Kamis, 13 Oktober 2016

HINGGA TUBUH RENTA, KAMI MASIH AKUR DAN TERUS BERDUA

Catatan Pengantar
Banyak orang berpikir bahwa perkawinan itu seperti berbisnis, ada untung dan rugi. Jika pendapat ini benar, maka Sumarto adalah orang yang beruntung. Orangtua dari Romo Wiratmo, OFMCap dan Romo Winarto, Pr ini membagikan pengalamannya kepada Maria Etty, yang kemudian dibukukan pada tahun 2002.
Awetnya Perkawinan Ini
Namaku R.F.J Dirdjo Sumarto. Saat ini (tahun 2002) usiaku 91 tahun, sementara istriku, Anastasia Siti Siliyah 80 tahun. Tanggal 1 Desember 1928 merupakan hari bersejarah bagi kami. Aku menikahi Siti di Gereja Purbayan, Solo. Saat itu usianya masih 14 tahun, sedangkan saya 26. Kini kami sudah 65 tahun mengarungi bahtera rumahtangga bersama, menghantar anak-anak (12 orang, tak termasuk anak asuh) ke jenjang kehidupan yang mapan.
Manis getirnya berumahtangga tentu sudah kami rasakan bersama. Tapi semua itu kami lalui dengan selamat. Hal ini kuyakini sebagai anugerah Tuhan yang sangat berharga. Bila ada orang bertanya apa resep hingga perkawinan kami bisa seawet ini, akan kujawab, “Kuncinya adalah doa, sehingga kami bisa terhindar dari pertengkaran hebat dalam perkawinan ini.”
Ketika menikah saya sudah bekerja sebagai guru Budi Pekerti dan Bahasa Jawa. Dengan penghasilan yang cukup baik untuk ukuran masa itu, kami membangun bersama kehidupan kami. Usia 15 tahun Siti sudah menjadi menjadi seorang ibu. Demikianlah tahun demi tahun anak-anak kami bertambah hingga 12 orang. Jarak usia mereka rata-rata terpaut 2 – 3 tahun. Saya selalu mendampingi istriku selama persalinan.
Kehidupan rumah tanggaku terus bergulir seiring waktu. Kami tinggal di daerah Baturetno, Wonogiri. Semuanya terasa menyenangkan, hingga suatu hari di tahun 1945 rumah kami dirampok sekawanan orang. Dalam sekejap harta kami lenyap. Mulai saat itu kehidupan keluargaku mulai mengalami kesulitan.
Kesulitan hidup juga saya alami ketika masa perang. Di masa penjajahan Jepang saya pernah tidak mendapat gaji selama 4 tahun, padahal saya sudah diangkat sebagai Kepala Sekolah. Saya juga pernah terpaksa ikut angkat senjata di Cipinang, Jakarta. Namun, istriku termasuk wanita yang tahan uji. Ia bisa mengambil alih kemudi mencari nafkah sehingga rumahtangga kami tetap bertahan.
Sewaktu terjadi pemberontakan PKI tahun 1947 dan 1948 saya menjadi incaran tentara Indonesia. Keterlibatanku di organisasi Pemuda Pesindo membuat saya dituduh PKI. Karena itu, saya selalu bersembunyi, pulang ke rumah setiap jam 11 malam. Namun tetap saja saya akhirnya diculik dan ditahan selama 3 hari. Tapi saya akhirnya dibebaskan. Saat itu tentara RPKAD tiba di Baturetno untuk mengusir PKI. Komandannya, kebetulan katolik, pergi ke gereja dan menanyakan koster gereja, yang tak lain adalah saya. Dan setelah diinterogasi, saya dibebaskan dari tuduhan terlibat PKI. Saya yakin semua ini merupakan jawaban atas doa istri dan anak-anakku.
Perang sempat membuat kami morat marit. Bahkan kami harus hidup dalam pengungsian. Di sini istrikulah yang mencari nafkah. Pagi hari, sambil menggendong anak ke-8, ia berjualan sayur, teh, kopi maupun rokok. Sementara di rumah saya memomong 2 anak lain (yang lain tinggal bersama eyangnya). Sepulang berdagang, Siti masih membantu orang membuat gaplek. Dengan cara ini ia bisa mendapat gaplek untuk kebutuhan kami dengan harga murah. Dalam hal ini saya sangat menghargai pengorbanannya.
Setahun di pengungsian, akhirnya kami dapat kembali berkumpul lagi dengan segenap keluarga. Namun tragisnya, rumah kami di Baturetno sudah dibongkar oleh Belanda. Untung ada seorang dukun bayi yang bersedia menampung kami. Saya mulai mengajar lagi agar bisa mengumpul uang untuk membangun rumah. Selain mengajar, saya juga menjadi koster. Bahkan istriku pun terlibat dalam urusan rumahtangga paroki.
Dengan menjadi koster, saya merasa mendapat berkat dari Tuhan, yakni ketenangan. Rasanya saya semakin dekat dengan Tuhan sehingga bisa menghadapi lika-liku kehidupan dengan tenang. Karena terbiasa hidup dalam lingkungan gereja, maka wajar jika saya ingin ada anakku jadi imam. Ternyata Tuhan mendengarkan keinginanku.
Soal pendidikan anak, saya memang tegas. Untuk menghindari mereka dari pengaruh lingkungan tak baik, saya tak membiarkan mereka bermain di luar rumah. Kalaupun bermain mereka hanya bermain di lingkungan gereja saja. Rasanya, cara ini ada hikmahnya. Tak ada di antara mereka yang tingkahnya merepotkan kami.
Entah kenapa rumahtangga kami, kendati tak berlimpah rezeki, selalu kedatangan tamu untuk menginap. Istriku tak pernah menggerutu. Bahkan dia bisa menghayati perannya selaku nyonya rumah yang baik. Saya merasa Tuhan selalu memberi kemurahan rezeki sehingga tamu-tamu itu bisa kami jamu dengan layak.
Tahun 1962 saya pensiun. Namun bukan berarti kegiatanku berkurang. Hari-hariku tak pernah sepi. Demikian pula istriku. Karena gemar memasak, ia biasa diminta untuk menjamu tamu-tamu pastor. Ia juga menjadi juru rias pengantin.
Sejak tahun 1992, atas permintaan anak-anak, saya dan istri hijrah ke Jakarta. Mereka mengkhawatirkan keadaan kami yang sudah mulai renta tinggal di Baturetno. Kami berpikir, semua ini tentu ada baiknya, walaupun kami kehilangan banyak kegiatan dan relasi yang pernah kami bina selama puluhan tahun di Baturetno.
Tahun 2002 saya dan Siti Suliyah telah menjadi pasangan hidup selama 65 tahun. Bila kukenang kembali kehidupan perkawinan kami…, sungguh saya bisa merasakan betapa Tuhan senantiasa menyertai kami sehingga kami bisa melaksanakan apa yang pernah kami ikrarkan di hari pernikahan kami dulu.
diringkas dari Maria Etty, Perjuangan Hidup Berkeluarga (Jakarta: grasindo, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar