Rabu, 05 September 2018

MENGHORMATI IMAM DALAM MISA

Seorang imam membagikan pengalaman sekaligus pemikirannya. Ini berangkat dari peristiwa persiapan menyambut perayaan Malam Paskah.
Di suatu sore, tak lama setelah Ibadat Jumat Agung, ketua panitia meminta kesediaan imam itu untuk mendampingi para petugas liturgi, yakni lektor dan pemazmur. Sebelumnya dia sudah mendampingi para misdinar (putra putri altar). Para petugas liturgi ini ingin mengetahui soal dimana posisi berdiri mereka nanti, bagaimana dan kapan harus naik turun dari panti imam, bagaimana sikap mereka, dan hal-hal kecil lainnya.
Karena sudah mengenal karakter dan selera imamnya, ketua panitia, yang ikut mendampingi para petugas tersebut, turut andil dalam proses pendampingan itu. Salah satunya, soal sikap menghormati imam. Kepada para petugas liturgi dia menyatakan bahwa mereka tak perlu lagi menunduk hormat ke imam setibanya di panti imam. Cukup sekali hormat ketika masih di bawah, di depan altar. Imam itu pun mengiyakan.
Karena dirasa cukup, imam itu keluar dari gedung gereja, sementara para petugas liturgi itu tetap terus mematangkan latihannya. Tak lama kemudian seorang suster datang untuk latihan koor. Melihat latihan para petugas liturgi tidak sesuai dengan keinginannya, langsung saja suster ini turun tangan. Dengan nada agak emosional, dia mengomentari para petugas liturgi tersebut. Tak urung, imam yang sudah melatih tadi pun tak luput dari komentarnya. Intinya, sang imam tidak tahu apa-apa soal liturgi.
Mendengar ribut-ribut di dalam gereja, imam yang tak jauh dari gedung gereja masuk. “Dari pada pecah perang, dan akan merusak suasana Malam Paskah, lebih baik diam,” demikian komentar imam itu dalam hati. Maka, dia hanya memandang dan mendengar komentar suster itu sambil melatih para petugas liturgi. Seorang petugas sempat melirik ke imam itu sambil mengelus dada dan mimik bibirnya mengucapkan berkali-kali, “Sabar, sabar.”
Satu poin yang paling disoroti adalah sikap hormat pada imam. Setelah naik ke panti imam, sebelum menuju mimbar sabda, para petugas harus menunduk hormat pada imam. “Ini tradisi. Imam itu gambaran Kristus. Jadi, kita harus menghormati imam.” Demikian komentarnya dengan nada tinggi. Para anggota koor lainnya hanya diam sambil tersenyum-senyum. Imam itu pun senyum-senyum saja. “Mengajari orang lain menghormati imam, tapi diri sendiri tidak menghormati imam,” bathin imam itu.
Setelah latihan, seorang petugas liturgi menghampiri sang imam. Dengan nada kesal, dia ungkapkan kekecewaannya karena sang imam hanya diam saja ketika mereka dikomentari suster. Mereka berharap sang imam membela mereka. Dengan tenang, imam itu mengatakan bahwa dia ingin menciptakan suasana tenang menjelang Malam Paskah. Bisa saja dia membela para petugas, tapi jika itu dilakukan maka akan ada keributan antara dirinya dan suster. Dan hal ini tidak baik di mata umat.
Kemudian petugas itu mengatakan bahwa mereka bingung. Imamnya sudah melatih, tapi ketika datang suster disalahkan. Jadi, mana yang benar.
Mulailah imam itu menerangkan. Titik tolak pelatihan yang diberikan imam itu tadi adalah berdasarkan Pedoman Umum Misale Romawi. Dalam pedoman itu tidak ada perintah harus hormat pada imam. Karena itu, dia bingung tradisi mana yang diambil oleh suster. Jika tradisi Gereja, kenapa tidak dicantumkan dalam Pedoman Umum Misale Romawi. Bisa dikatakan bahwa sikap hormat pada imam ini didasarkan pada tradisi feodal. Imam dianggap sebagai pembesar yang harus dihormati.
Imam itu menyatakan bahwa dirinya anti dengan tradisi feodal. Dan Gereja juga tidak suka dengan tradisi tersebut. Karena itu, model Gereja sejak Konsili Vatikan II tidak lagi seperti piramida, dimana imam, uskup dan paus berada di posisi atas. Model Gereja kita saat ini adalah Umat Allah.
Memang benar bahwa Kristus hadir dalam diri imam ketika merayakan ekaristi. Tapi, yang harus dipahami adalah Kristus yang mana? Imam ini menghayati Kristus yang melayani, Kristus sebagai pelayan. Sebagai pelayan, yah tentu tidak membutuhkan penghormatan, karena Dia hadir untuk melayani. Karena itulah imam itu tidak membutuhkan penghormatan dari petugas liturgi, karena dirinya juga adalah pelayan altar. “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17: 10).
Jadi, terkait topik ini, soal menghormati imam itu bukan persoalan baik – tidak baik, seolah-olah kalau tidak menghormati berarti tidak baik; bukan pula persoalan harus – tidak harus. Ada imam yang memang ingin dihormati, tapi ada juga yang tidak. Ketua panitia sudah mengetahui hal ini, sehingga dia mengatakan untuk imam ini tidak perlu hormat.
Toboali, 5 April 2018

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar