Catatan Pengantar
Banyak
orang berpikir bahwa perkawinan itu seperti berbisnis, ada untung dan rugi. Jika
pendapat ini benar, maka Sumarto adalah orang yang beruntung. Orangtua dari
Romo Wiratmo, OFMCap dan Romo Winarto, Pr ini membagikan pengalamannya kepada
Maria Etty, yang kemudian dibukukan pada tahun 2002.
Awetnya Perkawinan Ini
Namaku
R.F.J Dirdjo Sumarto. Saat ini (tahun 2002) usiaku 91 tahun, sementara istriku,
Anastasia Siti Siliyah 80 tahun. Tanggal 1 Desember 1928 merupakan hari
bersejarah bagi kami. Aku menikahi Siti di Gereja Purbayan, Solo. Saat itu
usianya masih 14 tahun, sedangkan saya 26. Kini kami sudah 65 tahun mengarungi
bahtera rumahtangga bersama, menghantar anak-anak (12 orang, tak termasuk anak
asuh) ke jenjang kehidupan yang mapan.
Manis
getirnya berumahtangga tentu sudah kami rasakan bersama. Tapi semua itu kami
lalui dengan selamat. Hal ini kuyakini sebagai anugerah Tuhan yang sangat
berharga. Bila ada orang bertanya apa resep hingga perkawinan kami bisa seawet
ini, akan kujawab, “Kuncinya adalah doa,
sehingga kami bisa terhindar dari pertengkaran hebat dalam perkawinan ini.”
Ketika
menikah saya sudah bekerja sebagai guru Budi Pekerti dan Bahasa Jawa. Dengan
penghasilan yang cukup baik untuk ukuran masa itu, kami membangun bersama
kehidupan kami. Usia 15 tahun Siti sudah menjadi menjadi seorang ibu.
Demikianlah tahun demi tahun anak-anak kami bertambah hingga 12 orang. Jarak
usia mereka rata-rata terpaut 2 – 3 tahun. Saya selalu mendampingi istriku
selama persalinan.
Kehidupan
rumah tanggaku terus bergulir seiring waktu. Kami tinggal di daerah Baturetno,
Wonogiri. Semuanya terasa menyenangkan, hingga suatu hari di tahun 1945 rumah kami
dirampok sekawanan orang. Dalam sekejap harta kami lenyap. Mulai saat itu
kehidupan keluargaku mulai mengalami kesulitan.
Kesulitan
hidup juga saya alami ketika masa perang. Di masa penjajahan Jepang saya pernah
tidak mendapat gaji selama 4 tahun, padahal saya sudah diangkat sebagai Kepala
Sekolah. Saya juga pernah terpaksa ikut angkat senjata di Cipinang, Jakarta.
Namun, istriku termasuk wanita yang tahan uji. Ia bisa mengambil alih kemudi
mencari nafkah sehingga rumahtangga kami tetap bertahan.
Sewaktu
terjadi pemberontakan PKI tahun 1947 dan 1948 saya menjadi incaran tentara
Indonesia. Keterlibatanku di organisasi Pemuda Pesindo membuat saya dituduh
PKI. Karena itu, saya selalu bersembunyi, pulang ke rumah setiap jam 11 malam.
Namun tetap saja saya akhirnya diculik dan ditahan selama 3 hari. Tapi saya
akhirnya dibebaskan. Saat itu tentara RPKAD tiba di Baturetno untuk mengusir
PKI. Komandannya, kebetulan katolik, pergi ke gereja dan menanyakan koster
gereja, yang tak lain adalah saya. Dan setelah diinterogasi, saya dibebaskan
dari tuduhan terlibat PKI. Saya yakin semua ini merupakan jawaban atas doa
istri dan anak-anakku.
Perang
sempat membuat kami morat marit. Bahkan kami harus hidup dalam pengungsian. Di sini
istrikulah yang mencari nafkah. Pagi hari, sambil menggendong anak ke-8, ia
berjualan sayur, teh, kopi maupun rokok. Sementara di rumah saya memomong 2
anak lain (yang lain tinggal bersama eyangnya). Sepulang berdagang, Siti masih
membantu orang membuat gaplek. Dengan cara ini ia bisa mendapat gaplek untuk
kebutuhan kami dengan harga murah. Dalam hal ini saya sangat menghargai
pengorbanannya.
Setahun
di pengungsian, akhirnya kami dapat kembali berkumpul lagi dengan segenap
keluarga. Namun tragisnya, rumah kami di Baturetno sudah dibongkar oleh
Belanda. Untung ada seorang dukun bayi yang bersedia menampung kami. Saya mulai
mengajar lagi agar bisa mengumpul uang untuk membangun rumah. Selain mengajar,
saya juga menjadi koster. Bahkan istriku pun terlibat dalam urusan rumahtangga
paroki.
Dengan
menjadi koster, saya merasa mendapat berkat dari Tuhan, yakni ketenangan. Rasanya
saya semakin dekat dengan Tuhan sehingga bisa menghadapi lika-liku kehidupan
dengan tenang. Karena terbiasa hidup dalam lingkungan gereja, maka wajar jika
saya ingin ada anakku jadi imam. Ternyata Tuhan mendengarkan keinginanku.
Soal
pendidikan anak, saya memang tegas. Untuk menghindari mereka dari pengaruh
lingkungan tak baik, saya tak membiarkan mereka bermain di luar rumah. Kalaupun
bermain mereka hanya bermain di lingkungan gereja saja. Rasanya, cara ini ada
hikmahnya. Tak ada di antara mereka yang tingkahnya merepotkan kami.
Entah
kenapa rumahtangga kami, kendati tak berlimpah rezeki, selalu kedatangan tamu
untuk menginap. Istriku tak pernah menggerutu. Bahkan dia bisa menghayati
perannya selaku nyonya rumah yang baik. Saya merasa Tuhan selalu memberi kemurahan
rezeki sehingga tamu-tamu itu bisa kami jamu dengan layak.
Tahun
1962 saya pensiun. Namun bukan berarti kegiatanku berkurang. Hari-hariku tak pernah
sepi. Demikian pula istriku. Karena gemar memasak, ia biasa diminta untuk
menjamu tamu-tamu pastor. Ia juga menjadi juru rias pengantin.
Sejak
tahun 1992, atas permintaan anak-anak, saya dan istri hijrah ke Jakarta. Mereka
mengkhawatirkan keadaan kami yang sudah mulai renta tinggal di Baturetno. Kami berpikir,
semua ini tentu ada baiknya, walaupun kami kehilangan banyak kegiatan dan
relasi yang pernah kami bina selama puluhan tahun di Baturetno.
Tahun
2002 saya dan Siti Suliyah telah menjadi pasangan hidup selama 65 tahun. Bila kukenang
kembali kehidupan perkawinan kami…, sungguh saya bisa merasakan betapa Tuhan
senantiasa menyertai kami sehingga kami bisa melaksanakan apa yang pernah kami
ikrarkan di hari pernikahan kami dulu.
diringkas dari Maria Etty, Perjuangan Hidup Berkeluarga (Jakarta:
grasindo, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar