Rabu, 27 Februari 2013

Menjadi Single Mother

MENJADI SINGLE MOTHER
Sebutan “single mother” menunjuk pada kaum wanita yang mengasuh anak sendirian (tanpa kehadiran/keterlibatan pasangan/suami). Sebutan ini merupakan salah satu sub-kategori dari orang tua tunggal (single parent). Kematian suami, ditinggal suami dalam jangka waktu lama karena tugas/pekerjaan, perceraian, ditinggal suami tanpa kejelasan dalam jangka waktu yang tidak terbatas, ditinggal pergi oleh laki-laki yang menanam benih di rahimnya tanpa ikatan perkawinan, dan (dalam kasus yang lebih khusus) menjadi korban tindak perkosaan; merupakan beberapa kemungkinan yang melatarbelakanginya.

Namun, di mata masyarakat, empat hal yang disebut terakhir (perceraian, ditinggal suami tanpa kejelasan, ditinggal pergi oleh laki-laki tanpa ikatan perkawinan, dan korban tindak perkosaan) yang lebih sering diasosiasikan sebagai penyebab wanita menjadi single mother. Istilah single mother yang semula muncul dan popular di Barat (Amerika) itu, kini juga popular di masyarakat kita. Hanya saja, sebutan single mother di sini memiliki nuansa makna yang lebih spesifik.

Tampaknya perbedaan nuansa makna dari budaya asalnya ini karena sikap budaya masyarakat kita yang suka menyerap dan menciptakan istilah eufemistik untuk menyebut berbagai realitas, peristiwa maupun status sosial tertentu (biasanya yang berkonotasi minor atau dianggap “kurang beruntung”) untuk menunjukkan sejenis sikap sosial yang mencitrakan adanya kepedulian untuk “mengangkat” martabat nasib si subjek yang ditunjuk.

Bila subjek itu adalah pribadi yang sensitif dengan konsep diri yang cenderung negatif, bisa terjadi efek yang sebaliknya: bukannya merasa “diangkat” martabatnya tetapi justru merasa semakin distigma negatif. Merasa distigma negatif oleh masyarakat, barulah satu hal yang sering “membebani” para single mother. Faktual, di antara mereka cukup banyak yang menanggung beban “nyata”, seperti beban pengasuhan anak (harus berperan sebagai ibu sekaligus figur ayah), ekonomi-finansial, moral (terutama pada single mother merasa hidupnya telah “salah jalan”, melanggar ajaran agama, melanggar nilai-nilai moral, dsb), serta beban mental-psikologis (tekanan emosi, kesepian, ketidakberdayaan, dsb). Bila beban-beban tersebut masih ditambah lagi dengan beban sosial, berupa “stigma negatif dari masyarakat” maka bisa terjadi komplikasi berbagai beban yang mungkin berakumulasi menjadi beban batin berkepanjangan.

Namun demikian, tidak sedikit pula wanita single mother yang segera mampu membebaskan diri dari terpaan beban-beban tersebut dan melangkah tegak untuk menjalani dan meneruskan hidupnya. Mereka bukannya tanpa beban, namun karena keberaniannya bersikap realistis, dan tidak mau terjebak dalam sindrom “mengasihani diri” yang berkepanjangan; maka mereka cepat sadar untuk mengambil tanggung jawab atas jalan hidupnya, termasuk hidup sang anak yang sejak semula tumbuh di dalam dan dilahirkan dari rahimnya. Mereka secara personal maupun sosial dapat mencecap kebahagiaan serta kesejahteraan hidup sebagaimana orang-orang lain yang ”lebih beruntung” nasibnya.

Salah satu di antara mereka adalah Ibu L, yang dulu pada usia 24 tahun dalam kondisi mengandung ditinggalkan oleh laki-laki yang dicintainya. Hingga saat ini ia tetap berstatus sebagai single mother, mengasuh anak kandungnya yang berusia 8 tahun sekaligus menanggung hidup adik serta ibu kandungnya. Sehari-hari ia berprofesi sebagai peneliti sosial-budaya di kota S. Berikut pengakuannya:

” ...Saya sangat bersyukur tetap bisa menjalani hidup secara realistis seperti ini. Apa kata orang tentang saya dan keluarga saya, silakan saja. Itu hak mereka. Yang namanya gunjingan orang, itu kan hal biasa dalam pergaulan di masyarakat. Lama-lama kan hilang sendiri. Semua yang telah terjadi, termasuk kelahiran anak kandung saya yang tidak dipedulikan oleh ayah darah-dagingnya sendiri, adalah keniscayaan dalam perjalanan hidup saya.

Saya tidak mau berandai-andai untuk bisa membalik sejarah. Faktanya, anak saya sudah hadir dalam hidup saya. Dia adalah titipan Tuhan, meskipun keberadaannya di rahim saya tanpa pengesahan melalui Sakramen Perkawinan di depan altar suci. Bahwa kekhilafan itu adalah dosa, saya mengakuinya. Semua sudah berlalu.

Sekarang, yang paling prinsip bagi saya adalah harus berani untuk tetap konsekuen dengan mengupayakan hidup berkeluarga sebaik mungkin bagi saya, bagi anak saya, bagi ibu serta adik kandung saya; meski tanpa suami, tanpa figur bapak bagi anak saya. Adik laki-laki saya toh bisa menggantikan peran itu. Saya juga bersyukur diberi kesempatan untuk berbuat kasih yang nyata bagi kelangsungan hidup adik dan ibu kandung saya ... ”

Pengakuan Ibu L tersebut mengingatkan kita pada pernyataan Dr Stephen Duncan, seorang ahli jiwa yang banyak terlibat dalam konseling untuk membantu para orangtua tunggal: ”...keluarga dengan orang tua tunggal bisa menjadi sebuah keluarga yang efektif, sebagaimana keluarga dengan orang tua utuh. Asalkan, mereka tak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya dan dengan sadar membangun kembali kekuatan yang dimilikinya... ‘’

Dengan asumsi bahwa single mother adalah juga single parent, maka siapapun dia yang karena sebab-sebab tertentu lalu menjadi ”single mother” sesungguhnya berhak atas kondisi kehidupan berkeluarga yang bahagia dan sejahtera asalkan mau mengupayakannya secara sadar. Untuk bisa mengupayakan dengan ”sadar”, perlu dipenuhi beberapa prasyarat, yakni:

1. Kesediaan menerima kenyataan hidup. Apa yang telah terjadi hendaknya diterima sebagai keniscayaan, dengan tetap bersikap adil dan “objektif” kepada diri sendiri. Di balik serentetan episode kehidupan yang “gelap”, tentu ada hikmahnya bagi perjalanan hidup ke depan.

2. Keputusan menjadi single mother adalah sungguh karena pilihan bebas. Meskipun semula, menjadi single mother adalah karena keterpaksaan, hendaknya dalam perjalanan waktu secepatnya ditransformasikan menjadi keputusan pribadi yang mantap. Tanpa kemantapan hati yang bersifat internal, maka perasaan sebagai single mother hanya akan melekat sebatas “label” dan yang bersangkutan akan terus didera sindrom “mengasihani diri” secara eksesif yang bisa merugikan kesehatan mental.

3. Keberanian mengambil tanggung-jawab atas keputusannya. Setiap keputusan hendaknya ditindaklanjuti dengan eksekusi tindakan konkret. Sebagai single parent, semua hal yang berkait dengan kelangsungan rumah tangga (aktivitas rutin, pengasuhan anak, perekonomian, dsb) harus direncanakan dan dikelola dengan cara-cara yang paling mungkin untuk dilakukan.

4. Tetap bersosialisasi dan terbuka terhadap kemungkinan munculnya aspirasi baru. Sebagai single mother, aktivitas bersosialisasi sangat penting, kendatipun kadang terkendala oleh prasangka masyarakat yang kurang adil. Dengan bersosialisasi terbuka, berbagai kemungkinan pertumbuhan berkembang sebagai manusia sewajarnya. Termasuk di sini, terbuka kemungkinan untuk melepas status single mother bila kekuatan Semesta menghendakinya.

H.M.E. Widiyatmadi Mpsi
Dari: http://www.hidupkatolik.com/2012/11/09/menjadi-single-mother

Tidak ada komentar:

Posting Komentar