Pasca
terror di dua masjid di Selandia Baru muncul dua istilah yang terkait dengan
aksi terror tersebut. Dua istilah adalah islamfobia
dan xenofobia. Islamfobia dipahami sebagai ketidak-sukaan atau ketakutan
terhadap islam (baik sebagai agama maupun pemeluk), sedangkan xenophobia adalah
ketidak-sukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang
dianggap asing. Kedua istilah tersebut ditujukan kepada orang non muslim,
secara khusus pelaku penembakan brutal terhadap umat islam.
Istilah
islamfobia memang sudah tidak asing lagi. Hampir setiap kali muncul aksi terror
bom bunuh diri, selalu ada aksi dari segelintir umat islam yang menyatakan
mereka cinta damai dan islam sebagai rahmatan
lil alamin. Gerakan damai kelompok islam pasca terror dari kelompok islam
lainnya bertujuan hendak menghapus islamfobia pada kalangan umat non muslim.
Jika
diperhatikan baik-baik, hingga saat ini tidak pernah muncul istilah lain selain
islamfobia. Belum pernah ditemukan ada orang mengatakan kristenfobia,
buddhafobia, hindufobia, dll. Yang ada sepertinya hanya islamfobia. Dan istilah
ini hanya ditujukan kepada umat non islam dalam dua kasus yang berbeda, yaitu
ketika muncul aksi terror islam dan aksi terror terhadap islam.
Pertama, ketika
muncul bom Bali atau juga tragedi WTC, 11 September 2001, yang dilakukan oleh
kelompok islam teroris al-Qaeda, muncul kata islamfobia yang ditujukan kepada
umat non islam. Sepertinya terorisme selalu dikaitkan dengan islamfobia
(silahkan baca di sini). Bayangkan,
orang sudah menjadi korban kebiadaban para teroris islam, masih juga dicap
islamfobia. Hal ini terus berulang di saat terorisme islam lainnya muncul.
Malah umat non muslim, yang selalu menjadi sasaran terror, dikenakan sandang
islamfobia.
Umumnya,
pasca aksi terror yang dilakukan sekelompok umat islam radikal, akan muncul
kelompok islam lainnya yang melakukan aksi damai. Gerakan mereka ini bertujuan
menampilkan islam rahmatan lil alamin
sehingga ketakutan pada islam itu hilang. Mereka ini sepertinya tidak sadar
kalau islam itu memiliki wajah ganda; di sisi depan islam kasih dan sisi
belakang islam benci. Islam yang berwajah kasih tidak melihat wajahnya yang
lain, yang sebenarnya melekat erat dengan dirinya, sementara umat non muslim
melihat keduanya. Karena itu, wajar ketika melihat wajah islam yang penuh kebencian,
intoleran dan terror, umat non muslim ketakutan. Namun islam berwajah kasih
hanya tertuju melihat orang lain yang ketakutan melihat islam yang berwajah
benci (yang tak dilihatnya) lalu mencap orang itu islamfobia atau mengajak untuk tidak islamfobia.
Jadi, adanya islamfobia itu mempunyai dasar yang kuat. Yang ditakuti umat non muslim adalah islam yang intoleran dan teroris, yang jumlahnya bukan 2 atau sepuluh, tetapi bisa mencapai jutaan. Segala usaha dari islam moderat dan damai untuk mengikis islamfobia seakan menjadi sia-sia. Cap islamfobia yang dikenakan kepada umat non muslim juga mubasir selama terorisme islam masih ada (dan rasanya tidak mungkin menghilangkan terorisme islam; alasannya silahkan baca di sini). Umat islam moderat dan damai pertama-tama harus menyadari dan mengakui bahwa memang ada wajah terror dan intoleran dalam islam. Percuma saja menampilkan wajah kasih kepada umat non islam, karena yang mereka takutkan adalah islam yang berwajah intoleran dan teroris.
Kedua, aksi terror terhadap umat islam, seperti yang terjadi di Selandia Baru, memang menunjukkan islamfobia. Pelaku penembakan jemaah islam yang sedang shalat benar-benar memiliki sikap benci yang sangat mendalam dan ketakutan terhadap umat islam. Dua sikap tersebut (benci dan takut) akhirnya melahirkan tindakan biadab. Tapi kenapa cap islamfobia dikenakan kepada umat non islam lainnya?
Perlu disadari beberapa hal, yaitu (1) pelaku hanya satu orang. Jadi, yang islamfobia sebenarnya hanya pelaku penembakan itu saja. Dengan kata lain, yang dicap islamfobia hanya satu orang saja. Tetapi cap islamfobia seakan dikenakan kepada kebanyakan umat non islam. (2) memang beberapa hari setelah aksi brutal tersebut ditangkap juga 2 orang penyebar video penembakan. Tapi apakah tindakan 2 orang itu menunjukkan islamfobia? (bandingkan dengan Presiden Turki, yang menjadikan video itu sebagai sarana kampanye pemilu di Turki). (3) muncul aksi solidaritas dari umat non muslim. Dunia bersimpati terhadap para korban dan mengutuk pelaku penembakan itu. Facebook menghapus jutaan video penembakan brutal itu sebagai sikap simpatinya terhadap korban. Sikap berbeda ditampilkan oleh Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki, sebuah negara islam terbesar, yang akan memakai rekaman teror di Selandia Baru itu saat kampanye pemilu.
Jadi, pelaku terror terhadap islam umumnya hanya dilakukan oleh segelintir orang, tidak lebih dari puluhan orang, dan cenderung bersifat lokal. Berbeda dengan pelaku terror islam yang sudah terorganisir dan sistematis dengan jumlah hingga jutaan orang, serta bersifat global. Namun, sekalipun pelakunya sedikit dan bersifat lokal, dan sekalipun benar-benar menunjukkan fobia terhadap islam, cap islamfobia dikenakan juga kepada umat non islam lainnya.
Lantas bagaimana sikap umat islam sendiri terhadap umat non muslim. Apakah umat islam juga tidak mempunyai ketakutan dan perasaan tidak suka terhadap umat lain?
Tak dapat dipungkiri bahwa ada kesulitan bagi umat kristiani untuk mendirikan rumah ibadah di wilayah dengan penduduk mayoritas muslim. Kesulitan itu biasanya dikarenakan adanya ketidak-sukaan dan juga ketakutan terhadap agama Kristen. Ada yang mengizinkan gedung didirikan, tapi tidak boleh memasang simbol salib. Keberadaan simbol bulan-sabit sebagai ganti palang merah sebenarnya menunjukkan ketakutan pada kekristenan (palang merah diasosiasikan dengan salib), tapi tidak pernah umat islam dicap kristenfobia.
Seorang guru beragama Kristen bercerita ketika dia ditugasnya di daerah yang mayoritas islam. Untuk menunjukkan keramah-tamahannya, dia memasak indomie rebus untuk teman-teman lainnya di saat istirahat. Tapi, tak satu pun yang mau makan, karena kecurigaan pada dirinya yang Kristen (soal babi). Cerita lainnya, ketika bertamu ke rumah seorang muslim, setelah pulang tuan rumah langsung membuang gelas yang digunakan tamu tadi, karena tamunya adalah seorang Kristen. Masih banyak contoh lain lagi, dan semuanya itu mau menunjukkan adanya ketakutan dan ketidak-sukaan terhadap Kristen. Tapi kenapa umat islam tidak pernah dicap kristenfobia.
Jadi, ada standar ganda yang dipakai oleh umat islam terkait istilah islamfobia. Barangkali standar ganda ini lahir dari wajah ganda yang dimiliki islam. Dengan kata lain, islamfobia merupakan politik islam untuk menutup kelemahan dirinya dengan menyerang orang lain yang bukan islam. Hal ini mirip seperti pelaku kejahatan tetapi mengaku sebagai korban. Dalam dunia Arab, sebagai tempat kelahiran islam, terkenal pepatah berikut: darabani, wa baka; sabaqani, wa’shtaka yang artinya “Dia memukulku dan mulai menangis, lalu datang padaku dan menuduhku memukulnya.”
Dabo, 29 Maret 2019
by: adrian
Baca juga tulisan
lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar