Selasa, 26 Juli 2016

PENGALAMAN MAYORITAS HIDUP MENJADI MINORITAS

Tahun 2003 adalah tahun dimana saya harus meninggalkan masa belajar di SMA dan beralih menjadi mahasiswa. Ada satu pilihan, yaitu menjadi mahasiswa arsitektur. Sebagai salah seorang dengan pengetahuan terbatas, maka hanya Universitas Gajah Mada yang menjadi pilihan satu-satunya. Tapi, singkat cerita SAYA GAGAL.
Teman saya menyarankan agar saya mempertimbangkan masuk jurusan Teknik Arsitektur di universitas swasta seperti Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), dan juga Universitas Islam Indonesia (UII). Sebagai seorang mantan anak TPA (Taman Pendidikan Alquran) dengan predikat lulus terbaik, tentulah UKDW dan UAJY sama sekali tidak masuk dalam kriteria, karena mereka berada di bawah yayasan Kristen dan Katolik. Selain itu keluarga saya, yang berada dalam lingkungan Muhammadiyah kental, pasti tidak setuju jika saya sampai masuk ke universitas Kristen atau Katolik.
Sholat Istikharah (sholat minta petunjuk) adalah jalan satu-satunya bagi umat muslim ketika ia bingung menentukan pilihan. Dan itulah yang saya lakukan. Sebuah petunjuk dari Atas datang dan sungguh mengagetkan. Di pagi hari yang cerah di bulan Juli, saya mantab memilih Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Satu tahun pertama di kampus sungguh menyiksa perasaan saya. Namun bukan dari teman-teman kampus, melainkan dari saudara dan teman sekolah saya yang notabene adalah seorang muslim. Saya merasa berat untuk menunaikan sholat di sela-sela waktu kuliah dengan cara sembunyi-sembunyi. Saya juga takut melakukan gerakan sujud sementara di depan saya terpasang salib Tuhan Yesus.
Sejak kerusuhan 1998, saya sudah muak dengan yang namanya diskriminasi dalam bentuk agama maupun ras. Inilah salah satu alasan saya memilih kampus yang bernaun di bawah yayasan Katolik. Di sini saya punya teman dari berbagai kalangan agama, mulai Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan sampai yang atheis sekalipun. Saya juga punya teman dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
Awalnya yang namanya jadi anak kuliahan, saya berharap sekali bisa ikut demonstrasi jalanan, tapi sayang sekali kampus ini “terlalu damai” untuk disulut sebuah permasalahan yang bernuansa agama atau suku. Baru di sini saya bisa bercanda tanpa ada batasan dengan teman-teman saya yang berasal dari aneka suku bangsa. Hingga saat ini saya memiliki 4 orang sahabat, dua di antaranya beragama katolik. Persahabatan kami membuat kami merasa seperti keluarga saja. Dari persahabatan kecil ini kami bahkan pernah mendesain sebuah masjid cantik dan sebuah gereja yang sungguh menawan secara bersama-sama.
Ketika saya menonton film Rudy Habibie (Habibie & Ainun 2) dan mengetahui bahwa Habibie muda pernah melakukan sholat di dalam gereja hingga seseorang bernama Romo Mangun menghampiri Habibie, maka beliau bilang bahwa seandainya pemikiran orang seperti Habibie maka sudah tidak perlu lagi adanya rumah ibadah. Ya.., saya pun pernah mengalami hal itu ketika saya berada di Senado Square Macao sedang waktu sholat ashar sudah tiba. Karena saya tidak yakin dimana masjid, maka pilihan satu-satunya adalah sholat di dalam sebuah gereja yang bernama St. Dominic Church.
Satu hal yang saya yakini bahwa sholat adalah urusan saya pribadi dengan Allah SWT, tidak peduli saya dimana, sedang apa atau dalam keadaan apa. Bagi saya, lebih baik sholat daripada tidak sama sekalai. Sekali lagi, Atma Jaya mengajarkan saya untuk berpikir seterbuka ini. Kampus ini pun pernah mempersilahkan saya untuk shlat ghaib bagi salah seorang teman kami yang meninggal di luar kota. Begitu damainya ketika belasan teman-teman muslim bisa berjajar bersama dan berjamaah melakukan sholat ghaib di sebuah ruangan yang sudah terlanjur di seting untuk misa arwah (di sana sudah ada belasan lilin bernyala, salib dan patung Bunda Maria).
Saya pernah bertemu langsung dengan Romo Mangun ketika beliau menjabat sebagai Ketua Kwartir Daerah Gerekan Pramuka di Yogya. Waktu itu saya mau berangkat ke Jepang untuk mewakili Indonesia di Jambore ramuka tingkat dunia. Yang saya tangkap dari keberadaan sosok Romo Mangun adalah pribadi yang sangat bijaksana, bahkan pada tahun 1998 saya bertemu beliau, saya tidak tahu apa artinya Romo. Baru kemudian saya tahu artinya.
Pengalaman lainpun datang ketika saya diundang untuk menghadiri sebuah diskusi kecil tentang pluralisme dengan Romo Paul (kalau tak salah beliau pernah jadi Rektor Universitas Sanata Dharma). Sekali lagi saya bertemu dengan sosok pemimpin agama yang sungguh bijak.
Setiap Romo yang pernah saya temui selalu memberi wejangan yang intinya begini: “Hidup itu mesti bisa saling menghargai, mesti bisa saling menyayangi, dan karena itulah Tuhan menciptakan kita untuk bisa saling mengenal satu dengan yang lainnya!”
Mungkin karena kurangnya pengetahuan agama yang saya miliki, mungkin saya kurang ikut pesantren atau apapun yang bisa Anda tuduhkan pada saya, tapi selama saya mengikuti pengajian dan kajian dakwah, jarang sekali saya mendengar seorang ustadz mengajarkan hal tentang kesama-rataan sedemikian indahnya. Justru pelajaran tersebut harus saya dapatkan dari seseorang dengan kepercayaan yang berbeda.
Ketika suatu waktu saya membuka biografi Nabi Muahmmad SAW, maka pelajaran tentang saling menghormati dan menyayangi antar sesama manusia telah diajarkan beliau. Bahkan Allah sudah menuliskan sebuah ayat yang berbunyi Lakum Diinukum wa Liya Diin, yang artinya: “Bagiku agamaku, bagimu agamamu.”
Tentu kita semua sepakat bahwa hidup ini akan selalu indah buat kita lewati ketika setiap manusia bisa saling menyayangi. Sekali lagi saya ucapkan, “Terima kasih Romo. Anda mengajarkan saya ber-Islam dengan lebih baik.”
sharing pengalaman Bima Adhitya, diolah kembali dari UCAN Indonesia
Baca juga tulisan lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar