Kamis, 11 April 2013

Mengurai Kemacetan Jakarta

Salah satu masalah klasik kota Jakarta adalah kemacetan. Dan akibat kemacetan ini banyak waktu yang terbuang sia-sia. Jika dikaitkan dengan prinsip time is money (waktu adalah uang), maka sudah ratusan juta uang terbuang percuma dalam satu hari saja. Metronews.com merilis bahwa akibat kemacetan ini negara dirugikan hingga Rp. 45 Triliun. Kerugian terbesar yakni kehilangan nilai waktu yang mencapai Rp. 14 triliun. Sebuah angka yang sangat fantastis.

Oleh karena itu, kepada setiap calon gubernur dan wakilnya selalu diharapkan dapat mengurai benang kusut kemacetan ini. Gubernur sudah silih berganti, kebijakan pun patah tumbuh hilang berganti, namun kemacetan tetap lestari.

Sebuah Logika Sederhana
Sudah ada beberapa kebijakan yang diambil untuk mengurai kemacetan jalanan kota Jakarta. Ada pembuatan jalan layang. Ada pula penambahan jalur alternatif. Ada program 3 in 1. Ada juga rencana pembuatan transportasi air. Ada busway dan ada juga juga monorel yang sempat macet namun mau dihidupkan kembali oleh Jokowi.

Akan tetapi, sekalipun banyak kebijakan diterapkan, kemacetan tak kunjung sirna dari wajah jalanan ibu kota. Alih-alih mengurangi, kemacetan malah justru bertambah. Kenapa?

Menurut saya, program atau kebijakan yang diambil untuk mengatasi kemacetan tidak menyentuh inti persoalan kemacetan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan itu hanya menyentuh permukaannya saja. Ia bersifat sementara. Hanya mengatasi masalah dalam waktu sesaat saja.

Untuk mengatasi permasalahan kemacetan jalanan kota Jakarta ini kita musti menangani langsung ke inti persoalannya. Untuk mengetahui inti persoalan kemacetan ini kita dapat menggunakan logika sederhana. Dikatakan sederhana karena untuk dapat memahaminya tidak dibutuhkan pemikiran dan uraian ilmiah dari ahli atau pakar. Seperti bunyi iklan, “Anak kecil pun tahu!”

Logikanya seperti ini. pertama-tama kita cari tahu dulu apa yang menjadi penyebab kemacetan. Tentulah kita semua sepakat bahwa kemacetan itu disebabkan oleh jumlah kendaraan lebih banyak daripada jalan raya. Dengan kata lain, jalanan tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan yang begitu banyak.

Jadi, ada dua komponen yang menyebabkan terjadinya kemacetan: volume kendaraan dan jalan raya. Oleh karena itu, jika kita mau mengatasi kemacetan, maka dua komponen itulah yang harus diatasi. Penambahan jalan raya, jalan layang atau jalur alternatif tidak akan berguna jika volume kendaraan tidak dikurangi. Selama ini kebijakan yang dibuat sama sekali tidak menyentuh soal pengurangan jumlah kendaraan. Pengurangan jumlah kendaraan berarti pemerintah membatasi jumlah produksi kendaraan.

Saya heran dengan bangsa kita ini. padahal tidak ada produsen mobil dan motor dari negeri ini, tapi begitu banyaknya kendaraan (mobil dan motor) di negeri ini. sementara di negeri produsen mobil dan motor itu sendiri (Jepang, Jerman, Amerika Serikat) terlihat sedikit kendaraannya. Apakah kita tidak sadar kalau ini merupakan bentuk penjajahan terselubung?

Busway Bukan Solusi Cerdas
Ketika Sutiyoso naik menjadi Gubernur DKI, busway, dengan nama Trans-Jakarta, dipilih sebagai solusi mengatasi kemacetan. Logika busway adalah sebagai berikut: dengan adanya busway, maka orang akan meninggalkan kendaraan pribadi dan naik bus Trans-Jakarta. Dengan demikian jalanan menjadi sepi dan macet pun teratasi. Keberadaan busway akan mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya.

Kesannya masalah kemacetan sedikit teratasi dengan kehadiran busway ini. Akan tetapi saya melihat busway bukanlah suatu solusi yang cerdas karena busway bukannya mengatasi kemacetan melainkan memindahkan kemacetan. Kemacetan berpindah dari jalanan ke halte-halte busway. Masalah kemacetan masih tetap ada.

Jadi, jika sebelumnya kemacetan itu terlihat pada antrean kendaraan di jalan raya, kini tampak pada antrean manusia (penumpang) di halte-halte besar, seperti Senen, Harmoni, Kampung Melayu dan beberapa tempat lainnya. Meski yang antre bukan lagi kendaraan melainkan manusia, masalah kemacetan tetaplah sama: banyak waktu terbuang percuma.

Oleh karena itu, busway yang selalu dibangga-banggakan Sutiyoso, bukan merupakan solusi yang baik melainkan solusi semu. Ia seolah-olah mengatasi masalah, padahal memindahkan masalah. Untuk itu, kebijakan busway ini perlu ditinjau ulang, atau bila perlu dihentikan program penambahan jalur atau koridornya. Biarlah yang ada tetap ada sebagai penghias wajah ibu kota.

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar