DKI
Jakarta seakan tak pernah dirundung masalah. Belum selesai masalah perseteruan
Gubernur dan DPRD tentang dana siluman RAPBD, kini muncul lagi masalah baru.
Diberitakan bahwa puluhan PNS eselon IV dan lurah mengundurkan diri. Dan sekali
lagi mata semua orang terarah pada Sang Gubernur, Basuki Tjahaya Purnama, atau
yang biasa disapa Ahok. Seakan semua orang menimpakan semua kesalahan ini pada
Ahok.
Kalangan
DPRD menilai fenomena mundur ramai-ramai ini disebabkan karena Ahok. Karena
Ahok-lah mereka mundur. Sama seperti, karena Ahok, maka muncul perseteruan DPRD
vs Gubernur. Semua masalah ini tak akan muncul jika gubernurnya bukan Ahok;
atau minimal jika Ahok mengikuti gaya kepemimpinan gubernur lainnya.
Benarkah
Ahok yang salah pada fenomena mundurnya puluhan PNS dan lurah di DKI Jakarta?
Saya
tidak akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Saya hanya mau
melihat dan mencermati fenomena ini. Pertanyaan mendasar saya adalah kenapa
mereka mundur? Bukankah beberapa bulan lalu mereka sudah “disuap” dengan gaji
yang fantastis? Lantas apa arti semuanya ini?
Ada
beberapa kemungkinan makna dari peristiwa ini. Pertama, mundurnya para
pegawai negeri ini seakan membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh Mochtar
Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”. Mochtar Lubis, pada tahun 1977,
menyebut salah satu mental orang Indonesia, yang secara umum identik dengan
pegawai negeri. Mereka hanya ingin enak, tak mau kerja keras. Sebelum Ahok
masuk menjadi orang no 1 di DKI (atau minimal no 2), para gubernur selalu
bersikap kompromi sehingga melahirkan mental santai pada para pegawai. Mereka
tidak tahan dengan gaya kepemimpinan Ahok yang tidak ada kompromi pada
kebenaran dan kebaikan bagi rakyat.
Kedua, ada kemungkinan mereka yang
mundur ini terlibat dalam kasus dana siluman. Beberapa hari sebelumnya Ahok
mengungkapkan masih ada dana siluman, yang nilainya jauh lebih besar dari dana
siluman sebelumnya. Sebagaimana diketahui, dana siluman itu bukanlah permainan
oknum DPRD saja, melainkan oknum PNS juga.
Akan
tetapi, peristiwa mundur ini harus dilihat dari dua sisi. Jika mereka yang
mundur itu benar-benar ada kaitannya dengan dugaan dana siluman, maka ini
merupakan wujud tanggung jawab moral. Hal ini patut diapresiasi. Namun, apa benar
demikian, mengingat orang Indonesia belum memiliki budaya mundur sebagai bentuk
pertanggungjawaban moral.
Di
sisi lain, mundurnya para pegawai negeri dari jajaran tinggi ini bisa jadi
sebagai bentuk tekanan kepada pimpinannya, yaitu Ahok. Bila banyak yang mundur,
pasti akan menggangu pelayanan publik; dan ini akan berdampak juga pada tekanan
publik kepada Ahok. Mungkin dengan tekanan ini Ahok akan melunak, bukan saja
pada sikapnya, tetapi juga pada kejeliannya terhadap kasus dana siluman.
Ketiga, mungkin mereka mundur
karena dengan gaya kepemimpinan Ahok, mereka tidak punya peluang untuk mendapat
“komisi” dari setiap layanannya; atau juga tidak bisa lagi “bermain mata”
dengan DPRD. Maklum, ada yang mengatakan bahwa dana siluman ini bukan baru ada
pada RAPBD 2015, melainkan sudah terjadi tahun-tahun sebelumnya. Jadi, selama
ini, para pegawai ini, selain mendapat uang dari gaji bulanan, juga mendapat
uang dari “dana siluman” itu. Gaya kepemimpinan Ahok membuat mereka tidak lagi
mendapat kesempatan itu. Selagi Ahok menjadi gubernur, mereka hanya mendapat
uang dari gaji bulanan serta tunjangan-tunjangannya.
Demikianlah
tiga kemungkinan makna mundurnya puluhan PNS dan lurah di jantung ibukota. Kita
bisa mengatakan bahwa mundurnya puluhan PNS dan lurah ini merupakan bentuk
tekanan terhadap Ahok. Secara tidak langsung mereka mau menggulingkan Ahok dan
menggantikannya dengan orang yang bisa diajak kompromi. Bukan tidak mungkin,
tekanan ini akan menyebar ke tengah masyarakat.
Semuanya
berpulang kepada rakyat Jakarta. Apakah rakyat tega membiarkan uang rakyat
diambil untuk kepentingan segelintir orang, atau benar-benar untuk kepentingan
rakyat?
Pangkalpinang, 18 Maret 2015
by: adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar