalah
perut juga yang akhirnya membatasi gerak kami. Sekitar pukul 13.00 WIB kami
mencari warung untuk makan. Setelah makan, kami akhirnya memutuskan untuk
pulang. Namun sebelum pulang, dua srikandi sudah keburu masuk ke toko souvenir.
Setelah puas dengan pilihan-piihannya, kami pulang dan istirahat.
Karena
disarankan untuk menambah ketebalan jeket, maka kami memutuskan untuk menyewa jeket
di toko souvenir yang siang tadi disambangi. Sebenarnya tujuan lain adalah
mencari makan malam. Karena sama-sama punya keinginan makan bakso, maka kami
memesan tukang bakso untuk mampir ke home
stay kami.
Karena
pagi jam 03.00 harus sudah berangkat, maka kami memutuskan untuk segera
istirahat. Pukul 02.20 saya terbangun, dan langsung memutuskan untuk cuci muka
dan segera berkemas. Saat sedang berkemas, rekan yang lain pun menyusul. Udara
pagi sungguh menusuk tulang. Untung semalam sewa jeket yang agak tebal,
sehingga badan terasa hangat.
Tepat
pukul 03.00 tanggal 16 Agustus, kami berangkat dengan jeep. Ada
beberapa jeep sudah mendahului kami.
Setelah membayar restibusi sekitar 75 ribu, mobil kami meluncur di jalanan
berlubang dan bergelombang. Setelah melalui daerah “lautan” pasir, kami
memasuki daerah Penanjakan. Sepanjang jalan mendaki dengan kemiringan cukup
curam. Saya sempat berpikir, gimana jika mesin mati. Tapi pikiran itu tak
terwujud. Kami tiba dengan selamat di puncak Penanjakan. Di sini sudah ada
begitu banyak pengunjung. Dengan berjalan kami sekitar 200 meter, kami tiba di center point view. Ratusan orang sudah
menanti, mengambil posisi nyaman untuk menyaksikan matahari terbit.
Ajang
sun rise menjadi ajang uji dan pamer
kecanggihan teknologi. Aneka jenis kamera, termasuk HP dengan segala kelebihan
dan keunikannya turut ambil bagian dalam menyongsong matahari terbit. Tidak
hanya itu. Ada sekitar 3 buah drone melayang
di atas kami untuk menangkap momen matahari terbit.
Setelah
puas, kami turun menuju jeep, yang
langsung membawa kami ke kaki Gunung Bromo. Perjalanan memang mengasyikkan,
tapi juga melelahkan. Kelelahan sepertinya begitu mendominan, sehingga tak lama
setelah tiba di puncak Bromo, kedua srikandi mengajak untuk turun. Tiba di
bawah, kami langsung ke Padang Savanah, lalu ke Pasir Berbisik. Setelah puas
melihat-lihat dan berfoto ria, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke home stay.
Karena
sebelum pukul 12.00 harus sudah berada di lokasi bus, maka kami pun bergegas
berkemas. Pukul 11.30 kami sudah meninggalkan home stay dengan menyelesaikan urusan pembayarannya. Ternyata, tak
lama kami tiba di lokasi bus, kami pun langsung berangkat ke Probolinggo. Kami
turun di terminal bus Probolinggo. Dari sini kami langsung naik bus menuju
terminal bus Bungur Asih Surabaya.
Dari
Bungur Asih, kami naik bus menuju Stasiun Pasar Turi dengan harapan masih ada
tiket kereta. Namun ternyata tiket kereta habis. Tiket kereta eksekutif masih
ada. Karena selisih harga dengan pesawat tak jauh beda, maka kami memutuskan
untuk pulang dengan pesawat.
Beberapa Usul Saran
Menikmati
wisata Bromo memang sangat mengasyikkan. Memang membutuhkan dana yang lumayan.
Untuk perjalanan kami saja, habisnya sekitar Rp. 1.390.000,- (mobil Surabaya –
Cemara Lawang: 450 ribu; home stay 1
malam: 350 ribu; paket wisata: 500 ribu; tiket masuk: 90 ribu), tidak termasuk
makan minum.
Ada
beberapa cara untuk menghemat. Dari Surabaya ke Cemara lawang bisa pakai angkot
biasa, yaitu dari stasiun menuju terminal Bungur Asih, lalu ke terminal
Probolinggo, dan dari sini naik bus ke Cemara Lawang. Diperkirakan biayanya tak
lebih dari 100 ribu per orang.
Untuk
biaya home stay memang sulit
dipangkas. Konon, biaya home stay kami
termasuk yang paling murah. Ini mungkin berkat kemahiran Hesti. Akan tetapi,
biaya paket wisatanya bisa dipangkas, tapi ada konsekuensinya, yaitu mau
sedikit lelah. Artinya, tidak menggunakan jeep.
Ada dua pilihan, yaitu naik motor. Untuk pilihan ini juga ada dua pilihan,
yaitu sewa motor atau boncengan dengan ojek.
Pilihan
kedua adalah jalan kaki. Ini benar-benar bagi pencinta alam yang suka
tantangan. Memang tidak ada medan yang sulit. Tanpa guide pun bisa menjangkau tempat-tempat wisata tadi. Untuk jalan
kaki bisa melalui pinggir hotel Cemara Indah, karena ada jalan setapak. Turun
dari situ, sudah sampai ke “lautan” pasir Bromo. Untuk menuju Penanjakan memang
harus berangkat jam 00.00 (ini juga usulan). Sedangkan untuk ke Bromo bisa
turun kapan saja.
Jadi,
jika memutuskan untuk jalan kaki, maka setibanya di Cemara Lawang, bisa saja
langsung turun ke bawah untuk menuju puncak Bromo. Jika turun dari Cemara
Lawang sekitar pukul 13.00 WIB, maka kita bisa kembali ke home stay sekitar pukul 17.00 WIB. Besok sekitar pukul 00.00 WIB
memulai perjalanan ke Penanjakan untuk menyaksikan sun rise. Turun dari Penanjakan bisa berjalan menuju Pasir
Berbisik, bisa juga dengan naik ojek, yang ada di parkiran dekat kaki Gunung
Batok.
Toboali,
19 Agustus 2017
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar