Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan
apa yang telah diharamkan Allah dan rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan
Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk. (QS 9: 29)
Pusat
hidup umat islam adalah Al-Qur’an, yang diyakini sebagai wahyu Allah yang langsung
disampaikan kepada Muhammad SAW. Apa yang didengar Muhammad itulah yang
kemudian ditulis dan akhirnya menjadi sebuah kitab yang diberi nama Al-Qur’an.
Dengan perkataan lain, umat islam percaya dan yakin bahwa apa yang tertulis
dalam Al-Qur’an adalah merupakan kata-kata Allah SWT sendiri. Hal inilah yang
membuat umat islam memandang kitab tersebut sungguh suci, sehingga umat islam
menaruh hormat yang tinggi kepadanya. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama artinya
pelecehan kepada Allah SWT. Dalam surah al-Maidah
ayat 33 Allah memerintahkan untuk
membunuh orang yang melakukan hal itu.
Wahyu
Allah dalam Al-Quran dilihat
sebagai keterangan dan pelajaran
yang jelas, karena memang demikianlah yang dikatakan Allah sendiri. Secara
sederhana hal ini dimaknai bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang jelas. Allah telah memudahkan wahyu-Nya sehingga umat bisa
dengan mudah pula memahaminya. Sebagai pedoman dan penuntun
jalan hidup, Allah memberikan keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga
mudah dipahami oleh umat islam. Umumnya
para ulama menafsirkan kata “jelas” di sini
dengan sesuatu yang telah terang benderang sehingga tak perlu susah-susah
menafsirkan lagi pesan Allah itu. Dengan kata lain, perkataan Allah itu sudah
jelas makna dan pesannya, tak perlu banyak ditafsirkan lagi. Maksud dan pesan
Allah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran.
Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan
kehendak Allah sendiri.
Berangkat dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah at-Taubah ayat 29 di atas merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar oleh nabi Muhammad SAW. Dan apa yang disampaikan Allah ini sudah jelas maknanya. Dengan mudah umat akan memahami bahwa umat islam diperintahkan untuk berperang. Yang diperangi di sini adalah orang yang telah diberi Kitab. Jika membaca Al-Qur’an, maka yang dimaksud dengan orang yang telah diberi Kitab adalah orang Yahudi dan Kristen.
Menjadi
pertanyaan: apakah orang Yahudi dan Kristen memenuhi kriteria orang yang harus
diperangi? Dapat dipastikan bahwa baik orang Yahudi maupun Kristen telah
memenuhi kriteria tersebut. Memang mereka beriman kepada Allah, tapi tidak
seperti Allah yang diimani umat islam. Memang mereka beriman kepada hari
kemudian (surga dan neraka), tapi seperti yang dibayangkan oleh umat islam.
orang Kristen jelas-jelas menolak soal haram, karena apa yang diyatakan halal,
tidak boleh diyatakan haram. Baik orang Yahudi maupun Kristen sama-sama tidak
beragama sebagaimana orang islam.
Karena
alasan-alasan di atas itulah makanya orang Yahudi dan Kristen harus diperangi.
Jika mencermati kutipan wahyu Allah di atas secara implisit tampak ada 2
pilihan bagi orang Yahudi dan Kristen yang diperangi. Pilihan pertama adalah
tunduk dengan membayar pajak. Dan pilihan kedua adalah dibunuh. Bisa dipastikan
kalau kutipan ayat di atas merupakan salah satu ideologi terorisme.
Tak
sedikit umat islam menolak pemaknaan perintah perang dengan kriteria alasan dan
pilihan bagi orang-orang yang telah diberi Kitab sebagaimana tertulis dalam
Al-Qur’an. Mereka menolak tafsiran demikian dengan mendasarkan pada pandangan
“Agama mengajarkan kebaikan”. Dengan pendasaran inilah mereka akhirnya
mengatakan bahwa kaum teroris atau umat islam yang mencintai perang telah
membajak ayat-ayat Al-Qur’an, atau telah salah menafsirkan wahyu Allah
tersebut. Dengan perkataan lain, mereka mau mengatakan bahwa tafsiran merekalah
yang benar. Tak sedikit juga umat islam akhirnya membuat semacam rasionalisasi
atau pembenaran diri terhadap tudingan yang terkait dengan wahyu perang Allah
ini. Mereka mengatakan bahwa kutipan ayat di atas harus dilihat dari konteks
waktunya. Artinya, perintah memerangi orang Yahudi dan Kristen hanya berlaku
pada masa Muhammad saja, tidak lagi pada masa kini. Rasionalisasi lainnya
adalah bahwa perang yang diperintahkan Allah dalam kutipan di atas dimaknai
sebagai perang melawan kejahatan, kemasiatan dan juga hawa nafsu.
Benarkah
rasionalisasi demikian? Seratus persen SALAH. Rasionalisasi seperti itu
jelas-jelas bertentangan dengan maksud dan kehendak Allah. Rasionalisasi
berdasarkan konteks waktu membuat bukan saja wahyu Allah di atas tidak lagi
relevan untuk masa sekarang, tetapi membuat Muhammad bukan teladan agung. Dengan
begitu, wahyu Allah tersebut jadi mati. Dan jika demikian wahyu Allah
kehilangan sifat kekalnya. Sedangkan rasionalisasi berdasarkan tafsir baru
jelas tidak sesuai dengan maksud dan kehendak Allah. Dalam kutipan ayat di
atas, perintah perang harus dimaknai sebagai perang yang sesungguhnya, dimana
akan terjadi tindakan membunuh orang Yahudi dan Kristen. Dan jika mereka tidak
mau dibunuh, maka mereka harus membayar pajak.
Makna
perang adalah perang berulang kali ditegaskan oleh Allah dalam beberapa kesempatan.
Misalnya, dalam surah Ali Imran ayat 195, Allah berfirman, “… yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku
masukkan mereka ke dalam surga...” Dan dalam surah at-Taubah ayat 111, Allah
berkata, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh
…” Contoh wahyu Allah lainnya bisa dibaca dalam QS al-Fath: 17; QS al-Baqarah:
216; QS an-Nisa: 74 atau QS at-Taubah: 38.
Dari
kutipan-kutipan wahyu Allah di atas terlihat jelas perintah perang dalam QS at-Taubah
ayat 29 di atas tidak bisa dimaknai dengan tafsiran baru. Perang yang dimaksud
adalah sungguh perang, dimana orang yang berperang akan membunuh, dibunuh atau
terbunuh. Dan perintah ini merupakan perintah bagi umat islam. Pemaknaan lain
tentulah tidak sesuai dengan kehendak Allah. Pemaknaan seperti itu jelas-jelas
hanya untuk menyelamatkan pandangan “Agama mengajarkan kebaikan”, bukannya
melaksanakan perintah Allah. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kaum teroris
sudah sesuai pada jalan Allah, karena mereka sungguh-sungguh melakukan kehendak
Allah.
DEMIKIANLAH
kajian atas wahyu Allah dalam surah at-Taubah ayat 29. Dengan kajian ini, satu
kesimpulan dasar yang bisa diambil adalah tidak ada kedamaian dalam islam
karena islam bukanlah agama kasih, tetapi agama perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar