GEREJA KATOLIK TIDAK MELARANG NIKAH BEDA AGAMA
Catatan atas Buku “Kado Cinta bagi Pasangan
Nikah Beda Agama”
Tanggal 3 Agustus lalu saya
membeli buku “Kado Cinta bagi
Pasangan Nikah Beda Agama” di
Toko Buku Gramedia Pangkalpinang. Buku ini sebenarnya sudah sejak tahun lalu
saya incar, namun baru tahun ini kecapaian hasrat saya. Akan tetapi, baru
tanggal 1 November saya membacanya.
Ada beberapa catatan atas
buku ini.
1. Membaca
buku ini, terus terang kita melihat wajah islam rahmatan lil alamin, penuh kasih, jauh seperti yang
ditampilkan selama ini: intoleran, sadis, kejam, dll. Namun, tak bisa
dipungkiri, dan ini yang patut disayangkan, tampilan islam seperti dalam buku ini
ibarat setetes embun di padang gurun; muncul sebentar lantas hilang. Tentu
banyak orang berharap justru tampilan islam penuh kasih ini lebih dominan.
2. Pada
hlm 4 dikatakan bahwa Nikah Beda Agama (NBA) membingungkan banyak pihak, termasuk pastor. Uraian
ini terkesan arogan, seolah-olah hanya penulis dan/atau kelompoknya saja yang dapat
“menyelesaikan masalah tanpa masalah.” Ada kesan bahwa di saat orang lain
bingung, penulis tidak.
Selama menangani perkawinan
dalam Gereja katolik, baik yang seagama maupun campur, sama sekali tak pernah
ditemukan kebingungan para pastor atau Gereja katolik pada umumnya. Hal ini
karena Gereja Katolik mempunyai Hukum Gereja yang mengatur perkawinan (kanon 1055 –
kanon 1165). Hukum ini bersifat universal, mengikat semua umat katolik di mana
saja berada (bdk. Kan. 1).
Yang sering menimbulkan
kebingungan adalah masalah yang muncul pasca NBA, yaitu cerai atau poligami. Ini
yang lazim terjadi. Yang muslim, karena agamanya membolehkan poligami, maka ia dapat menikah lagi. Hal ini tentu menjadi masalah bagi yang katolik. Demikian pula dengan kasus perceraian. Kebingungan ini muncul karena mempertimbangkan pihak
katolik yang ditinggalkan (kasus cerai) tidak boleh menikah lagi
secara katolik; atau karena tidak boleh cerai sehingga tetap tinggal dalam poligami.
3. Pada
uraian perkawinan menurut pandangan agama katolik (hlm 111 – 116) ada beberapa
tinjauan yang keliru atau salah. Dampaknya, orang yang membaca juga akan salah
memahaminya. Amat disayangkan bahwa penulis hanya mengambil dari kesaksian umat
sebagai narasumbernya. Sementara kutipan kanon hukum Gereja dipahami secara
keliru. Kenapa tidak mencari sumber yang memadai (padahal ada begitu banyak
buku tentang perkawinan katolik yang dijual bebas di toko-toko buku)? Atau,
kenapa tidak berkonsultasi dengan orang katolik yang berkompeten (pastor atau
ahli hukum Gereja, misalnya)?
Beberapa tinjauan keliru
soal pernikahan katolik:
a) Pada
hlm 111 penulis mengatakan bahwa agama katolik pada
prinsipnya melarang NBA. Hal
ini kembali ditegaskan pada hlm 113 dengan mengutip kanon 1086 dan 1124.
Perlu ditegaskan bahwa
Gereja Katolik TIDAK MELARANG pernikahan beda agama dan beda Gereja.
Penulis mengutip kanon 1086 dan 1124 sebagai dasar larangan itu. Baiklah kami
kutip bunyi kanon tersebut.
Kanon 1086, § 1. Perkawinan antara dua
orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima
di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang
lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
Jika kita melihat uraiannya,
sama sekali tidak ada klausul “dilarang, melarang
atau larangan.” Yang ada
adalah klausul “tidak sah.” Perlu diketahui bahwa kanon 1086
ini masuk dalam Bab III hukum Gereja yang berjudul “Halangan-halangan yang
Menggagalkan pada Khususnya.” Artinya, kanon-kanon yang ada dalam bab III ini
(kan 1083 – 1094) membahas halangan-halangan yang dapat menggagalkan sebuah
perkawinan. Jadi, tidak boleh memahami kanon 1086 terlepas
dari maksudnya.
Ada beberapa halangan yang
dapat menggagalkan perkawinan (baik seiman maupun campur). Ada halangan dapat
dihilangkan dengan cara meminta dispensasi, namun ada juga yang tidak dapat.
Kanon 1086 termasuk halangan yang dapat dihilangkan dengan dispensasi. Jadi,
tidak ada larangan atas NBA. Kanon 1086 bukan berbicara soal
larangan tetapi efek dari melanggar halangan, yaitu tidak sah. Namun, jika
orang sudah mengatasi halangan dengan mendapatkan dispensasi, maka perkawinan
itu menjadi sah.
Kanon 1124, Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang di antaranya satu
dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis dan tidak
meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi
anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh
dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.
Memang di dalam kanon ini
ada klausul “dilarang”, akan
tetapi penulis mungkin salah memahaminya. Karena salah memahaminya, maka salah
juga kesimpulannya. Tentulah pembaca akan memahami kesimpulan penulis. Kalau
dibaca dengan jernih keseluruhan kalimat kanon 1124 tersebut, pasti kita tak
akan sampai berkesimpulan bahwa perkawinan campur (beda Gereja) dilarang. Dari
uraian kanon 1124 ini, yang dilarang adalah NBA “tanpa izin jelas
dari otoritas yang berwenang.” Jadi,
jika perkawinan campur sudah ada izin dari otoritas yang berwenang, maka
perkawinan itu tidak dilarang. Izin inilah yang dimaksud dengan dispensasi,
seperti uraian di atas. Dengan kata lain, orang katolik boleh saja NBA, asalkan
sudah mendapatkan dispensasi/izin. Jika yang bersangkutan tetap melanjutkan
pernikahan tanpa izin, maka perkawinan itu tidak sah di mata Gereja katolik
(bdk. Kan. 1086 §1).
b) Pada
hlm 111 tertulis, “..., ada sejumlah halangan yang membuat tujuan pernikahan tidak dapat diwujudkan.” Cetak miring dari kami,
karena frase tersebut bermasalah. Gereja katolik hanya melarang untuk
menikahkan pasangan yang memiliki halangan. Sekalipun Gereja katolik melarang,
bukan lantas berarti mereka tidak dapat menikah. Pasangan dapat saja tetap
menikah, meski ada sejumlah halangan. Ini berarti mereka melanggar larangan.
Artinya, apa yang dilarang tidak otomatis tidak bisa dilakukan; apa yang tidak
boleh, belum tentu berarti tidak dapat.
Sebagai contoh perbandingan.
Ada rambu lalu lintas yang berarti dilarang masuk. Itu berarti orang tidak boleh masuk. Namun, apa lantas berarti orang
tidak dapat masuk? Sama sekali tidak. Orang tetap saja dapat masuk. Ini berarti dia melanggar
aturan.
c) Pada
hlm 115 penulis menulis bahwa pernikahan katolik hanya dianggap sah apabila
dilakukan di hadapan uskup, pastor paroki atau imam. Entah dari mana penulis
mendapat pernyataan ini. Jelas sekali bahwa pernyataan ini salah. Efeknya,
orang bisa membuat kesimpulan keliru, seperti tampak dalam kalimat menyusulnya
(di buku).
Dalam Gereja katolik, untuk
sahnya sebuah perkawinan, dibutuhkan beberapa syarat; salah satunya adalah
dilakukan di hadapan petugas resmi Gereja (dikenal dengan istilah peneguh).
Yang termasuk petugas resmi Gereja sebagai peneguh adalah Ordinaris wilayah
atau pastor paroki atau imam atau diakon (lih. Kan 1108 § 1). Salah satu yang termasuk Ordinaris wilayah adalah
uskup.
Akan tetapi, dalam situasi
tertentu, perkawinan tetap dapat dilakukan tanpa kehadiran petugas
resmi Gereja tadi. Seorang awam yang diberi wewenang resmi, dapat menjadi
peneguh sebuah perkawinan (lih. Kan 1112 § 1). Ini berarti bahwa, meskipun tidak di
hadapan uskup atau pastor paroki atau imam, perkawinan yang dilangsungkan di
hadapan seorang awam yang sudah diberi wewenang, adalah perkawinan yang sah.
Bahkan, perkawinan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran peneguh,
entah itu petugas resmi Gereja ataupun seorang awam (lih. Kan 1116 § 1).
Ini berarti bahwa, meskipun tidak di
hadapan uskup atau pastor paroki atau imam, perkawinan yang dilangsungkan tanpa
peneguh (dengan memperhatikan kan 1116 § 1 dan § 2)
adalah perkawinan yang sah.
4. Kesimpulan
yang bisa diambil dari kesalahan dalam buku ini adalah perbedaan persepsi.
Penulis, ketika membaca kanon hukum Gereja, lebih menitik-beratkan pada aspek
“dilarang”, sementara Gereja katolik, dan yang selama ini terjadi, lebih
menitik-beratkan “boleh”. Hal ini dapat dilihat dalam kanon 1058 yang berbunyi, “Semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh
tidak dilarang hukum.” Jadi,
tampak jelas bahwa siapa saja dapat menikah, baik seagama maupun campur, asal
tidak melanggar aturan/hukum. Yang melanggar hukum itulah yang dilarang. Dan
ini lumrah. Bukankan segala bentuk pelanggaran hukum itu dilarang? Misalnya,
membunuh itu melanggar hukum; pastilah dilarang (mana mungkin dibolehkan).
Karena itulah, Gereja katolik sama sekali tidak pernah mengalami kebingungan
seperti yang dikatakan.
Setiap pasangan yang mau
menikah, entah nikah seagama atau campur, ketika datang ke pastor atau katekis
(petugas Gereja), pasti akan dikatakan, “Silahkan ambil dan isi formulir
pendaftaran Kursus Persiapan Perkawinan.” Kalau pasangan calon NBA minta
pendapat, kurang lebih akan dijelaskan beberapa ketentuan. Tak pernah terdengar
ada pastor atau petugas Gereja yang didatangi pasangan calon NBA untuk minta
pendapat akan berkata dalam kebingungan bahwa NBA itu dilarang.
Dalam katakesenya kepada
kaum muda, memang sering dikatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah
pernikahan katolik-katolik. Akan tetapi, disadari bahwa yang ideal itu pasti
sulit. Yang ada adalah yang real; dan yang real itu adalah juga pernikahan
campur. Namun bukan lantas berarti Gereja katolik melarangnya. Untuk menjawab
tantangan NBA, Gereja katolik sudah membuat ketentuan-ketentuan yang harus
diikuti bagi yang hendak melakukan NBA. Hukum Gereja lebih menekankan himbauan
untuk tidak menikah dini (lih. Kan 1072), bukan NBA.
Soal pencatatan pun jarang
ditemukan adanya kebingungan atau kesulitan. Ada paroki yang mempunyai petugas khususnya untuk
mengurus pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Petugas ini biasanya merupakan
seksi keluarga paroki itu. Jadi, setelah selesai upacara pemberkatan, petugas
ini besoknya langsung mengurusnya di catatan sipil. Biasanya tidak lebih dari 2
atau 3 minggu. Ada paroki yang tidak punya petugas, sehingga pasangan yang baru
nikah itulah yang mengurus sendiri.
Karena itulah, tidak ada
kebingungan pada para pastor menghadapi NBA karena semuanya sudah diatur dalam
hukum Gereja. Orang yang mau NBA tinggal mengikuti ketentuan yang berlaku umum.
Hukum ini berlaku secara universal, bukan hanya di Indonesia saja, melainkan di
negara-negara lain. Untuk di Indonesia, hukum ini berlaku di semua paroki.
Jadi, bila ada paroki atau pastor yang melarang NBA, jelas itu bertentangan
dengan hukum Gereja. Atau, bila ada pastor yang tidak mau memberkati pernikahan
beda agama, meski kedua pasangan sudah mengikuti ketentuan hukum, maka pastor
tersebut melanggar hukum.
Tidak seperti dalam islam,
sebagaimana yang diutarakan dalam buku hlm. 170 – 171, di mana mayoritas muslim
melarang dan mengharamkan, sementara minoritas membolehkan, meski kedua
kelompok ini sama-sama mendasarkan argumennya pada Al-Quran dan Sunnah. Malahan
institusi tertinggi agama islam di negeri ini (MUI) dengan terang-terang
mengharamkan NBA (hlm 149 – 154). Dan selama ini, kami menghadapi umat islam
yang berpandangan mayoritas itu. Hal yang sama juga dengan soal pengucapan
syahadat (hlm 176 – 178). Selama ini selalu ditemui orang yang berpikiran
demikian. Baru setelah membaca buku ini, kami menemukan perspektif yang lain.
Namun gaungnya lemah.
Karena itulah, orang dapat
menikah dengan beda keyakinan dan agama di dalam Gereja katolik. Yang non
katolik tetap dengan keyakinan dan agamanya. Ini berlaku di seluruh dunia.
Tidak seperti di dalam agama islam. Hanya segelintir orang saja yang menyatakan
bahwa dalam NBA, yang non islam tetap dengan agama dan keyakinan. Ada begitu
banyak orang islam masih dengan keyakinan bahwa yang non islam harus masuk
islam dulu dengan mengucapkan syahadat baru bisa menikah.
Demikianlah beberapa catatan
atas buku Nikah Beda Agama ini. Patut diakui bahwa buku ini, dengan segala
kekurangannya, benar-benar memberi pencerahan bagi siapa saja.
Jakarta, 7 Nov 2013
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar