Orang
Yahudi dan Nasrani berkata, ”Kami adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya.” Katakanlah, “Mengapa Allah menyiksa kamu karena
dosa-dosamu? Tidak, kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang Dia ciptakan.
Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki.
Dan milik Allah seluruh kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara
keduanya. Dan kepada-Nya semua akan kembali.” [QS 5: 18]
Kutipan ayat di atas adalah kutipan ayat
Al-Qur’an. Jika dikatakan Al-Qur’an, pertama-tama orang memahaminya sebagai
kitab suci umat islam, yang terdiri dari 114 surah, mulai dari surah al-Fatihah
hingga surah an-Nas. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan firman yang
berasal dari Allah sendiri. Firman itu disampaikan secara langsung kepada nabi
Muhammad SAW (570 – 632 M). Berhubung Muhammad adalah seorang yang tidak bisa
membaca dan menulis, maka setelah mendapatkan firman Allah itu dia langsung
mendiktekan kepada pengikutnya untuk ditulis. Semua tulisan-tulisan itu
kemudian dikumpulkan, dan jadilah kita yang sekarang dikenal dengan nama
Al-Qur’an. Karena itu, apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan
kata-kata Allah sendiri. Tak heran bila umat islam menganggap kitab tersebut
sebagai sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Penghinaan
terhadap Al-Qur’an adalah juga penghinaan terhadap Allah, dan orang yang
melakukan hal tersebut wajib dibunuh. Ini merupakan kehendak Allah sendiri,
yang tertuang dalam Al-Qur’an.
Berangkat dari keyakinan umat islam ini, maka
kutipan ayat Al-Qur’an di atas haruslah dikatakan
merupakan perkataan Allah. Apa yang tertulis di atas, kecuali yang ada dalam
tanda kurung, merupakan kata-kata Allah sendiri yang disampaikan kepada
Muhammad. Kutipan di atas terdiri dari 2 bagian, yaitu kutipan pernyataan orang
Yahudi dan Kristen, dan pernyataan Allah. Bagian kedua merupakan penjelasan dan
sekaligus tanggapan atas bagian pertama. Artinya, Allah mendengar pernyataan
orang Yahudi dan Kristen di Madinah (berhubung ayat ini turun di Madinah) bahwa
mereka itu adalah anak Allah dan juga kekasih-Nya. Mungkin waktu itu Allah
mendengar orang Yahudi dan Kristen berbicara kepada pengikut Muhammad atau
orang Madinah lainnya tentang status mereka itu. Terlihat jelas Allah tidak
suka dengan pernyataan itu. Karena itulah lahir bagian kedua.
Pernyataan Allah, sebagai tanggapan atas pernyataan orang Yahudi dan Kristen, bisa dibagi dalam dua bagian: [1] tentang dosa dan kuasa Allah mengampuni dosa; [2] tentang Allah sebagai sumber dan tujuan kehidupan. Dapat dikatakan bahwa bagian kedua sama sekali tidak terkait langsung dengan pernyataan orang Yahudi dan Kristen, berbeda dengan bagian pertama. Karena itu, telaah ini akan lebih fokus membahas bagian pertama.
Menanggapi pernyataan orang Yahudi dan
Kristen, pertama-tama Allah mengajukan pertanyaan retoris, “Mengapa
Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” Sekalipun sebenarnya pertanyaan itu
tidak membutuhkan jawaban karena sudah jelas jawabannya, namun Allah menjawab
sendiri pertanyaan tersebut. Kemudian Allah menambahkan beberapa penjelasan,
yaitu bahwa orang Yahudi dan Kristen adalah manusia
biasa. Di balik penjelasan ini hendak dikatakan bahwa sebagai manusia biasa,
orang Yahudi dan Kristen tak akan luput dari dosa. Dan karena dosa juga mereka
tak akan luput dari siksa. Namun manusia bisa lupt dari siksa, bila mereka
mendapat ampunan dari Allah. Siksaan dan ampunan itu datangnya dari Allah.
Apa yang dapat dilihat dari pernyataan
Allah yang menanggapi pernyataan orang Yahudi dan Kristen ini? Kesimpulan apa
yang bisa ditarik dari telaah ini?
Pertama-tama kita kembali menemukan
penegasan akan salah satu karakter Allah-nya umat islam, yaitu suka mencampuri
urusan orang lain. Sibuk mencampuri atau
mengurusi orang lain sepertinya menjadi ciri Allah islam. Allah yang sibuk
mengomentari pernyataan orang lain. Sepertinya ciri Allah ini menjadi ciri umum islam. Hanya
islam saja agama yang sibuk mengurusi agama lain. Misalnya, mengatakan kitab
suci agama lain palsu, mengatakan yang bukan islam adalah kafir atau mengatakan
bahwa Yesus tidak mati di salib. Ada kesan kalau ciri ini merasuk juga ke dalam
kehidupan para pemeluk islam. Karena itu, sekali pun sekolah negeri, tapi siswi non muslim wajib
pakai jilbab demi menciptakan akhlak; atau saat bulan Ramadhan umat lain harus
menghormati umat islam yang puasa. Atau bisa ditemukan
juga pada komentar seorang ustad, “Pada salib ada jin kafir”, atau Allah orang
Kristen ada tiga.
Ada banyak contoh ayat Al-Qur’an yang
memberikan gambaran Allah yang suka mencampuri urusan orang lain.
Misalnya surah al-Baqarah ayat 111. Berbeda dengan kutipan ayat di atas, dalam
surah al-Baqarah ini Allah mencampuri urusan orang lain, yang kebenarannya
masih diragukan. Artinya, benarkah orang Yahudi dan Kristen mengeluarkan
pernyataan itu? Apakah pernyataan orang Yahudi dan Kristen itu merupakan
pendapat pribadi atau memang benar ajaran agamanya? Jika dikritisi, pernyataan
orang Yahudi dan Kristen dalam surah al-Baqarah itu bukanlah sebuah ajaran
agama, melainkan pendapat pribadi orang biasa (umat awam). Dan ini pula yang
ditanggapi Allah. Dalam kutipan di atas (QS al-Maidah 18), dapat dipastikan
bahwa memang orang Yahudi dan Kristen punya pendapat demikian; dan itu ada
dalam ajaran agamanya. Namun sayang, Allah gagal paham akan pernyataan tersebut
sehingga bisa dipastikan tanggapannya pun keliru. Tentulah bagi orang Yahudi
dan Kristen, tanggapan Allah itu terlihat bodoh.
Ketika mendengar pernyataan orang Yahudi dan Kristen sebagai “anak dan kekasih Allah”, Allah SWT
beranggapan bahwa orang Yahudi dan Kristen tentulah tidak bisa berdosa. Dan
karena tak bisa berdosa, maka pastilah orang Yahudi dan Kristen tidak akan
mendapat siksa. Jadi, Allah umat islam berpikir bahwa sebagai “anak dan kekasih
Allah” orang Yahudi dan Kristen tidak ada dosa dan tidak mendapat siksa karena
dosa. Padahal, dalam penglihatan ternyata orang Yahudi dan Kristen masih
mendapatkan siksa, dan karena itu tentulah mereka berdosa.
Memang orang Yahudi dan Kristen punya
pendapat bahwa diri mereka adalah “anak dan kekasih Allah”. Gelar sebagai “anak
Allah” dan juga “kekasih Allah” banyak dijumpai dalam kitab suci orang Yahudi
dan Kristen. Gelar ini hendak menunjukkan relasi yang begitu dekat antara umat
Yahudi dan Kristen dengan Tuhan Allah. Hubungan Allah dengan manusia tidak
hanya terbatas pada relasi Allah dan umat saja. Dalam agama Yahudi dan Kristen,
ada banyak analogi yang menggambarkan relasi Allah dan manusia. Selain memakai
istilah “anak Allah” dan “kekasih Allah”, dapat dijumpai juga dalam kitab suci
kedua agama ini istilah lain lagi, seperti “sahabat Allah” (Keb 7: 14) atau
“kawanan domba” (karena Allah dilihat sebagai Gembala, bdk. Mazmur 23), dan masih banyak lagi. Gelar “anak Allah” mau diperdamaikan dengan
sapaan Allah sebagai “Bapa”. Istilah “anak Allah” banyak ditemui dalam kitab
Perjanjian Baru. Sedangkan gelar “kekasih Allah” hendak menunjukkan gambaran
relasi antara Allah dengan orang Yahudi dan Kristen sebagai relasi suami –
istri.
Akan tetapi, sebagai “anak dan kekasih
Allah” bukan lantas berarti bahwa orang Yahudi dan Kristen tidak bisa berdosa
dan tidak bisa mendapat siksaan. Ini pandangan yang salah. Dengan demikian,
pandangan Allah SWT adalah salah. Harus dipahami bahwa sebagai “anak dan
kekasih Allah”, orang Yahudi dan Kristen tak jauh beda dengan orang biasa
(dalam hal ini pandangan Allah benar). Baik orang Yahudi maupun Kristen,
sama-sama berpendapat bahwa gelar sebagai “anak Allah” dan juga “kekasih Allah”
tidak membuat mereka mendapat keistimewaan dari dosa dan siksa. Namun, entah
kenapa Allah SWT berpikiran orang Yahudi dan Kristen mendapatkan keistimewaan
itu; entah dari mana pemikiran itu didapat. Kesadaran orang Yahudi maupun Kristen
bahwa sekalipun mereka berdosa mereka tetap sebagai “anak dan kekasih Allah”
lahir dari kepercayaan mereka akan Allah yang maharahim, maha kasih dan penuh
belas kasihan. Kitab Wahyu menulis, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor
dan Kuhajar.” (3: 19). Kasih sayang Allah tampak dari tegoran dan hajaran-Nya,
karena seperti kata pemazmur, “Tuhan telah menghajar aku dengan keras, tetapi
Ia tidak menyerahkan aku kepada maut.” (Mzm 118: 18). Ini kembali ditegaskan
oleh penulis kitab Ibrani, “Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya dan Ia
menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (12: 6). Penulis kitab Ibrani
membuat perbandingan dengan seorang ayah yang menghajar anaknya, dimana itu
dilakukan karena kasih. “Dimanakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh
ayahnya?” (Ibr 12: 7).
Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa ayat
Al-Qur’an di atas, terlebih pernyataan Allah bagian pertama, hendak menunjukkan
dua hal. Pertama, Allah sibuk
mencampuri urusan orang lain. Kalau agama lain menganalogkan relasi Allah
dengan manusia dengan berbagai istilah, kenapa Allah begitu sewot. Mungkin
dalam islam relasi itu hanya sebatas Allah dan umat saja sehingga istilah yang
dikenal hanyalah “umat Allah”. Menjadi sedikit persoalan adalah apa yang
disibuk-urusi Allah itu ternyata keliru dipahami. Hal ini menunjukkan hal kedua, yaitu Allah terlihat bodoh. Karena gagal paham, maka Allah terlihat
tampil bodoh. Ini ibarat pelayan orang Jawa di rumah makan menawarkan hidangan,
“Ini jangan. Ini juga jangan. Itu jangan.” Lantas tamunya yang non Jawa
berkomentar, “Kalau semuanya jangan, apa yang bisa dimakan?” Bukan tidak
mustahil akan muncul komentar miring tentang orang Jawa. Seperti itulah
Allah-nya umat islam. Sedikit perbedaannya, Allah itu mahatahu, sedangkan orang
non Jawa tadi tidak tahu. Tentulah orang waras, yang percaya Allah itu
mahatahu, akan bertanya, koq ada
Allah seperti itu?
DEMIKIANLAH telaah atas surah al-Maidah
ayat 18. Di atas sudah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas adalah perkataan
Allah sendiri. Namun ketika ditelaah terlihat Allah begitu bodoh, orang
tentunya akan meragukan kalau ayat itu berasal dari Allah. Bagaimana mungkin
Allah yang mahatahu bisa keliru. Bagaimana mungkin Allah yang maha sempurna
bisa salah. Bagi orang yang punya akal sehat pastilah akan mengatakan bahwa
kutipan ayat di atas merupakan hasil rekayasa manusia. Hanya manusia yang suka
sibuk mencampuri urusan orang lain. Dan hanya manusia saja, yang karena
keterbatasannya, bisa tampil bodoh.
Lingga, 28 September 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar