Kamis, 05 Januari 2017

MANUSIA DAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI

Hidup manusia selalu bergerak maju ke depan, bukan ke belakang. Apa yang ditinggalkan di belakang menjadi sejarah kehidupan. Kemajuan hidup itu bisa hanya menyentuh pribadi indvidu, bisa juga menyangkut suatu kelompok/bangsa. Terkadang kemajuannya cukup pesat sehingga gerak langkahnya maju ke depan. Tingkat kemajuan tidak sama untuk setiap orang atau bangsa. Ada bangsa yang sangat maju ke depan, sementara yang lain masih tertatih-tatih di belakang.
Ada banyak faktor yang menyebabkan adanya perbedaan dalam kemajuan suatu bangsa atau kelompok tertentu. Salah satunya adalah faktor pola pikir. Masih ada orang atau sekelompok orang yang masih berpikir tradisional sehingga menolak adanya perubahan. Orang yang mau berpikiran maju tentulah akan terlihat maju dalam segala aspek kehidupan.
Salah satu aspek kemajuan dalam kehidupan manusia adalah teknologi. Ada banyak bentuk kemajuan teknologi ini, salah satunya adalah teknologi komunikasi. Dulu, untuk berkomunikasi dengan saudara di tempat yang jauh, orang menggunakan surat atau telegram. Selangkah lebih maju, kemudian muncullah telepon. Kehadiran telepon sangat terbatas; hanya keluarga tertentu yang punya telepon rumah, sisanya hanya bisa menggunakan fasilitas telepon umum.
Kemudian muncullah handphone. Awalnya hanphone murni hanya sebatas alat komunikasi (telepon dan pesan singkat). Namun kini, semua media sosial ada dalam genggaman tangan manusia. Benda kecil yang ada di genggaman tangan manusia ini dikenal dengan istilah smartphone. Dengan segera manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di belahan bumi lainnya. Tapi, apakah manusia penggunanya sudah ikutan maju seiring dengan media elektronik ini?
Jika kita perhatikan dengan seksama di media sosial, banyak orang berpendapat, berteori bahkan berpolitik secara menumpahkan emosi, tanpa menggunakan rasio. Sering juga dijumpai ada orang yang tiba-tiba merasa ahli, meski semakin mereka berpendapat semakin mereka kelihatan bodohnya. Bahkan ada orang memanjatkan doa melalui media sosial sehingga urusan kita dengan Tuhan terpublikasi ke publik. Padahal Yesus sudah berpesan, “Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” (Matius 6: 6).
Kita tidak tahu apakah hal-hal tersebut di atas memang merupakan kebutuhan, kebodohan atau bahkan pendangkalan. Yang jelas terlihat jelas bahwa banyak orang tidak siap dengan kemajuan teknologi komunikasi ini. Rhenald Kasali, dosen di Universitas Indonesia, pernah mengomentari soal smartphone ini, yaitu bahwa yang pintar sebenarnya adalah phone-nya, sementara manusia tetap bodoh.
Penggunaan dan ketergantungan orang pada smartphone ini semakin menggila. Bila pada tahun 2012, penelitian tentang berapa kali orang rata-rata mengecek media elektroniknya per hari mendapat angka 37 kali, tahun 2016 diperkirakan tiap orang rata-rata mengecek surel dan media sosialnya sebanyak 85 kali. Di sini terlihat bahwa penggunaan media elektronik sudah mendominasi kehidupan manusia. Jika waktu jaga normal manusia 16 jam, dan mengecek ponsel sebanyak 85 kali, artinya orang memegang ponsel dan mengeceknya setiap 11 menit. Artinya, 5 jam dalam sehari atau 30 persen dari waktu jaga dihabiskan dengan benda kecil tersebut.
Mungkin waktu yang paling aman, lepas dari ponsel hanyalah ketika orang mandi. Satu pertanyaan muncul, apakah smartphone sungguh membuat manusia menjadi semakin smart? Pertanyaan ini untuk melihat persoalan apakah fenomena media elektronik ini berdampak pada kerja otak mausia? Apakah kerja otak manusia menjadi cepat? Apakah kapasitas memori manusia berantakan?
Kehadiran teknologi telekomunikasi seperti ponsel pintar membuat manusia tidak sempat lagi membaca textbook, jurnal atau literatur. Mereka menggantikannya dengan cara pemutakhiran pengetahuan melalui berita-berita singkat berkarakter 140. Pemahaman yang didapat dari informasi singkat ini kemudian membuat orang langsung berkomentar, berdebat, emosional sampai mengembangkan masalah atau pendapat dengan pengetahuan yang terbatas.
Nicholas Carr, dalam bukunya The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains, melukiskan bahwa pemikiran manusia yang sudah disuguhi informasi yang tak terbatas ini membuat manusia tidak terbiasa untuk menyelam dan mendalami suatu masalah. Orang sudah terbiasa membaca informasi yang lebih banyak, dan berpindah dari satu topik ke topik lain. Ini semua dimungkinkan oleh internet, bahkan orang dimanjakan dengan kecepatan kerja komputer. Semua ini membuat orang bermental instan dan tidak sabaran.
Carr menilai kalau orang sekadar mencari informasi melalui internet, orang ibarat melihat hutan tanpa bisa menggambarkan hutannya secara detail. Orang tidak juga mampu melihat pohonnya, tetapi langsung menemukan dahan dan daun-daun saja. Demikian pula kalau orang melihat masalah seperti masalah politik, agama dan kenegaraan melalui media sosial yang sebenarnya perlu didalami dari ujung ke ujung.
Informasi yang lengkap sebenarnya tersedia, tetapi hampir semua orang hanya melihat cuplikan terkini secara berulang-ulang. Manusia menjadi budak teknologi, sirkuit otaknya dibentuk oleh program-program gadget. Internet sudah mengubah kerja otak manusia, bukan menjadi lebih buruk, tetapi menjadi manja, tidak sabar, dan hanya suka bekerja di permukaan. Orang bukan menjadi lebih bodoh; orang lebih pintar tetapi semakin buta dalam membaca, semakin tidak percaya dan bersahabat dengan kepanikan.
Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa otak manusia tidak mungkin dikalahkan oleh komputer manapun. Selain itu, pengembangan pribadi manusia tidak sepenuhnya dibantu kerja otak; masih ada kekuatan fisik dan emosi, yang tak perlu dibantu kerja komputer. Manusia harus sadar bahwa dirinya dapat bekerja dan terhibur tanpa memelototi perangkat pintar. Dengan membaca buku, orang tidak disuguhi film-film pendek untuk memanjakan kerja otak dan imajinasi. Namun otak dan perasaan manusialah yang berimajinasi. Orang dapat mengharuskan dirinya bercerita lebih banyak; tidak mengisi percakapan dengan kalimat-kalimat pendek dan singkatan atau emoticon semata. Dengan terbiasa menyusun cerita, otak semakin terlatih untuk membuat struktur imajiner yang lebih baik dan mendalam.

by: adrian, diolah dari “Thingking About Thingking” dalam KOMPAS, 31 Desember 2016, hlm. 11. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar