SANTO HOA, PENGAKU IMAN
Hoa lahir di negeri Tiongkok pada 31 Desember 1775 dari
sebuah keluarga kafir. Nama kecilnya ialah Simon Hoai-Hoa. Hoa sekeluarga
kemudian menjadi Kristen. Ia belajar di Kolese Misi di negeri itu.
Ia cerdas sekali dan benar-benar memahami pelajaran agama dan
kebajikan-kebajikan kristiani. Seusai menamatkan studinya, ia diangkat menjadi
guru agama (katekis) yang pertama di daerah itu. Ternyata ia seorang katekis
yang cerdas, bijaksana dan rajin sekali melaksanakan tugasnya. Setelah menikah,
ia menjadi seorang suami dan ayah yang bijaksana dan beriman. Semangat pengabdiannya
kepada Gereja tidak luntur. Ia rajin beribadat dan mempunyai keprihatinan besar
terhadap nasib orang lain. Keluarga Hoa amat dermawan; rumahnya selalu terbuka
kepada siapa saja, lebih-lebih bagi para imam yang dikejar oleh penguasa yang
lalim. Segala keperluan mereka dicukupi oleh keluarga Hoa.
Hoa kemudian menjadi seorang dokter. Kepandaiannya merawat
orang-orang sakit benar-benar dimanfaatkannya untuk menolong sesamanya. Lama kelamaan
ia dicurigai oleh penguasa. Pada 15 April 1840, ketika berusia 65 tahun, ia
ditangkap, dirantai dan kemudian digantung. Kemudian ia dibawa ke kota Hue
untuk menerima hukuman lebih lanjut. Di sana Raja Minh-Meuh telah menyediakan berbagai
alat siksaan yang mengerikan. Ia disesah dengan tongkat dan cambuk berduri yang
mengerikan, lalu dijepit dengan besi panas. Namun Tuhan tidak membiarkan dia
sendiri menanggung penderitaan itu. Berkat pertolongan Tuhan, ia tidak
merasakan kesakitan; badannya pun tidak luka sedikit pun. Ia bahkan sanggup menahan penderitaannya itu
dengan sabar dan perasaan gembira.
Pada 12 Desember 1840, hakim dan raja memberinya ancaman
terakhir: “Patuh kepada raja dan dibebaskan atau tetap teguh pada iman tapi
dibunuh.” Dalam keberanian seorang martir, Hoa dengan tegas memilih tawaran
kedua, yakni tetap pada imannya kepada Yesus. Katanya, “Saya tidak akan
mengkhianati Yesus Tuhanku; sampai mati pun saya tidak akan pernah memungkiri
iman saya kepada-Nya.” Keberaniannya ini menghantar dia kepada hukuman mati
yang mengerikan. Di hadapannya diletakkan sebuah salib. Sambil memandang salib
itu, ia berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku; janganlah menghukum mereka;
kehidupan kekal bersama-Mu di surga sudah cukup bagiku daripada memiliki harta
duniawi.” Sesudah itu kepalanya dipenggal dengan kapak oleh seorang algojo. Selama
3 hari jenazahnya dipertunjukkan di tempat-tempat umum, lalu dimakamkan oleh
umat Kristen yang ada di kota itu.
sumber: Iman Katolik
Baca juga riwayat orang
kudus 12 Desember:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar