Selasa, 10 September 2019

DOKUMEN ABU DHABI DAN KASUS USTADZ ABDUL SOMAD


Pada tanggal 4 Februari 2019 lalu, Paus Fransiskus, pimpinan Gereja Katolik se-dunia, bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, di Abu Dhabi. Pertemuan itu menghasilkan dokumen persaudaraan sejati demi hidup bersama yang damai. Nama dokumen, yang ditanda-tangani dua tokoh itu adalah Dokumen tentang Persaudaraan Insani demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama. Untuk singkatnya, dalam tulisan ini kami menggunakan nama Dokumen Abu Dhabi.
Isi dokumen itu tidak hanya ditujukan kepada umat islam dan katolik saja, tetapi kepada semua umat manusia lintas batas (agama, suku, bangsa, jabatan dan golongan). Sekalipun demikian, arah kepada umat islam dan katolik memang sangat kental, melihat 2 sosok yang menanda-tangani dokumen tersebut. Memang masih ada persoalan yang menganjal; jika Paus Fransiskus mewakili seluruh umat Katolik dimana saja, apakah Ahmed el-Tayeb mewakili seluruh umat islam.
Seperti yang sudah dikatakan, Dokumen Abu Dhabi bertujuan untuk menciptakan dunia yang damai dalam hidup bersama. Untuk dapat mewujudkan hal itu, lewat dokumen itu, Paus Fransiskus dan Ahmed el-Tayeb menyerukan kepada semua pihak agar bekerja keras untuk menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai. Toleransi merupakan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ketika orang sampai pada sikap menghormati dan menghargai perbedaan (toleransi), maka perbedaan bukan menjadi biang konflik melainkan kekayaan.
Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Di banyak tempat di belahan dunia ini, masyarakat hidup dalam pluralisme. Jika tidak dikelola dengan bijak, maka keragaman itu dapat menjadi sumber konflik. Karena itu, dalam Dokumen Abu Dhabi, Paus Fransiskus dan Ahmed el-Tayeb menegaskan bahwa AGAMA TIDAK BOLEH MENGHASUT ORANG KEPADA SIKAP KEBENCIAN. Sikap kebencian kepada orang lain justru akan menciptakan intoleransi yang berujung pada konflik. Dengan kata lain, perbuatan menghasut sesama untuk membenci orang lain dengan menggunakan agama bertentangan dengan cita-cita dunia yang damai.
Bagaimana dengan kasus Ustadz Abdul Somad? Apakah Dokumen Abu Dhabi relevan untuk Indonesia? Sekedar diperhatikan dan diketahui saja, tokoh-tokoh agama di Filipina mengadopsi Dokumen Abu Dhabi ini untuk kehidupan beragama di sana (baca beritanya di sini). Bagaimana Indonesia?
Melihat kasus Ustadz Abdul Somad (UAS) dan juga pembelaan MUI terhadapnya, membuktikan bahwa Dokumen Abu Dhabi tak bisa diterapkan di negeri Pancasila ini. Alasannya adalah karena sampai kapan pun tokoh agama islam akan menghasut umatnya untuk membenci umat agama lain dengan menggunakan dasar agama. Mereka akan berkilah bahwa ini adalah aqidah. Dan jika disampaikan secara tertutup, maka hal itu dibenarkan (mau terbuka maupun tertutup tetap saja hasutan).
Ada banyak aqidah islam, yang jika diterapkan mau tidak mau akan bernada hasutan kepada kebencian. Contoh konkret adalah ceramah keagamaan yang dibuat UAS. Memang kejadiannya jauh sebelum Dokumen Abu Dhabi ditanda-tangani, namun ketika muncul saat ini (setelah Dokumen Abu Dhabi) MUI mendukung ceramah UAS. Secara tidak langsung, hal ini berarti MUI menolak Dokumen Abu Dhabi. Secara tak langsung MUI “melegalkan” menghasut umat kepada kebencian dengan dasar aqidah.
Pengajaran aqidah, entah itu bernada hasutan atau tidak, dapat dilakukan oleh tokoh agama islam (kyai, ustadz, da’i, ulama, atau juga guru agama) dan juga orangtua. Kalau tokoh-tokoh agama tadi menyampaikan aqidah islamnya kepada umat (entah bersifat tertutup maupun terbuka), orangtua menyampaikan aqidah islam kepada anaknya. Siapapun orangnya, dimana pun tempatnya dan bagaimana pun caranya, penyampaian aqidah bisa saja bernada hasutan kepada kebencian pada agama lain.
Sebagai contoh, ada banyak ayat Al-Qur’an yang dapat membangun sikap intoleransi. Misalnya, jangan bersahabat dengan orang kafir (QS. Ali Imran: 118; QS. At-Taubah: 16; QS. Al-Mujaadilah: 14, 15); jangan menjalin kerja sama atau saling menolong dengan orang kafir (QS. QS. Al-Qashash: 86; QS. Al-Mumtahanah: 13). Dan ketika ditanya siapa orang kafir itu, orang yang menegakkan aqidah langsung merujuk pada QS Al-Maidah: 72 dan 73, yaitu orang kristiani. Hal ini sudah terjadi dalam kehidupan. Misalnya, di Dabo-Singkep ada orang kristiani beternak ayam potong. Kalau mau menjual ayam, mereka harus memakai orang islam yang memotong dan menjualnya; kalau tidak ayamnya tidak dibeli orang islam. Di daerah Bangka, seorang bapak harus menyembunyikan identitas agamanya ketika berjualan, agar umat islam mau beli barang dagangannya.
Perihal kafir, dapatlah dikatakan bahwa sikap yang dibangun pada diri orang islam adalah sikap arogan. Dengan sikap arogan ini, umat islam memandang orang kafir rendah, hina dan tak bernilai. Seorang bapak bisa saja mengatakan kepada anaknya, jangan jadi kafir karena doa dan amal kebaikan orang kafir itu tidak diterima Allah (QS. Ar-Ra’d: 14; QS. Al-Furqan: 23); jangan jadi kafir karena nanti masuk neraka (QS. Al-Baqarah: 24; QS. Al-Maidah: 10). Aqidah soal kafir ini dapat saja menjadi ekstrem, yaitu tidak lagi hanya membenci tetapi memusuhi hingga membunuh (QS. At-Tahrim: 9; QS. At-Taubah: 73; QS. An-Anfal: 7 dan 17; QS. An-Nisa: 89). Bukankah sikap ekstrem ini yang dipakai oleh para teroris islam?
Tentu kita ingat soal larangan men-shalat-kan jenasah orang yang mendukung Basuki Tjahaya Purnama (BTP) pada pilkada DKI lalu. Ternyata larangan itu merupakan aqidah islam. Dapat dipastikan beberapa tokoh agama islam telah menghasut umatnya untuk tidak memilih orang kafir (BTP); jika tetap memilih maka kalau meninggal jenasahnya tidak akan di-shalat-kan. Dasar aqidah ini adalah QS. At-Taubah: 84.
Bercermin dari kasus UAS, bukan soal patung saja yang ada jin kafirnya, yang akan senantiasa memanggil-manggil umat islam untuk meninggalkan aqidahnya. Gambar dan foto juga termasuk larangan sesuai dengan aqidah islam (HS Muslim 24: 5246, 5248, 5249, 5254 dan 5266). Dapatlah dikatakan, di dalam gambar dan foto ada juga jin kafir. Bukan tidak mungkin, aqidah ini melarang umat islam untuk datang bersilahturami ke rumah orang-orang kristiani, karena dapat dipastikan di sana ada gambar dan foto. Tentulah hal ini dilihat sebagai ancaman iman umat islam ketika berkunjung. Karena itu, umat dihasut untuk tidak mengunjungi mereka sebagai bentuk aqidah.
Masih ada banyak aqidah islam, yang dalam penerapannya dapat dilihat sebagai hasutan kepada kebencian kepada orang yang berbeda dengan islam. Hasutan itu tidak hanya berhenti pada kebencian saja tetapi berpeluang juga kepada permusuhan dan pembunuhan. Inilah bentuk ekstrem aqidah islam yang diterapkan para teroris islam seperti ISIS, Al-Qaeda dan oraganisasi teroris islam lainnya. Sangat jelaslah bahwa aqidah islam sama sekali tidak dapat membangun toleransi yang bermuara pada dunia yang damai dalam kebersamaan. Dengan kata lain, aqidah islam bertentangan dengan semangat yang diusung oleh Dokumen Abu Dhabi. Lantas pertanyaannya, kenapa Imam Besar Al-Azhar menanda-tangani dokumen itu? Apakah dia paham dengan aqidah islam?
Melihat semua hal ini, aqidah islam yang menghasut kepada kebencian, permusuhan dan permbunuhan, membuat orang, terlebih yang non-muslim, mempertanyakan konsep islam rahmatan lil alamin. Bukan tidak mungkin orang-orang itu lantas berkata bahwa konsep itu hanya OMONG KOSONG belaka, atau bahwa itu hanya sekedar retorika suci islam untuk menunjukkan kepada dunia bahwa islam adalah agama damai dan toleran. Namun sekali lagi, dunia juga akhirnya tahu kalau semua itu BOHONG. Seolah-olah, bagi umat islam, berlakulah asas ini: “Untukmu, agamamu; Untukku, agamaku. Tapi aku boleh menghina agamamu.”
Lingga, 4 September 2019
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar