MENCERMATI LAWAN-LAWAN AHOK DI PILKADA
DKI
Pemilihan Gubernur Daerah
Khusus Ibukota Jakarta masih setahun lagi (diadakan pada Februari 2017). Akan
tetapi aroma persaingan mulai terasa. Berawal dari Basuki Tjahaya Purnama, yang
biasa disapa Ahok, menyatakan siap memimpin Jakarta untuk periode kedua, saat
ini bermunculan nama-nama yang menyatakan siap melawan Ahok. Ditilik dari
nama-namanya, para lawan Ahok ini memiliki latar belakang yang beragam, mulai
artis hingga politisi.
Di antara nama-nama yang
sudah menyatakan siap “tempur” melawan Ahok ada Ahmad Dhani, yang diusung oleh
PKB dan segelintir ulama NU. Ada pengusaha muda Sandiaga Uno, yang diusung oleh
Partai Gerindra. Selain dua nama ini, masih ada nama Yusril Ihza Mahendra, Eko
Patrio yang berpasangan dengan Desi Ratnasari diusung oleh PAN, dan Adhyaksa
Dault, yang diusung oleh para ulama islam, dan masih banyak nama lagi.
Memang mereka mau
mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Berbagai cara sudah ditunjuki. Adalah hak setiap orang mencalonkan diri menjadi gubernur, kecuali dilarang hukum. Akan tetapi, warga Jakarta perlu mencermati niat dan motivasi para penantang
Ahok ini untuk menjadi pemimpin. Benarkah mereka sungguh-sungguh ingin menjadi
Gubernur DKI Jakarta? Menjadi gubernur berarti siap melayani warga Jakarta
dengan permasalahannya, bukan hanya sekedar berkuasa. Nah, apakah mereka siap?
Secara pribadi saya
meragukan motivasi mereka. Mulai dari Ahmad Dhani, Yusril Adhyaksa Dault hingga
yang lainnya tidaklah memiliki motivasi murni untuk menjadi Gubernur Ibukota
Negara Indonesia. Terlihat jelas bahwa motivasi dasar mereka adalah untuk mengalahkan Ahok. Mengapa mereka
begitu bernafsu mengalahkan Ahok? Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan di
sini.
Pertama,
birahi
kekuasaan. Ini dapat dilihat pada diri Yusril Ihza Mahendra. Bayangkan, tahun
2014 lalu Yusril mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pilpres 2014, namun
sayang suara partainya tidak memenuhi standar. Gagal menjadi presiden, kini
Yusril turun derajat mengincar gubernur. Sangat menyedihkan. Nafsu kekuasaan
juga dapat dilihat pada beberapa calon penantang, seperti Dhani, Nachrowi
Ramli, dll. Karena nafsu kekuasaan ini mereka tidak melihat prestasi yang sudah
dikerjakan Ahok untuk warga DKI. Nafsu itu hanya bertujuan pada kekuasaan.
Kedua,
kebencian.
Ada rasa benci atau tidak suka dengan Ahok, entah itu pada gaya kepemimpinan
Ahok atau keberhasilannya. Ketidak-sukaan dan kebencian itu begitu mendalam
sehingga melahirkan nafsu menyingkirkan Ahok. Pemilihan Gubernur merupakan
momen yang pas untuk menyingkirkan Ahok. Rasa benci dan sikap tidak suka ini
dapat dilihat pada diri Ahmad Dhani, Abraham ‘Lulung’ Lunggana, Mischa Hasnaeni
Moein. Kebencian membuat mereka buta akan apa yang sudah dilakukan Ahok untuk
warga Jakarta. Di mata mereka Ahok adalah kegagalan sehingga harus diganti.
Ketiga,
ajaran
agama (baca: agama islam). Agama islam mengajarkan untuk mencari pemimpin yang
seagama (hal ini sudah banyak ditegaskan oleh para ulama, kyai dan tokoh islam).
Umat islam tidak boleh dipimpin oleh pemimpin kafir. Nah, Ahok adalah pemimpin kafir, karena itu harus disingkirkan.
Warga Jakarta musti dipimpin oleh pemimpin muslim. Dari sinilah muncul
nama-nama seperti Ahmad Dhani, Yusril Ihza Mahendra, Adhyaksa Dault, dll, yang
di belakang mereka ada ulama, kyai dan tokoh-tokoh islam. Mereka tentu akan
melontarkan isu agama. Jadi, tujuan langsungnya bukan untuk mensejahterakan
warga Jakarta, tetapi agar warga dipimpin oleh pemimpin islam. Fanatisme agama
ini membuat mereka tidak dapat melihat kebaikan-kebaikan yang dilakukan Ahok
yang menurut islam adalah kafir.
Selain tiga alasan di atas,
kita masih dapat menemukan alasan keempat,
keempat, yang terlihat pada Partai Gerindra. Sebagaimana diketahaui public,
dulu Ahok maju dalam pilgub sebagai wakil Jokowi karena diusung Partai
Gerindra. Ahok saat itu adalah kader Gerindra. Namun dalam perjalanan waktu,
karena ketidak-sepahaman politik, Ahok keluar dari Gerindra. Peristiwa ini
menimbulkan luka batin pada tubuh Gerindra. Karena itu, terlihat jelas bagaimana
anggota DPRD fraksi Gerindra selalu mengusik kebijakan-kebijakan Ahok. Dan dalam
pilgub 2017, Gerindra mengusung Sandiaga Uno, yang cukup popular, sebagai lawan
tanding bagi Ahok. Di sini tampak jelas kalau Sandiaga hanyalah alat untuk melampiaskan
luka batin Gerindra.
Demikianlah keempat alasan yang
membuat saya meragukan motivasi para lawan politik Ahok. Terlihat jelas bahwa
bagi mereka ada asas ABA (Asal Bukan Ahok). Orientasi mereka untuk menjadi Gubernur
DKI pertama-tama adalah untuk menyingkirkan Ahok. Setelah menyingkirkan Ahok,
barulah mereka akan memikirkan warga DKI. Jadi, kepentingan warga Jakarta bukan
yang pertama dan utama, melainkan kepentingan pribadi dan partai, yaitu untuk
mengalahkan Ahok.
Memang dalam kampanye nanti
mereka akan mengumbar janji mensejahterakan rakyat (lagu lama masa kampanye). Pada
masa kampanye akan terlihat bahwa warga menjadi prioritas. Semua itu hanyalah
permukaan saja. Di dalam lubuk hati terdalam mereka tidaklah demikian. Keempat alasan
di atas sudah menjawabnya.
Karena itu, akankah warga
DKI Jakarta memilih mereka? Ataukah warga siap kembali dipimpin oleh Ahok? Semua
itu berpulang pada warga sendiri. Wargalah yang lebih tahu siapa yang pantas
menjadi pemimpinnya.
Pangkalpinang, 18
Februari 2016
by: adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar