Sabtu, 20 Oktober 2012

Pemikiran tentang Seminari Menengah

Ketika memahami PP no 55 soal sekolah keagamaan, saya langsung mendapat pencerahan berkaitan dengan rencana keuskupan yang mau membangun seminari menengah. Segera saya menyampaikan beberapa pemikiran saya sebagaimana yang tertuang dalam surat ini. Pemikiran ini saya sampaikan sebelum ada keputusan final pendirian seminari itu.

"Salam Kasih Kristus,

Saya dengar keuskupan Pangkalpinang mau mendirikan seminari menengah. Memang awalnya saya menolak ide tersebut. Penolakan saya bukan tanpa dasar. Namun, setelah saya membaca Peraturan Pemerintah no 55 Thn 2007, tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, saya sedikit mendukung gagasan tersebut. Bagi saya ini adalah kesempatan emas untuk membangun umat. Bukan tidak mustahil, seminari itu bisa “menciptakan” kader-kader atau umat yang cerdas baik dalam pengetahuan umum juga pengetahuan iman.

Kenapa saya katakan “sedikit”, ini lantaran masih harus ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal-hal itu antara lain:
1.      Sesuai dengan PP tadi, seminari harus berada di bawah DEPAG. Meski untuk itu, kita tetap bernegoisasi tentang pengadaan kelas KPB (dan KPA?). Juga soal nama sekolah. Kita harus “rela” tidak menggunakan istilah seminari, walau ke dalam istilah itu yang kita munculkan. Dan mengenai ada tidaknya kelas KPB dan/atau KPA kiranya perlu dibahas secara internal.

2.      Harus sudah siapkan sarana gedung dan fasilitas penunjang. Inipun perlu pembahasan internal untuk menentukan gedung-gedung apa saja yang dibutuhkan agar tidak mubasir kemudian. Satu hal yang perlu diperhatikan, pembangunan sarana itu tidak perlu menggunakan tender segala. Saya pikir, kita sendiri bisa merancangnya. Saya tidak mau kesalahan rancangan Puri Sadhana terulang lagi. Dalam pikiran saya, agar tidak makan tempat, dibuat lantai dua. Ruang kelas di bawah, di atas kamar Pembina. Kecuali asramanya.

3.      Tentukan lokasinya. Saya berharap lokasinya jauh dari keramaian. Kebun Sahang lumayan juga. Namun perlu dipertimbangkan dengan tenaga guru dari luar yang mengajar.

4.      Sosialisasi ide ini kepada umat. Tujuannya agar umat juga tahu dan menyadarinya sehingga muncul kesadaran dalam diri mereka bahwa seminari ini juga merupakan milik mereka. Bukan tidak mungkin mereka akan mengirimkan anak mereka ke seminari. Yang sering terjadi adalah banyak program keuskupan bersifat Top down. Umat yang memikulnya. Ini mirip dengan kritik Yesus terhadap kaum Farisi dan ahli taurat. Jadi, soal jadi tidaknya, saya berharap umat juga didengarkan suaranya. Kalau mayoritas umat tidak setuju, lebih baik kita jangan memaksakan ide kita. Masih banyak program yang belum terlaksana.

5.      Siapkan tenaga SDM-nya mulai sekarang. Jangan tunggu mau jalan dulu baru sibuk cari SDM. Persiapan diri memudahkan mereka untuk menyiapkan materi ajar.

6.      Mengingat keuskupan menyelenggarakan sekolah sendiri, maka harus ada jalinan kerjasama dengan yayasan bidang pendidikan. Tujuannya, agar suatu saat anak-anak yang keluar dapat melanjutkan sekolah di sekolah yayasan.

Demikianlah enam pokok penting yang perlu diperhatikan. Dan itu juga yang menjadi dasar mengapa tadi saya katakan kalau saya “sedikit” mendukung. Ini hanya sumbang saran. Untuk itu, di kalangan imam harus satu suara. Kiranya perlu diundang ahli hukum, bpk Stef Agus untuk dengar pendapat. Mungkin ada masukan dari mereka.

Saya mengusulkan agar nama seminarinya yaitu seminari menengah Mario Jhon Bun. Bersama surat ini, saya mengirim rancangan kurikulum seminarinya."

Mengenai kurikulum silahkan baca di sini. Baca juga soal pelajaran seminari serta kalender akademiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar