Salah satu masalah klasik kota Jakarta adalah
kemacetan. Dan akibat kemacetan ini banyak waktu yang terbuang sia-sia. Jika
dikaitkan dengan prinsip time is money (waktu
adalah uang), maka sudah ratusan juta uang terbuang percuma dalam satu hari
saja. Metronews.com merilis bahwa akibat kemacetan ini negara dirugikan hingga
Rp. 45 Triliun. Kerugian terbesar yakni kehilangan nilai waktu yang mencapai
Rp. 14 triliun. Sebuah angka yang sangat fantastis.
Oleh karena itu, kepada setiap calon gubernur dan
wakilnya selalu diharapkan dapat mengurai benang kusut kemacetan ini. Gubernur
sudah silih berganti, kebijakan pun patah tumbuh hilang berganti, namun
kemacetan tetap lestari.
Sebuah Logika Sederhana
Sudah ada beberapa kebijakan yang diambil untuk
mengurai kemacetan jalanan kota Jakarta. Ada pembuatan jalan layang. Ada pula
penambahan jalur alternatif. Ada program 3 in 1. Ada juga rencana pembuatan
transportasi air. Ada busway dan ada juga juga monorel yang sempat macet namun
mau dihidupkan kembali oleh Jokowi.
Akan tetapi, sekalipun banyak kebijakan diterapkan,
kemacetan tak kunjung sirna dari wajah jalanan ibu kota. Alih-alih mengurangi,
kemacetan malah justru bertambah. Kenapa?
Menurut saya, program atau kebijakan yang diambil
untuk mengatasi kemacetan tidak menyentuh inti persoalan kemacetan itu sendiri.
Kebijakan-kebijakan itu hanya menyentuh permukaannya saja. Ia bersifat
sementara. Hanya mengatasi masalah dalam waktu sesaat saja.
Untuk mengatasi permasalahan kemacetan jalanan kota
Jakarta ini kita musti menangani langsung ke inti persoalannya. Untuk
mengetahui inti persoalan kemacetan ini kita dapat menggunakan logika
sederhana. Dikatakan sederhana karena untuk dapat memahaminya tidak dibutuhkan
pemikiran dan uraian ilmiah dari ahli atau pakar. Seperti bunyi iklan, “Anak
kecil pun tahu!”
Logikanya seperti ini. pertama-tama kita cari tahu
dulu apa yang menjadi penyebab kemacetan. Tentulah kita semua sepakat bahwa
kemacetan itu disebabkan oleh jumlah kendaraan lebih banyak daripada jalan
raya. Dengan kata lain, jalanan tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan
yang begitu banyak.
Jadi, ada dua komponen yang menyebabkan terjadinya
kemacetan: volume kendaraan dan jalan raya. Oleh karena itu, jika kita mau
mengatasi kemacetan, maka dua komponen itulah yang harus diatasi. Penambahan
jalan raya, jalan layang atau jalur alternatif tidak akan berguna jika volume
kendaraan tidak dikurangi. Selama ini kebijakan yang dibuat sama sekali tidak
menyentuh soal pengurangan jumlah kendaraan. Pengurangan jumlah kendaraan
berarti pemerintah membatasi jumlah produksi kendaraan.
Saya heran dengan bangsa kita ini. padahal tidak ada
produsen mobil dan motor dari negeri ini, tapi begitu banyaknya kendaraan
(mobil dan motor) di negeri ini. sementara di negeri produsen mobil dan motor
itu sendiri (Jepang, Jerman, Amerika Serikat) terlihat sedikit kendaraannya.
Apakah kita tidak sadar kalau ini merupakan bentuk penjajahan terselubung?
Busway Bukan Solusi Cerdas
Ketika Sutiyoso naik menjadi Gubernur DKI, busway,
dengan nama Trans-Jakarta, dipilih sebagai solusi mengatasi kemacetan. Logika
busway adalah sebagai berikut: dengan adanya busway, maka orang akan
meninggalkan kendaraan pribadi dan naik bus Trans-Jakarta. Dengan demikian
jalanan menjadi sepi dan macet pun teratasi. Keberadaan busway akan mengurangi
jumlah kendaraan di jalan raya.
Kesannya masalah kemacetan sedikit teratasi dengan
kehadiran busway ini. Akan tetapi saya melihat busway bukanlah suatu solusi
yang cerdas karena busway bukannya mengatasi kemacetan melainkan memindahkan
kemacetan. Kemacetan berpindah dari jalanan ke halte-halte busway. Masalah
kemacetan masih tetap ada.
Jadi, jika sebelumnya kemacetan itu terlihat pada
antrean kendaraan di jalan raya, kini tampak pada antrean manusia (penumpang)
di halte-halte besar, seperti Senen, Harmoni, Kampung Melayu dan beberapa
tempat lainnya. Meski yang antre bukan lagi kendaraan melainkan manusia,
masalah kemacetan tetaplah sama: banyak waktu terbuang percuma.
Oleh karena itu, busway yang selalu dibangga-banggakan
Sutiyoso, bukan merupakan solusi yang baik melainkan solusi semu. Ia
seolah-olah mengatasi masalah, padahal memindahkan masalah. Untuk itu,
kebijakan busway ini perlu ditinjau ulang, atau bila perlu dihentikan program
penambahan jalur atau koridornya. Biarlah yang ada tetap ada sebagai penghias
wajah ibu kota.
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar