Senin, 27 Januari 2020

TINJAUAN KRITIS ATAS BUKU SEJARAH TUHAN


Salah satu ciri khas buku-buku Karen Armstrong adalah memuji islam, dan pujian tersebut dapat dikatakan ‘jauh panggang dari api’. Kenapa Karen melakukan hal ini? Patut diduga salah satu alasannya adalah popularitas, baik dirinya maupun bukunya. Di balik itu semua tentulah uang. Karena itu, buku-buku Karen termasuk best seller, dan popular di kalangan islam. Di Indonesia sendiri, buku-buku Karen diterjemahkan oleh penerbit Mizan, salah satu penerbit islam. Dapat dipastikan, Penerbit Mizan mau menerbitkan buku-buku Karen karena tulisan-tulisan Karen bernada positif terhadap islam. Karena itu, dalam buku Sejarah Tuhan ini Penerbit Mizan tetap menyisipkan wawancara Amazon.com dengan Karen Armstrong. Sebenarnya wawancara tersebut tidak ada dalam buku aslinya, karena wawancara itu diadakan setelah terbitnya Sejarah Tuhan. Jadi, Mizan segaja melampirkannya kembali karena dalam wawancara itu pujian terhadap islam begitu nyata.
Bagaimana bisa menjadi best seller? Sepertinya Karen pintar membaca karakter orang islam, Kristen dan masyarakat lainnya. Umumnya umat islam memiliki tipe emosional, melihat sesuatu berdasarkan perasaan. Karena itu, salah satu ciri khas karakter islam adalah suka bila agamanya dipuji. Umat islam bukan hanya senang, tetapi akan membela. Terkait dengan buku, tentulah buku itu akan dibeli. Kalau buku yang menjelek-jelekkan islam, bukan saja tidak akan dibeli tetapi pasti musnah dibakar api. Sedangkan orang Kristen lebih menggunakan akal sehat. Apa pun yang dihadapinya akan ditelaah dengan akal budi. Karena itu, buku Karen, sekalipun agak bernada negatif terhadap kekristenan, tetap dibaca dengan kritis. Artinya, buku itu tetap akan dibeli. Sementara itu, tak sedikit juga orang memiliki karakter melawan arus umum. Banyak orang suka membaca buku-buku yang lain dari biasanya.
Positif Negatif Buku Ini

Patutlah diakui bahwa “tak ada gading yang tak retak”. Demikian halnya dengan buku Karen Armstrong ini, tak juga luput dari kekurangan atau kelemahan. Namun sebelum melihat kekurangan dan kelemahannya, terlebih dahulu kita uraikan sisi positif buku ini.
Pertama-tama harus diakui, seperti kata Robert Runcie, bahwa buku ini menyegarkan pemahaman tentang apa yang sudah diketahui dan memberikan pengenalan yang jelas tentang yang tak diketahui. Pemikiran-pemikiran para teolog, filsuf dan sufi benar-benar menyegarkan memori akan bahan kuliah dulu, namun tak sedikit juga pencerahan yang didapat dari buku ini. Ada banyak pengenalan yang tak diketahui; di antaranya adalah sbb:
·        Ideologi muruwah (hlm 188). Ideologi ini sudah menjadi darah daging orang Arab dan tetap lestari sekalipun Arab sudah menjadi islam. Dari sini kita dapat memahami karakter orang islam dimana pun, sekalipun mereka bukan orang Arab. Hal ini membuktikan kaitan erat antara Arab dan islam, yang tidak bisa dipisahkan.
·        Setan mendapat pengampunan di Hari Akhir (hlm. 207). Pernyataan ini didasarkan pada ajaran Al Qur’an, namun sayangnya Karen tidak mengutip surahnya.
·        Ada usaha Muhammad untuk mendekatkan agama islam ke Yahudi (hlm. 212). Dengan kata lain, Muhammad berusaha untuk membuat islam mirip dengan agama Yahudi. Mungkin tujuannya untuk menarik orang Yahudi masuk islam. Hal ini seakan membenarkan apa yang sudah kami nyatakan dalam “Muhammad Membawa Islam Kembali ke Tradisi Yahudi”.
·        Konflik antara Bernardus dan Petrus Abelardus (hlm. 274 – 275). Informasi ini benar-benar dapat menggugat gelar yang disandang Bernardus.
·        Sikap toleransi yang ditampilkan Kaisar Moghul III (hlm. 346 – 347). Namun sebagaimana nasib orang islam yang toleran lainnya, Kaisar Moghul III ini juga banyak ditentang. Mereka melihat sikap toleran berbahaya bagi keimanan islam. Hal ini seakan membuktikan islam bukanlah agama toleran.
·        Pada halaman 462 ada satu pernyataan menarik, yaitu “Eropa telah menegakkan hegemoni ekonomi dan kultural selama abad kesembilan belas atas nama modernisasi.” Yang dimaksud dengan “kultural” lebih pada budaya, tidak ada kaitannya dengan agama. Pernyataan ini menarik karena mematahkan argumentasi yang berkembang selama ini bahwa penyebaran kekristenan dilakukan oleh negara kolonial.
Masih ada banyak pengenalan baru lainnya. Yang jelas buku ini sungguh menambah wawasan pengetahuan, tidak hanya tentang Tuhan, yang menjadi topik utama bahasan buku ini, tetapi juga sejarah manusia umumnya dan tentang perkembangan agama. Hal ini dibantu dengan terjemahan Indonesianya lumayan bagus, sehingga seperti kata Anthony Burgess buku ini sangat enak dibaca, bahkan perlu dibaca.
Melihat sumber-sumber telaah Karen dalam buku ini membuat isi buku ini sungguh dapat dipertanggung-jawabkan. Akan tetapi, sekalipun dapat dipertanggung-jawabkan bukan lantas berarti buku ini sudah sempurna. Masih ada beberapa kelemahan yang harus diungkapkan. Misalnya, tidak adanya pembagian sub-sub bab dalam setiap uraian bab, yang berisi tema-tema khusus perkembangan sejarah Tuhan, membuat pembaca letih membacanya.
Kekurangan lain dari buku ini, khususnya edisi Indonesia, adalah soal terjemahan. Memang secara umum terjemahan Mizan sangat bagus dan enak dibaca. Namun sayang, ada beberapa kata tidak benar-benar diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia. Misalnya beberapa nama Kristen seperti Justin, Origen, Denys, Basil, Gregory, dll (seharusnya Yustinus, Origenes, Dionisius, Basilius, Gregorius). Konsili Trente pun masih ditulis Konsili Trent dan Society of Jesus tak bisa diterjemahkan padahal publik Indonesia sudah familiar dengan Serikat Yesus.
Selain itu, seperti yang telah disampaikan di depan, sikap Karen terhadap tiga agama yang menjadi topik bahasan buku ini tidak berimbang. Dan ternyata sikap Karen ini sudah menjadi ciri khas dirinya, sehingga sikap Karen ini dapat juga dilihat dalam buku-bukunya yang lain (baca Tinjauan Kritis Buku Perang Suci). Dalam buku ini Karen membahas 3 agama, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Terhadap agama islam, Karen lebih banyak memuji, bersikap positif, sedangkan terhadap agama Yahudi Karen lebih banyak terlihat netral, dan kepada agama Kristen Karen bersikap negatif. Misalnya, ketika menyinggung soal pandangan agama terhadap kaum perempuan, Karen lebih menilai negatif terhadap agama Kristen (hlm 176 – 177, 218) sedangkan islam terlihat positif (hlm 218 – 219). Atau soal kekeliruan yang dilakukan Muhammad, namun dirasionalisasikan oleh Karen (hlm. 207). Pada halaman 473 Karen menilai bahwa agama Kristen bersifat irasional, percaya pada takhayul dan paganis.
Sikap “anti” atau benci kepada kekristenan sekalipun dirinya lahir tumbuh dan besar dari sana, berimbas juga pada sikap benci pada Barat. Misalnya dalam menilai soal hak hukum bagi kaum perempuan (hlm. 218), dan pada halaman 470 Karen mengungkapkan kebencian Barat yang begitu mendalam terhadap Nabi Muhammad dan islam. Hal ini menjadi dasar munculnya istilah islamphobia. Sangat disayangkan Karen tidak sedikit mengupas soal kebencian ini: apa dasar dan alasannya. Dapat dikatakan tudingan Karen ini tidak berdasar, malah memutar balik kenyataan (silahkan baca: Memahami Islamphobia).
Karen banyak memuji islam tanpa dasar. Misalnya, pada halaman 216 dikatakan bahwa hingga wafatnya, umat islam terlibat dalam pertempuran untuk bertahan melawan musuh-musuh yang berniat menghancurkan mereka. Pernyataan ini bertentangan dengan kebanyakan sejarah. Contoh lain, Karen memuji bahwa Al Qur’an memberikan perempuan hak-hak hukum dalam soal warisan dan perceraian. Hal ini bertentangan dengan begitu banyak kajian tentang wanita dalam islam. Pujian lain terhadap Al Qur’an misalnya dengan mengatakan “Al Qur’an menetapkan terwujudnya kasih sayang dan masyarakat yang adil sebagai esensi agama Allah yang telah direformasi” (hlm. 501) atau Al Qur’an bersikap sangat positif terhadap tradisi agama lain (hlm 505). Sangat jelas pujian ini ‘jauh panggang dari api’.
Ketika ada cacatan “buruk” Muhammad yang berhasil digoda setan sehingga melahirkan ayat-ayat setan, Karen masih tetap membela Muhammad. Karen tidak melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif. Pertama-tama Karen menyinggung soal sumber (hlm. 205 – 206), yang secara tersirat hendak mengatakan bahwa peristiwa tersebut harus diragukan. Lantas Karen mencoba merasionalisasikan “kekeliruan” Muhammad ini dengan kekeliruan yang juga terjadi pada nabi-nabi lainnya (hlm. 207), meski Karen tidak menyebutkan contohnya. Karen sengaja tidak menyebutkan contohnya karena akan terlihat betapa bodohnya dan patut diragukan kenabian Muhammad dengan kekeliruan yang dialaminya.
Beberapa catatan kritis.
Sekalipun uraian Karen Armstrong dalam bukunya ini ditunjang oleh sumber-sumber literatur yang dapat dipercaya, bukan lantas berarti seluruh uraiannya adalah sebuah kebenaran. Karena ternyata Karen tidak sepenuhnya memaparkan pandangan-pandangan ahli sebelumnya apa adanya, tetapi telah memberikan tafsiran pribadinya. Karena itulah, buku ini masih harus dikritisi. Kami hanya menampilkan beberapa catatan kritis saja.
1.   Rekayasa kenabian Muhammad. Ketika membaca dari halaman 189 hingga halaman 214, kita dapat menemukan rekayasa kenabian Muhammad. Artinya, gelar nabi hanyalah ide Muhammad tanpa ada kaitan langsung dengan Allah. Hal ini mirip seperti yang dipaparkan Lesley Hazelton dalam bukunya Muslim Pertama. Pada buku Muslim Pertama, diawali dari masa kecil Muhammad, yang tidak diterima dalam lingkungan keluarganya. Dia dibuang. Pengalaman pahit ini tentu membekas sehingga menimbulkan obsesi di masa remajanya. Uraian berikutnya sudah sejalan dengan buku Sejarang Tuhan ini. Kita uraikan poin-poinnya:
a)   Pada halaman 189 tertulis, “para saudagar yang bepergian ke Suriah atau Irak membawa pulang kisah-kisah mengagumkan tentang kehebatan peradaban.” Kalimat ini melanjutkan informasi bahwa orang Arab dikepung oleh dua imperium besar, yaitu Persia Sassnian dan Byzantium (kristen). Istri Muhammad termasuk kelompok saudagar. Dia sering juga bepergian didampingi oleh Muhammad. Bukan tidak mustahil, Muhammad mendapat banyak informasi tentang kekristenan, sekalipun informasi yang diterimanya keliru. Dari informasi yang diterimanya, ditambah dengan obsesinya, Muhammad akhirnya mulai menyusun rancangan dirinya sebagai nabi orang Arab.
b)   Ternyata obsesi Muhammad adalah juga mimpi orang Arab pada umumnya. Karen mengungkapkan adanya rasa inferioritas spiritual di antara orang Arab (hlm. 191). Hal ini didukung penelitian sejarahwan Kristen Palestina, Sozomenos, yang mengemukakan bahwa pada awal abad kelima ada usaha pencarian terhadap agama asli Ibrahim (hanifiyyah). Ada 4 orang hanif, namun yang disebut Karen hanya 3. Tidak jelas siapa hanif keempat. Namun peristiwa di gua Hira dengan tokoh utamanya Muhammad, membuat orang berspekulasi bahwa Muhammad adalah hanif keempat itu (hlm 192). Namun yang jelas, obsesi Muhammad untuk tampil menjadi orang penting di tengah masyarakatnya (sebagai balas atas pembuangan yang dialaminya pada masa kecil), sejalan dengan obsesi orang Arab umumnya akan rasa inferioritas spiritual.
c)   Pada halaman 213 – 214, Karen menulis, “Pengetahuan baru tentang kitab suci ini juga membantu Muhammad mengembangkan pandangan-pandangannya sendiri.” Mungkin dapat dikatakan bahwa yang dimaksud ‘pandangan-pandangannya sendiri’ adalah wahyu-wahyu, yang diklaim berasal dari Allah SWT. Padahal semua itu berasal dari pengenalannya akan kitab suci orang Yahudi dan Kristen. Tanpa sadar Karen menegaskan hal ini, “Dari orang-orang Yahudi Madinah yang bersikap bersahabat, Muhammad juga belajar tentang kisah Ismail…” (hlm. 214).
Demikianlah terlihat rekayasa kenabian Muhammad. Sejak kecil sudah muncul dalam dirinya obsesi menjadi pemimpin, dihargai, bahkan ditakuti orang-orang, sebagai dampak dari penderitaan yang dialaminya akibat dibuang. Dalam perjalanan sejarah, dia menemukan “pintu masuk”, yaitu melalui agama. Setelah berkenalan dengan kekristenan dan Yahudi, Muhammad mulai menyusun strategi, masuk dalam usaha pencarian agama asli Ibrahim. Lalu dari gua Hira muncullah klaim kenabiannya. Orang Kristen dan Yahudi di Arab langsung menolaknya, pertama-tama karena “wahyu” yang disampaikan, yang katanya berasal dari Allah SWT, mirip tapi tak sama, malah ada yang keliru.
2.   Sumber pengetahuan. Karen menulis bahwa Muhammad telah mendapatkan pemahaman luar biasa tentang realitas ilahi (hlm. 194). Sekilas pernyataan ini merupakan pujian khas Karen. Namun sayang, Karen tidak berani secara langsung menyebut dari mana sumber pengetahuan Muhammad itu, karena takut akan ketahuan rekayasa kenabian Muhammad. Padahal pada halaman-halaman lain terungkap sumber tersebut. Misalnya, pada halaman 189 dikatakan bahwa para saudagar biasa bepergian ke tempat-tempat lain dan membawa peradaban dari tempat lain. Peradaban ini tidak hanya sebatas budaya tetapi juga agama. Kadijah, yang kemudian menjadi istri Muhammad yang pertama, adalah juga seorang saudagar, ia juga sering bepergian didampingi Muhammad. Artinya, bukan tidak mustahil Muhammad menyerap beberapa pengetahuan tentang agama Ibrahim (Yahudi dan Nasrani). Dengan kata lain, Muhammad sudah bersentuhan dengan Alkitab dan Taurat sebelum menerima wahyu. Karena itu, pada halaman 213 Karen menulis bahwa pengetahuan baru tentang kitab suci itu membantu Muhammad mengembangkan pandangannya (wahyu?).
3.   Al Qur’an kontra sejarah. Pada halaman 198 Karen menulis “Al Qur’an tidak mengajarkan sesuatu yang baru kepada kaum Quraish.” Dapat dipastikan ini merupakan pujian Karen terhadap Al Qur’an. Senada dengan ini, Karen mengatakan bahwa umat islam dituntut untuk menghargai aspirasi keagamaan lain (hlm. 210), dan bahwa “Al Qur’an tidak mencela tradisi keagamaan lain sebagai hal yang keliru atau tidak lengkap.” (hlm. 211). Di sini terlihat bahwa pujian Karen terhadap Al Qur’an ini benar-benar tidak berdasar karena bertentangan dengan kenyataan. Fakta historis mengatakan bahwa ada banyak tradisi Quraish yang dibinasakan, meski tak sedikit juga yang berhasil diislamkan. Sementara itu Al Qur’an menyalahkan keyakinan orang Kristen dan juga sejarah umum bahwa yang mati di kayu salib itu adalah benar-benar Yesus.
Apa yang ditulis Karen ini dapat ditemukan pertentangan dalam tulisannya sendiri. Pada halaman 197 Karen menulis “Mereka [kaum Quraish, saya] secara implisit telah beriman kepada Allah, yang menciptakan langit dan bumi, dan kebanyakan dari mereka meyakininya sebagai Tuhan yang disebah oleh orang yahudi maupun Kristen.” Jika memang benar Al Qur’an tidak mengajarkan sesuatu yang baru dan tidak mencela tradisi keagamaan lain, kenapa Al Qur’an menyebut mereka (kaum Quraish, orang Yahudi dan Kristen) sebagai kafir, yang merupakan bentuk penghinaan? Selain itu Karen juga menyebut bahwa kaum Quraish tersinggung ketika dewa-dewi mereka direndahkan Al Qur’an (hlm. 212). Sungguh bertentangan dengan pernyataan awal.
4.   Pujian terhadap islam. Seperti yang telah disampaikan, Karen Armstrong terlihat sangat positif terhadap islam, tetapi negatif dan penuh curiga juga kebencian terhadap kekristenan. Karena itu, ketika membahas bab 4 tentang Tuhan Kristen, Karen memulainya dengan kontroversi trinitas dan berlanjut dengan kontroversi konsep creation ex nihilo. Ada kesan yang mau dibangun di sini bahwa konsep Tuhan atau ajaran Kristen itu tidak jelas atau penuh kontroversi, meski pada bab pendahuluan Karen menyatakan bahwa dirinya disadarkan oleh para rabi, pendeta dan sufi agar tidak berharap mengalami Tuhan sebagai fakta obyektif yang bisa ditemukan melalui proses pemikiran rasional biasa (hlm. 21). Berbeda ketika Karen membahas bab 5 tentang Tuhan Islam, dimana dia memulai dengan nada positif, pujian kepada Muhammad, seolah-olah Muhammad murni mendapatkan wahyu dari Allah tanpa pernah bersentuhan dengan tradisi agama sebelumnya. Hanya sayangnya, pujian Karen ini tidak punya dasar yang kuat. Kita dapat mengajukan pertanyaan kritis: darimana Karen tahu bahwa Muhammad tidak pernah membaca atau mendengar kisah dalam Alkitab. Padahal pada halaman 189, 212 – 214 dapat dikatakan bahwa Muhammad pernah bersentuhan dengan kitab suci orang Yahudi dan Kristen.
Ketika menyinggung Marguerite-Marie, yang dituding penderita neurotik dan punya perasaan negatif terhadap seks (hlm. 412), Karen seakan membenarkan. Tidak ada komentar lanjut. Dia menampilkan informasi itu apa adanya tanpa memberi pendapat, sehingga pembaca bisa saja menyimulkan bahwa memang Marguerite-Marie demikian adanya. Akan tetapi, terhadap Muhammad, yang dituding banyak ahli menderita epilepsi, obsesi dan gila seks, Karen berusaha menutup mata. Malah semuanya ditutup secara spiritual, bahwa Allah benar-benar hadir (hlm. 193 – 195). Bahkan Karen memuji Muhammad sebagai seorang jenius yang sangat luar biasa, yang dalam waktu singkat berhasil menyatukan hampir semua suku Arab (hlm. 190). Tentulah umat islam sangat senang dengan pujian ini dan menyimpulkan bahwa Karen ada di pihaknya. Namun perlu diketahui bahwa salah satu ciri seorang psikopat adalah jenius. Bukan tidak mustahil ada indikasi kepribadian psikopat dalam diri Muhammad.
5.   Pemikir esoterik islam hidup bebas. Pada halaman 241 Karen menulis, “Di dunia Islam, pemikir-pemikir esoterik biasanya dibiarkan hidup bebas.” Pernyataan ini hendak menegaskan perbedaan dengan apa yang terjadi dalam kekristenan Barat. Sangatlah jelas ini merupakan pujian Karen kepada islam, dan seperti pujian-pujian lainnya, pujian ini juga tidak memiliki dasar yang kuat. Pertama-tama perlu dikritisi pemikiran esoterik mana yang bisa hidup bebas di dunia islam. Dapat dipastikan hanya mereka yang memuji islam saja yang dapat hidup bebas, sementara yang bersikap kritis atau sedikit berbeda dari pandangan umum, sekalipun itu baik, akan mengalami nasib buruk. Sekedar menyebutkan contoh adalah al-Hallaj, yang dibunuh karena pemikiran esoteriknya. Karen sendiri menyebut bahwa kelompok pemikir esoterik sering dipandang oleh kaum ulama sebagai bid’ah (hlm. 304). Bahkan hingga kini pun pemikir-pemikir islam yang kritis cenderung mengalami nasib naas. Karena itu, banyak orang berpendapat bahwa islam adalah agama anti kritik.
6.   Agama hati. Istilah agama hati, dalam buku ini, baru muncul pada bab 9. Bagi Karen fenomena agama hati baru muncul pada Abad Pencerahan, ketika para misionaris sekte Moravia, dalam melaksanakan misinya, meninggalkan semua doktrin dan mengajarkan bahwa agama adalah urusan hari semata (hlm. 410). Ciri agama hati adalah meninggalkan rasionalitas atas kebenaran iman dan beralih ke hati. Kata “hati” di sini merujuk pada emosi perasaan. “Kebenaran” agama ditentukan pada perasaan senang dan suka seseorang. Sejauh seseorang itu senang dan suka, maka agama itulah yang benar.
Benarkah agama hati baru muncul pada Abad Pertengahan (abad XVII – XVIII)? Kalau kita mau jujur, dengan tetap berpatokkan pada buku ini, seharusnya agama hati sudah ada sejak kemunculan islam. Banyak orang masuk islam pertama-tama bukan karena ajarannya atau kebenarannya tetapi karena keindahannya. Pada halaman 202 – 204 membuktikan hal itu. Di sana ada kisah masuknya Umar ibn Khattab dan orang-orang Quraisy ke agama islam. Karen menulis, “Bahkan orang-orang Quraisy yang telah menolak Islam tak lupt terguncang oleh Al Qur’an…..” Keterguncangan ini bukan disebabkan pada kebenaran ajaran islam, melainkan pada keindahan yang menggugah emosi. Karen sendiri mengatakan, “Selama tiga tahun pertama tampaknya Muhammad tidak menekankan kandungan monoteistik dari risalahnya.” (hlm. 204).
7.   Kisah Umar ibn Khattab menjadi islam. Pada halaman 202 – 203, Karen menceritakan kisah Umar ibn Khattab memeluk agama islam. Dalam kisah ini terlihat nada positif Karen terhadap islam. Karen mengibaratkan kisah ini dengan kisah pertobatan Saulus dari Tarsus. Tampak jelas bahwa perbandingan ini not apple to apple. Kebencian Saulus ditujukan kepada murid-murid Yesus. Dia berusaha mengancam dan membunuh mereka (Kis 9: 1). Sementara kebencian Umar ibn Khattab ditujukan kepada Muhammad. Jika Saulus bertemu dengan murid-murid Yesus, dapat dipastikan mereka akan dibunuh atau ditangkap untuk dibawa ke Yerusalem. Pertobatan terjadi bukan lantaran Saulus bertemu dengan murid-murid Yesus tetapi dengan Yesus sendiri (Kis 9: 5), sedangkan Umar ibn Khattab bertemu dengan orang yang dibenci dan ingin dibunuhnya (versi kedua). Karena itulah, patut dipertanyakan kebencian dan hasrat Umar ibn Khattab ingin membunuh Muhammad. Jangan-jangan hal ini dilebih-lebihkan untuk mendukung hebatnya Muhammad dan islam.
Karen menyebut ada dua versi masuknya Umar ibn Khattab ke dalam islam. Melihat hal ini, kita jadi teringat akan dua versi turunnya wahyu tentang kewajiban jilbab. Pertanyaannya, kenapa muncul dua versi? Dari dua versi itu, versi mana yang benar? Karena tidak mungkin kedua versi itu sama-sama benar. Yang pasti adalah salah satunya yang benar atau juga kedua-duanya salah. Tidak bisa dua-duanya benar. Pada kedua versi ini benar-benar terlihat perubahan sikap Umar ibn Khattab yang bergitu mendadak. Hal ini membuat orang bisa menduga bahwa sebenarnya Umar ibn Khattab tidak terlalu membenci Muhammad, apalagi ingin membunuhnya. Informasi kebencian dan keinginan untuk membunuh itu dapat saja merupakan rekayasa untuk menampilkan kehebatan Muhammad dan islam. Sementara itu, pada versi pertama, perubahan sikap Umar ibn Khattab dilandaskan pada perasaan bersalahnya. Dia telah melukai putrinya dan membuat malu tamunya, padahal dalam tradisi Arab tamu wajib dihormati. Untuk menutupi rasa bersalahnya, Umar ibn Khattab “pura-pura” merasakan keindahan Al Qur’an dan akhirnya memutuskan masuk islam.
8.    Islam - Kristen. Dalam halaman 469 Karen menilai bahwa hingga saat ini ada usaha Barat untuk memajukan Kristen dengan cara menjatuhkan islam. Dalam penilaian ini terlihat jelas sikap negatif Karen terhadap Barat dan sikap membela islam. Seperti biasanya, ini adalah khas Karen agar bukunya diterima pembaca islam. Dan seperti biasanya juga, penilaian Karen ini sama sekali tidak berdasar dan tidak sesuai dengan kenyataan. Karen sendiri, dalam bukunya, menulis bahwa di Eropa gereja-gereja mulai kosong (hlm. 484). Jika memang ada niat Barat memajukan Kristen, tanpa harus menjatuhkan islam, gereja seharusnya penuh. Karena tidak ada usaha untuk memajukan itulah, maka gereja terlihat kosong. Gereja atau kekristenan sudah ditinggalkan. Fakta lain, justru islam berusaha untuk menjatuhkan Kristen lewat politik migrasi. Kita dapat melihat perkembangan yang begitu pesat islam di Eropa.
Penutup
Setelah tiba di daerah Kaisarea Filipi, Yesus bertanya kepada para murid-Nya, “Menurut orang banyak, siapakah Anak Manusia itu?” Mereka menjawab, “Ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia dan ada pula yang mengatakan Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Kemudian Yesus bertanya lagi kepada mereka, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Luk 9: 18 – 20; Mat 16: 13 – 15).
Kutipan Injil Sinoptik tentang pertanyaan Yesus kepada para murid-Nya dapat disamakan dengan pertanyaan siapa itu Tuhan yang menjadi tema dasar buku ini. “Anak Manusia” yang dimaksud Yesus adalah diri-Nya sendiri, dan itu dapat disamakan dengan Tuhan. Seperti dalam kisah Yesus, pertanyaan akhirnya ditujukan kepada diri murid masing-masing, dan menjadi pertanyaan kita masing-masing: menurutmu, siapakah Aku ini. Pada akhirnya masing-masing orang harus meninggalkan pendapat orang banyak. Demikian halnya dengan Tuhan. Karen Armstrong sepertinya sampai pada kesimpulan bahwa “setiap generasi memiliki kewajiban untuk menciptakan konsepsi imajinatifnya sendiri tentang Tuhan.” (hlm. 452).
Konsep atau gambaran tentang Tuhan akan selalu berbeda dari satu orang ke orang lain, dari satu generasi ke generasi yang lain. Hal ini mirip seperti yang dikatakan Mulla Sandra, “Tak ada dua orang manusia yang memiliki surga atau Tuhan yang persis sama.” (hlm. 345). Akan tetapi, bukan lantas berarti Tuhan itu akan selalu berubah-ubah. Tuhan itu tetap sama, sekalipun konsep dan gambaran tentang Dia berbeda-beda. Tuhan itu kekal; alfa dan omega.
Lingga, 26 Januari 2020
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar