Sering
dijumpai pernyataan bahwa apapun agamanya, tujuannya satu. Di sini mau
dikatakan bahwa agama hanyalah sekedar cara atau jalan untuk mencapai tujuan
tersebut. “Ada banyak jalan menuju Roma”, demikianlah pepatah lama
merangkumnya. Umumnya yang dimaksud dengan “tujuan” itu adalah sorga atau
kebahagiaan abadi, dan di belakang sorga itu ada Allah. Karena itu juga, di
balik pernyataan itu, ada satu kesimpulan bahwa apapun agamanya, Tuhan Allah
itu hanya satu. Allah agama ini sama dengan agama itu.
Apakah
islam memiliki pemikiran seperti ini? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
Allah umat islam berbeda dari Allah umat agama lain. Malah islam berpendapat
bahwa tiap-tiap agama mempunyai Allah-nya sendiri. Hal ini didasarkan pada wahyu
Allah dalam QS al-Baqarah: 62:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya….
Huruf
tebal dalam kutipan di atas (Tuhannya) sengaja kami buat untuk memberi tekanan,
sedangkan frase dalam tanda kurung – di
antara mereka – bisa dikatakan merupakan tambahan kemudian yang berasal
dari manusia, bukan wahyu asli Allah SWT. Jika kita membaca atau memperhatikan
ayat sebelumnya (61) dan ayat sesudahnya (63), maka dapat dikatakan bahwa ayat
62 ini berdiri sendiri. Ia sama sekali tidak ada kaitan, baik langsung maupun
tidak langsung, dengan ayat 61 dan 63. Ada kemungkinan ayat ini disampaikan
khusus kepada umat islam atau para pengikut Muhammad. Namun terbuka juga
kemungkinan bahwa ayat ini dikatakan kepada publik, tidak hanya khusus umat
islam saja. Dengan pernyataan ini, umat-umat agama lain disadarkan bahwa mereka
akan mendapat pahala dari Tuhannya atas kebaikan yang dilakukan.
Yang
dimaksud dengan “orang-orang yang beriman” dalam ayat di atas adalah umat
islam. Frase tersebut sering dijumpai dalam Al-Qur’an, dan semua itu merujuk
pada umat islam. Dalam ayat 62 ini terlihat jelas bahwa masing-masing agama
memiliki Tuhannya sendiri. Dengan kata lain, Tuhan orang islam berbeda dengan
Tuhan orang Yahudi, nasrani dan Sabiin, demikian pula Tuhan orang Yahudi
berbeda dengan Tuhan orang islam, nasrani dan Sabiin, dan seterusnya. Hal ini
terbaca pada frase “mereka mendapat pahala dari Tuhannya”. Kata “Tuhannya”
menunjukkan sekaligus menegaskan bahwa Tuhan itu berbeda-beda berdasarkan agama
umat manusia.
Karena
itu, dapat disimpulkan bahwa setiap agama mempunyai Tuhannya sendiri, yang
berbeda satu dengan yang lain. Agama islam memiliki Tuhannya sendiri, agama
Yahudi punya Tuhannya sendiri, agama Kristen ada Tuhannya sendiri dan agama
Sabiin juga memiliki Tuhannya sendiri. Apakah islam juga berpendapat bahwa
masing-masing Tuhan itu hanya fokus pada umat-Nya saja?
Sangat
menarik jika kita membaca QS ar-Rad: 14, “… Dan doa orang-orang kafir itu,
hanyalah sia-sia belaka.” Siapa itu orang kafir? Secara sederhana, orang kafir
adalah orang bukan islam, karena mereka tidak menerima Al-Qur’an sebagai kitab
suci dan Muhammad sebagai nabi. Jadi, orang kafir itu adalah orang Yahudi,
orang Kristen dan juga orang Sabiin, orang yang dalam surah al-Baqarah di atas
dikatakan mempunyai Tuhan. Dan karena masing-masing mereka punya Tuhan, maka pastilah
mereka juga akan berdoa kepada Tuhannya. Namun bagi umat islam, berdasarkan
surah ar-Rad ini, doa orang Yahudi, orang Nasrani dan orang Sabiin, yang
dipanjatkan kepada Tuhannya masing-masing, adalah sia-sia. Jadi, Tuhannya islam
tidak hanya fokus mengurus umat islam saja, tetapi juga umat agama lain. Kenapa
islam mencampurni urusan doa orang kepada Tuhannya? Ada kesan bahwa orang-orang
kafir itu harus berdoa kepada Tuhannya islam agar tidak sia-sia.
Lebih
parah lagi bila surah al-Baqarah ini dikaitkan dengan QS al-Furqan: 23 dimana
dikatakan bahwa Allah SWT (Tuhannya umat islam) akan menghancurkan bagaikan
debu amal baik orang kafir. Ayat inilah yang dipakai umat islam ketika
mengkritik aksi Basuki Tjahaya Purnama (BTP), yang saat menjabat Gubernur DKI
Jakarta, menyerahkan puluhan ekor sapi untuk kurban saat Idul Adha. Mereka
mengatakan bahwa kebaikan BTP adalah sia-sia, karena dihancurkan oleh Allah
SWT. Artinya, amal kebajikan BTP menjadi sia-sia. Sekali lagi terbukti bahwa
Tuhannya umat islam tidak hanya fokus mengurus umat islam saja, tetapi Dia
mencampuri urusan umat agama lain.
Menjadi
pertanyaan, bukankah dalam surah al-Baqarah sudah dikatakan bahwa BTP akan mendapat
pahala dari Tuhannya atas kebaikan yang dilakukannya. Kenapa Tuhannya umat islam
menghancurkannya? Kenapa Tuhannya umat islam sibuk mencampuri urusan kebaikan
umat agama lain? Kenapa Tuhannya umat islam tidak membiarkan Tuhannya orang
Kristen memberikan pahala atas kebaikan yang telah dilakukan dan membiarkan
mereka menikmati pahala itu?
Dari
semua ini, bisa ditarik beberapa kemungkinan. Pertama, Tuhannya umat islam adalah Allah yang tidak suka melihat
kebaikan dilakukan oleh umat lain. Ada semacam sifat iri hati dalam diri
Tuhannya umat islam. Jadi, secara sederhana bisa dikatakan Tuhannya orang islam
itu cemburuan. Kedua, Tuhannya umat
islam suka mencampuri urusan orang lain. Hal ini berlatar-belakang pada sifat
iri hati tadi. Karena cemburu, maka Tuhan sibuk mencampuri perkara orang lain;
bahkan terkesan ingin memaksakan kehendaknya. Jadi, secara sederhana bisa
dikatakan Tuhannya orang islam itu reseh. Ketiga,
ada kesan Tuhannya umat islam curiga pada kebaikan dan doa yang dipanjatkan
oleh umat agama lain. Jangan-jangan semua itu untuk menghancurkan Diri-Nya dan
umat-Nya. Karena itulah, semua itu dijadikan sia-sia. Jadi, secara sederhana
bisa dikatakan Tuhannya orang islam itu paranoid atau parno. Keempat, ada kesan Tuhannya umat islam
ingin menjadi penguasa tunggal. Dia memiliki keinginan untuk mengalahkan
Tuhannya umat agama lain dengan cara memusnahkan amal kebaikan umat tersebut.
Tuhannya umat islam mau menganggap remeh Tuhannya umat agama lain dengan
menganggap doa umatnya sia-sia. Jadi, secara sederhana bisa dikatakan Tuhannya
orang islam itu arogan.
Dabo Singkep, 6 Agustus 2020
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar