WIRUK DAN PENDUPAAN
Kenapa sih harus pakai wangi-wangian dalam
liturgi? Jawabnya, untuk menciptakan suasana atau atmosfir liturgis. Berikut
ini penjelasan yang bagus sekali, dikutip dari buku “Rupa dan Citra” karangan pakar liturgi C.H. Suryanugraha, OSC. "Suasana atau atmosfir liturgis
diciptakan sedemikian rupa agar perayaan liturgi sungguh mengantar jemaat
kepada pertemuan yang Ilahi. Penggunaan unsur-unsur 'cahaya, warna, dan aroma'
dalam Perayaan Ekaristi tentunya perlu diberi perhatian khusus pula.
Unsur-unsur itu tidak layak diabaikan jika kita peduli akan perlunya lebih
mengaktifkan indera (setidaknya indera penglihatan/mata, penciuman/hidung, dan
pendengaran/telinga) kita untuk terlibat dan dapat menangkap sisi-sisi
keindahan dan kesakralan dalam Perayaan Ekaristi." Aturan liturgi dari
Vatikan menyebut, "Pendupaan
merupakan ungkapan hormat dan doa sebagaimana dijelaskan dalam Alkitab (bdk.
Mzm 141:2; Why 8:3)." (PUMR 276 dan Caeremoniale Episcoporum-Tata Upacara Para Uskup CE 84).
Lalu, kapan kita pakai wangi-wangian dupa ini? Apa hanya untuk misa agung di
hari-hari raya? Jawabnya tidak. PUMR
276 mengatakan bahwa dupa boleh digunakan dalam setiap bentuk perayaan ekaristi.
Misa biasa di hari Minggu pun boleh pakai dupa, kalau mau. Dalam perayaan
ekaristi, dupa digunakan waktu perarakan masuk, di awal misa untuk menghormati
salib altar dan altar, waktu perarakan Injil (saat imam atau diakon membawa Injil
dari altar ke mimbar, untuk dibacakan) dan waktu pembacaan Injil. Berikutnya,
ada pendupaan roti dan anggur saat persembahan, lalu pendupaan imam selebran
dan konselebran plus semua petugas liturgi di panti imam dan terakhir umat.
Juga, dupa digunakan waktu konsekrasi. Itu ringkasnya.
Mari kita bahas satu persatu. Waktu perarakan masuk dalam misa, fungsi dupa adalah
untuk membuka dan menyucikan jalur yang dilalui arak-arakan plus sekalian
menyucikan peserta arak-arakan yang jalan di belakangnya. Itu sebabnya pembawa
wiruk jalannya di paling depan, bukannya di belakang pembawa salib. Pendupaan tidak
dipakai saat perarakan keluar dalam misa. Saat ini, pembawa wiruk tentunya
jalan di belakang pembawa salib, bersama misdinar lainnya.
Berikutnya, banyak cara membawa wiruk di banyak tempat di Indonesia kurang
tepat. Dalam perarakan atau saat berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain,
pembawa wiruk memegang pangkal rantai dengan tangan. Dalam perarakan, wiruk
(yang sudah diisi dupa dan berasap tebal) diayunkan ke depan dan belakang,
supaya asap dupa menyebar. Ayunan ini bisa sampai 30 derajat ke depan dan ke
belakang. Di beberapa tempat di luar negeri terlihat ayunan sampai 90 derajat.
Makanya, kalau jalan dalam prosesi jangan mepet-mepet dengan yang di depan.
Selain kurang bagus, juga ada resiko kena ayunan wiruk. Pembawa wiruk yang
menyucikan jalanan sebaiknya memang cuman satu aja, idealnya berjalan di
tengah-tengah. Di Indonesia seringkali ia berpasangan dengan pembawa tempat
dupa dan berjalan bersama-sama. Ini agak melemahkan fungsinya sebagai pembuka
jalan. Cara membawa wiruk yang benar, tanpa didampingi pembawa tempat dupa,
adalah dengan membawa tempat dupa sendiri dengan tangan kiri dan ditempelkan ke
dada, sambil tangan kanan mengayunkan wiruknya.
Setelah arak-arakan sampai di panti imam, pembawa wiruk menghampiri selebran
utama. Dupa ditambahkan lagi, lalu selebran utama mendupai salib altar dan
altar. Nah, selama proses ini pembawa wiruk nggak perlu memegangi kasula
selebran utama. Tradisinya bukan begitu. Seringkali ia malahan terlihat
menarik-narik kasula dan mengganggu gerak selebran utama. Satu kesalahan yang
sering terjadi di awal misa ini, imam tidak perlu didupai sehabis ia mendupai
altar. Imam hanya didupai waktu persembahan.
Tadi kita sudah betulkan cara memegang wiruk dalam prosesi. Sekarang kita
betulkan cara mengayunkan wiruk. Yang benar bukan crik crik crik (tiga ayunan), tapi hanya crik crik (dua ayunan). Jangan keliru dengan banyaknya. Hal
banyaknya memang bisa tiga kali atau dua kali. Tiga kali pendupaan
masing-masing dua ayunan (tribus
ductibus, three double-swings: crik
crik, turunkan, crik crik,
turunkan dan crik crik, turunkan)
digunakan untuk: sakramen mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang
dipajang untuk dihormati secara publik; bahan persembahan; salib altar, Kitab
Injil, lilin paskah, imam dan jemaat (PUMR 277) dan juga jenazah (CE 92). Dua
kali pendupaan masing-masing dua ayunan (duobus
ductibus, two double-swings, crik
crik, turunkan, crik crik,
turunkan) digunakan untuk relikui dan patung orang kudus yang dipajang untuk
dihormati secara publik. Yang terakhir adalah serangkaian ayunan tunggal (singulis ictibus, series of single-swings)
yang dipakai untuk mendupai altar.
Ikhwal pendupaan dan banyaknya ayunan ini diatur dalam PUMR 276-277 dan CE
84-98. Memang, dalam terjemahan bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya, soal
dua ayunan ini kurang disebut jelas. Hanya versi asli dalam bahasa Latin yang
jelas menyebutkan bedanya tribus
ductibus, duobus ductibus dan singulis ictibus. Pakar liturgi Uskup Peter
Elliott menegaskan ini dalam bukunya Ceremonies
of the Modern Roman Rite (Hal 78-81). Pakar rubrik yang lain J.B. O'Connell
membahas hal ini juga dalam bukunya The
Celebration of Mass (Hal 410-428). Kalau mau gampangnya, lihat saja siaran
langsung misa paskah atau misa natal Paus dari Vatikan. Di situ tak ada tiga
ayunan, semuanya dua ayunan. Ada imam yang bercanda, “nggak apa-apa lah tiga kali, supaya mantap.” Wah kalau gitu, sekalian
aja imam kalau memberi berkat pakai tiga tanda salib seperti uskup. Supaya
mantap. Maaf, liturgis memang susah diajak negosiasi.
Yang terakhir, di penghujung Misa Kamis Putih yang paling malam, selalu ada
upacara pemindahan Sakramen Mahakudus. Saat prosesi pemindahan ini, (para)
pembawa wiruk pun tak perlu mendupai Sakramen Mahakudus dengan jalan mundur,
nanti malahan jatuh atau nabrak. Di Vatikan tak ada pendupaan dengan jalan
mundur. Khusus untuk prosesi ini Missale
Romanum memang menyebut bahwa pembawa wiruk jalannya di belakang pembawa
salib dan lilin, persis di depan selebran yang membawa Sakramen Mahakudus dalam
sibori (bukan monstrans) dengan mengenakan velum.
Saya pikir ini agar asap dupa lebih dekat dan melingkupi sakramen mahakudus.
Tetap bukan untuk mendupai Sakramen Mahakudus. Sesekali prosesi ini berhenti,
nah saat itulah dilakukan pendupaan terhadap Sakramen Mahakudus, yang harus
dilakukan sambil berlutut di hadapannya. Memang, Sakramen Mahakudus hanya
didupai sambil berlutut (CE 94), oleh Paus sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar