Sabtu, 03 Agustus 2019

KURSUS TRIBUNAL, 15 – 20 JULI 2019 DI BANDUNG


Hantaran Awal
Pada acara pembukaan, 2 poin penting yang disampaikan. Pertama, maksud dan tujuan kursus, yakni agar peserta memahami soal tribunal dan prosesnya, sehingga sepulang dari kursus dapat membantu uskup dalam pelaksanaan tribunal gerejawi, entah sebagai hakim, defensor vinculi, notarius, ataupun peran lainnya. Untuk maksud ini, panitia berusaha agar ijasah kursus bisa dijadikan pertimbangan dalam permohonan dispensasi ke signature apostolika.

Kedua, para peserta sadar dan paham ketika menghadapi situasi keluarga dewasa kini. Setidaknya ada 4 gambaran situasi keluarga, yakni:
     1.    Keluarga sah, tapi bermasalah
     2.    Keluarga sah, dan tidak bermasalah
     3.    Keluarga tak sah dan tak bermasalah
     4.    Keluarga tak sah, tapi bermasalah

Menghadapi keluarga tipe 1, solusi yang dapat ditawarkan adalah pemutusan, baik yang dilakukan oleh takhta suci (Paus) maupun oleh ordinaris wilayah (lewat privilege:paulinum, pianum dan gregorianum). Harus ada syarat yang terpenuhi agar sarana tersebut dapat ditempuh.

Menghadapi keluarga tipe 2, tenaga pastoral bukan lantas berarti tenang-tenang saja. Pastor paroki harus tetap terus mendampingi dan mempromosikan mereka. Melibatkan dalam karya kerasulan keluarga merupakan bentuk pastoral terhadap keluarga tipe 2 ini.


Menghadapi keluarga tipe 3, konvalidasi merupakan solusi yang ditawarkan. Sedangkan menghadapi keluarga tipe 4, solusi yang dapat ditawarkan adalah deklarasi nulitatis. Ada 3 proses, yaitu proses dokumental, proses biasa (tribunal gerejawi) dan proses brevior.

Cara anulatio ditempuh apabila memang status perkawinan tidak sah dan kedua pihak (suami-istri) memang sudah tidak dapat disatukan lagi. Sah atau tidak perkawinan ditentukan dari ada tidaknya 3 pilar ini: bebas dari halangan nikah, terpenuhinya forma kanonik dan kesepakatan yang bebas, benar dan penuh.

Kanon Doktriner Perkawinan

Pada pertemuan pertama, Rm. Try Edy menyampaikan kanon yang berbicara tentang doktrin perkawinan katolik. Di sana dipaparkan soal hakikat, tujuan dan sifat perkawinan. Selain itu Rm. Edy juga menerangkan soal halangan-halangan perkawinan katolik, kesepakatan nikah dan tata peneguhan kanonik. Di sini tidak hanya sebatas diuraikan apa yang sudah tertulis dalam KHK, tetapi dijelaskan juga beberapa implikasi pastoral dan penanganan dalam tribunal.

Tribunal dan Pembentukkannya

Pertemuan ini diampu oleh Rm. Driyanto. Beliau, awalnya, menerangkan posisi tribunal dalam konteks pelaksanaan 3 tugas dan jabatan uskup, yakni kuasa eksekutif, legislatif dan yudisial. Tribunal ada pada pelaksanaan kuasa yudisial. Karena itulah, sadar akan keterbatasannya, uskup dibantu oleh Vikaris Yudisial.

Rm. Driyanto menjelaskan bahwa kasus perkawinan idealnya diselesaikan pada tribunal dengan hakim kolegial. Akan tetapi, terbuka juga kemungkinan dilaksanakan dengan hakim tunggal setelah pengajuan izin kepada KWI. Untuk hakim tunggal, perangkat yang dibutuhkan adalah hakim, defensor vinculi dan notarius. Hakim bisa diperankan oleh vikaris yudisial atau uskup. Jika hakimnya uskup, mengingat kesibukannya, uskup dapat mengangkat seorang asesor, untuk membantunya dalam perumusan caput, pertanyaan hingga putusan.

Caput Nulitatis

Pertemuan, yang membahas caput nulitatis, masih ditangani oleh Rm. Driyanto. Dalam pertemuan ini pertama-tama dijelaskan beberapa syarat yang harus diperhatikan sebelum mengajukan kasus ke tribunal, yakni (1) adanya cacat atau kekurangan, yang (2) sesuai dengan norma hukum kanonik, dan (3) sudah ada sebelum atau sewaktu perayaan perkawinan, serta (4) dapat dibuktikan.

Di sini Rm. Driyanto lebih fokus pada kanon 1095. Beliau tidak hanya menerangkan tentang prinsip dan pengertian kanon tersebut saja, melainkan juga bagaimana pembuktian kasusnya.

Simulasi

Rm. Tjatur, Vikjend dan sekaligus Vikyud Keuskupan Malang, memaparkan perihal simulasi, berdasarkan kan. 1101. Ada 2 jenis simulasi, yaitu total dan parsial, yang kedua-duanya dapat menganulasi perkawinan. Membaca kan. 1101 harus dalam terang kan. 1057.

Vis et Metus Gravis

Rm. Rony diminta untuk menerangkan materi ini. Ada 2 jenis paksaan, yaitu fisik dan moral. Sedangkan ketakutan merupakan konsekuensi dari paksaan. Jenis ketakutan berdasarkan faktor penyebab ada ketakutan ringan dan berat (berat absolute dan berat relatif). Berdasarkan relasi antara korban dengan sumber ketakutan ada ketakutan umum, reverensial dan antecedent. Untuk nulitatis perkawinan, ketakutan harus memenuhi syarat berikut:

     1.    Ketakutan bersifat eksternal, personal dan independen
     2.    Harus ada ancaman
     3.    Beratnya ketakutan dilihat dari keseriusan
     4.    Ancaman menimbulkan ketakutan berat pada korban

Error in Qualitate Personae

Materi pertemuan ini didasarkan pada kanon 1097, §2 dan dijelaskan oleh Rm. Driyanto. Error harus dibedakan ignoratia. Ada 2 jenis error, yaitu error in personae dan error in qualitate personae. Nulitatis perkawinan terjadi jika kualitas error merupakan tujuan langsung dan utama.

Proses Nulitatis

Ada 3 pertemuan yang membahas soal proses nulitatis ini. Rm. Suratman menjelaskan soal proses tribunal biasa. Ada 6 tahap dalam proses anulasi perkawinan, yaitu:
     1.    Pembuka perkara
Pada tahap pertama, Vikaris Yudisial menerima libellus. Tidak semua libellus langsung mencantumkan caput ataui dasar yuridisnya. Karena itu, tugas Vikaris Yudisial untuk mencari dan menemukan caputnya. Di sini Vikaris Yudisial dapat menerima, menolak atau juga meminta untuk memperbaiki libellus. Jika sudah menerima, maka ia menyatakannya dengan sebuah dekret. Kemudian dibuat lagi dekret pembentukan personel tribunal (hakim, defensor vinculi dan notarius) serta dekret pemanggilan pihak-pihak berpekara.
     2.    Instruktoria
Tahap ini merupakan bagian inti dari seluruh proses anulasi perkawinan. Di sini hakim akan mengonfirmasi dan mengklarifikasi pernyataan-pernyataan pihak-pihak berpekara. Bukan hanya pemohon dan responden saja, tetapi juga saksi-saksi serta beberapa alat bukti yang diajukan. Dalam tahap ini perlu diingat bahwa setiap pihak harus diambil sumpah untuk menyatakan kebenaran dan menjaga kerahasiaan selama proses sidang.
     3.    Diskusi atau pembahasan perkara
     4.    Putusan
     5.    Naik banding jika ada pihak keberatan
     6.    Pelaksanaan putusan

Proses dokumental untuk anulasi perkawinan diterangkan oleh Rm. Kriswanta. Proses ini hanya mengandalkan dokumen-dokumen yang sah untuk membatalkan perkawinan. Proses ini tidak harus melalui tribunal.

Rm. Kristian menerangkan soal proses brevior. Dalam proses brevior Bapak Uskup mengadili secara pribadi (meski dalam praktek dibantu oleh asesor). Dalam sharing, Mgr Anton mengatakan dalam waktu 2 tahun beliau sudah menyelesaikan 12 kasus. Selain menerangkan proses brevior, Rm. Kristian juga menjelaskan soal Mitis Iudex Dominus Iesus (MIDI). Dapat dikatakan bahwa MIDI merupakan roh atau spirit yang harus diemban pada petugas pastoral dalam menghadapi kasus perkawinan. Bapak Uskup Bandung juga, dalam homili misa penutup, juga menegaskan kembali bahwa MIDI merupakan identitas para pihak yang berkecimpung di tribunal. Spiritualitas MIDI adalah belas kasih dan kerahiman. Rm. Kristian juga menyebut MIDI sebagai bentuk keberanian rasuli Paus Fransiskus.

Praktek

Setelah dicekoki dengan teori-teori, peserta dihadapkan pada praktek. Ada dua hal yang ditampilkan di sini. Pertama, simulasi proses sidang dengan hakim tunggal. Kedua, peserta masuk dalam kelompok lalu membahas sebuah kasus dan menyelesaikannya dalam tribunal gerejawi.


Beberapa Catatan Penting
1.    Para peserta sudah dianggap memiliki kualifikasi sebagai hakim, defensor vinculi, promotor justitiae dan notarius. Ijasah yang diperoleh dapat dilampirkan dalam permohonan ke signature apostolica. Hal ini berpulang pada kebijakan Bapak Uskup.
2.    Para peserta juga diharapkan sudah mempunyai kemampuan untuk membuat libellus, menyusun pertanyaan, menemukan caput.
3.    Penanganan kasus perkawinan dengan hakim tunggal membutuhkan izin dari KWI. Yang mengajukan itu adalah Vikaris Yudisial.
4.    Dalam menangani kasus perkawinan, perlu dipertimbangkan baik-baik kondisi perkawinan yang sedang diproses, agar jangan sampai tribunal digugat. Hal ini terjadi di KAJ dan Bogor. Namun bukan lantas berarti kita harus mundur atau diam saja. Keberanian rasuli, seperti yang ditunjukkan Paus Fransiskus dengan MIDI, harus tetap ada.
5.    Ada 3 sikap yang diambil hakim atau Vikaris Yudisial setelah menerima dan membaca libellus: menerima, menolak dan menyarankan untuk perbaikan.
6.    Menghadapi kasus keluarga bermasalah, terlepas apakah sudah diketahui sah tidaknya status perkawinan, peran pastor paroki sangat dibutuhkan. Mungkin perlu dipertimbangkan satu solusi yang ditawarkan Pria Sejati dan Wanita Bijak. Memang banyak orang mengeluh besarnya biayanya. Akan tetapi, kita sebenarnya punya solusi atau jalan keluarnya, misalnya proposal ke Depag atau LP3KD (seperti yang pernah disampaikan Rm. Pram).
7.    Karena tidak ada keharusan untuk banding, pemohon dapat mengajukan permohonan anulasi ke tribunal lain sebagai second opinion, sejauh tribunal tersebut berwenang, jika permohonannya di satu tribunal ditolak.
8.    Pastor paroki sebelum menerima kasus perkawinan, perlu terlebih dahulu menjelaskan kepada pasangan akan tugas dan panggilan suami-istri serta kewajiban yang melekat pada mereka ketika akhirnya dianulasi.
9.    Di saat menangani kasus perkawinan, jangan lupa untuk berdoa.
10. Ada beberapa hal menarik dari MIDI:
a.    Kata pertama MIDI: “Dimana ada orang, di sana Gereja dipanggil untuk menjangkaunya, guna membawakannya sukacita Injil, belaskasih dan pengampunan Tuhan.”
b.    Dua alasan, yaitu keterlambatan penanganan kasus yang tak dipahami, dan harapan mempermudah akses serta mempercepat proses pengadilan.
c.    Kecepatan proses bukan demi nulitas tetapi lebih penghargaan terhadap umat beriman yang berhak mendapatkannya.
d.    Proses anulasi perkawinan bebas biaya.
e.    Mendekatkan hakim dengan umat yang berpekara
11. Dari poin penting MIDI, kita dapat bercermin soal proses tribunal kita. Kenapa proses anulasi berjalan lambat? Salah satu faktor penyabab adalah karena kita menambah 1 proses, yaitu studi bersama. Libellus yang masuk bukannya langsung diterima, tetapi diserahkan kembali ke para parokus untuk dibahas bersama setelah pertemuan 2 bulanan.
12. Dalam proses sidang, defensor vinculi harus diberitahu (diundang) soal jadwal interogasi. Jika tidak maka proses sidang menjadi tidak sah. Namun, defensor vinculi tidak wajib harus datang.
13. Dimungkinkan sidang berjalan tanpa kehadiran responden, jika memang keberadaan responden sama sekali tidak diketahui asalkan adanya usaha maksimal untuk melacak alamat responden.
14. Bagian akhir di lembar penyelidikan kanonik untuk tiap calon mempelai (bagian III, no. 2), yaitu terkait catatan pribadi penyelidik terhadap calon mempelai, harus diperhatikan baik-baik oleh petugas penyelidik. Jika dalam proses penyelidikan ada hal-hal yang aneh atau meragukan, hendaklah ditulis di sana, agar catatan tersebut kelak dapat digunakan untuk memudahkan proses anulasi.
15. Pada bagian akhir lembar penyelidikan kanonik (Lembar Catatan Administratif), harus diperhatikan baik-baik oleh Pastor Paroki, sebelum upacara pemberkatan, khususnya no. 04 – 11. Terkait forma kanonik (tata peneguhan), perlu diperhatikan:
Ø  Yang berwenang memberi delegasi: Ordinaris wilayah atau Pastor Paroki. Jadi, pastor pembantu harus mendapat delegasi untuk memberkati perkawinan di wilayah parokinya. Logikanya, tanpa delegasi maka ada cacat forma kanonik.
Ø  Ada 2 jenis delegasi:
a)   Umum        : untuk semua perkawinan. Delegasi harus tertulis.
b)   Khusus      : untuk perkawinan tertentu. Delegasi lisan atau tertulis.

Untuk mendapatkan beberapa materi kursus tribunal ini silahkan download dengan meng-klik judul tulisan berikut ini: Kursus Tribunal 2019 dan Tugasdan Peran Pastor Paroki. Semoga membantu !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar